c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

28 Oktober 2021

16:20 WIB

GAPPRI Minta Pemerintah Tak Naikkan Cukai Rokok di 2022

Pengusaha industri mencatat rokok ilegal merugikan negara Rp53,18 triliun

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

GAPPRI Minta Pemerintah Tak Naikkan Cukai Rokok di 2022
GAPPRI Minta Pemerintah Tak Naikkan Cukai Rokok di 2022
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). ANTARAFOTO/Aprillio Akbar

JAKARTA – Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memohon pemerintah agar tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan tidak naik, tetap sama dengan tarif CHT 2021. Ada empat catatan yang disampaikan industri rokok nasional kepada pemerintah untuk menjaga industri dan penerimaan negara. 

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan menegaskan, industri hasil tembakau atau IHT akan mengalami tekanan berat setiap kali CHT akan dinaikkan. 

"Selain menurunkan produktivitas, kenaikan CHT juga menyuburkan pasar rokok ilegal. Terlebih dalam situasi pemulihan ekonomi seperti saat ini," kata Henry lewat keterangannya di Jakarta, Kamis (28/10).  

Menurutnya, saat ini pelaku industri hasil tembakau memerlukan insentif dari pemerintah untuk bertahan hidup menghadapi pandemi covid-19, sekaligus adanya pelemahan ekonomi serta daya beli yang melemah. 

“Selayaknya perlakuan pemerintah terhadap IHT sama sebagaimana perlakuan pemerintah terhadap industri lainnya,” terangnya. 

Ia menyebutkan, gelombang penolakan kenaikan CHT datang dari kalangan petani, buruh IHT, legislator, kementerian dan seterusnya. Kenaikan cukai terbukti memakan banyak korban dari sisi rantai pasok IHT dalam negeri. 

Alih-alih menaikkan cukai, GAPPRI mengusulkan empat catatan kepada pemerintah untuk peningkatan industri rokok di dalam negeri ke depan.

Pertama, GAPPRI mendorong pemerintah mengambil strategi extraordinary dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Diharapkan dengan kebijakan ini, rokok ilegal mampu tertelusuri. Selain itu, ada efek jera bagi pelaku produksi dan pengedar rokok ilegal. 

"Hal ini diharapkan berdampak kepada tercapainya penerimaan cukai dan terciptanya ekosistem industri legal yang kondusif dalam jangka panjang," sebutnya. 

Merujuk hasil survei Lembaga Survei Indodata, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang bisa mencapai Rp53,18 triliun. 

Asumsi itu berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal sebanyak 127,53 miliar batang. temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%. 

“Meningkatnya peredaran rokok ilegal disebabkan kenaikan tarif cukai yang tinggi di 2020 dan 2021,” terangnya. 

Kedua, GAPPRI juga memohon agar pemerintah tidak melakukan penyederhanaan industri, berupa simplifikasi tarif cukai dan penggabungan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM).

“Kami berharap pemerintah tidak melakukan perubahan apapun terhadap struktur CHT karena akan memberatkan survive usaha dan daya saing lHT, terutama selama pandemi yang masih berlangsung dan daya beli yang melemah,” sambungnya.
Tunda Revisi Kebijakan 
 Ketiga, Henry juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak terhadap desakan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pasalnya, industri tembakau menilai beleid tersebut masih cukup relevan saat ini.

“Sebaiknya pemerintah tidak melanjutkan pembahasan revisi PP 109/2012, mengingat hal ini bukan hal mendesak dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan merongrong kedaulatan hukum Indonesia,” tegasnya. 

Sebagai informasi, pemerintah tengah membatas revisi PP 109/2012. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan Pokok materi muatan revisi PP No. 109/2012 antara lain gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, pencantuman informasi dalam kemasan produk tembakau, serta terkait larangan menjual satuan batang dan menggunakan jasa media teknologi informasi.

"Kalau kita lihat capaian pelaksanaan PP 109/2012 telah berhasil menurunkan prevalensi merokok pada usia >10 tahun dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,9% pada 2018. Tetapi pada anak <18 tahun prevalensinya justru naik dari 7,2% menjadi 9,1%. Ini yang perlu menjadi catatan," ujar Agus beberapa waktu lalu.

Keempat, penyusunan Roadmap Industri Hasil Tembakau yang sedang dilakukan pemerintah agar efektif terimplementasi di lapangan. 

Apabila sistem pencegahan produksi dan peredaran rokok ilegal secara extraordinary sudah ditempuh, struktur produksi dan peredaran rokok ilegal mampu terpotong dalam jangka panjang. 

“Perumusan roadmap agar sesuai pengaturan Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” pungkasnya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar