13 November 2024
15:48 WIB
GAPPRI: Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok Memicu PHK Di Industri Hasil Tembakau
Kenaikan HJE, khususnya jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Terutama bagi pekerja perempuan yang mendominasi di industri kretek nasional.
Ilustrasi. Pekerja melinting rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (2/4/2024). Antara Foto/Yusuf Nugroho
JAKARTA - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai, rencana pemerintah terkait penyesuaian tarif melalui Harga Jual Eceran (HJE) terhadap produk tembakau, akan berdampak bagi pekerja di industri hasil tembakau (IHT).
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan berpendapat, kenaikan HJE, khususnya jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Terutama bagi pekerja perempuan yang mendominasi di industri kretek nasional ini.
“Pekerja perempuan yang berlatar pendidikan rendah di industri kretek ini menggantungkan hidupnya pada SKT. Kenaikan HJE yang signifikan akan mengancam mata pencaharian mereka sehingga berdampak pada perekonomian negara," kata Henry Najoan di Jakarta, Rabu (13/11).
Dia menambahkan, pada 2025, selain kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) juga ada kebijakan menaikkan tarif HJE dan tarif PPN 12%. Jika ketiga komponen itu digabung, maka harga rokok SKT dipastikan lebih tinggi dibanding rokok ilegal.
Menurut dia, saat ini harga SKT isi 12 batang per bungkus berkisar Rp12.000 hingga Rp14.000. Dengan kenaikan tiga komponen di atas, harganya akan berkisar Rp15.000 - Rp 17.000/bungkus.
"Sementara, rokok ilegal jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) isi 20 batang, harga jual berkisar Rp10.000 sampai Rp12.000," kata Henry dalam keterangannya.
Pihaknya mengkhawatirkan, kenaikan HJE akan menciptakan pengangguran baru dan merugikan negara karena berkurangnya penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Juga semakin sulit memberantas peredaran rokok ilegal.
"Hal ini akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Pekerja mengemas tembakau dalam keranjang di gudang tembakau perwakilan pabrikan rokok, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (4/9/2024). Antara Foto/Anis Efizudin
Dampak Sosial dan Ekonomi
Oleh karena itu, GAPPRI mengimbau pemerintah untuk mempertimbangkan secara bijak dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas, sebelum mengambil keputusan terkait kenaikan HJE.
"Kami mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif bagi industri SKT yang melakukan upaya peningkatan kualitas produk dan efisiensi produksi," tuturnya.
Selain itu, tambahnya, pemerintah juga perlu memperkuat penegakan hukum secara extra ordinary terhadap peredaran rokok ilegal yang kian masif. Sebelumnya, Prof. Dr. Candra Fajri Ananda, Pakar Ekonomi dari Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang, Jawa Timur menyatakan, kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru berisiko mendorong peredaran rokok ilegal.
Menurut hasil penelitian lembaga yang dipimpinnya, peningkatan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. "Ketika tarif cukai dinaikkan, maka mendorong konsumen untuk beralih ke produk ilegal yang lebih terjangkau," ujarnya baru-baru ini.
Hasil kajian juga menunjukkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai titik optimum, lanjutnya, di mana kenaikan tarif lebih lanjut tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok.
"Konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal atau produk dengan harga lebih murah. Hal ini tidak hanya mengurangi volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT)," imbuhnya.
Menurut dia, peredaran rokok ilegal di Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang terus naik. Meskipun pemerintah telah meningkatkan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, tambahnya, data menunjukkan bahwa ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran turut mengalami peningkatan.
Pada tahun 2023, hasil penelitian PPKE FEB UB mengungkapkan, lebih dari 40% konsumen rokok pernah membeli rokok polos tanpa pita cukai. Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh PPKE menunjukkan, kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8% menjadi 11,6%.
Moratorium
Hasil simulasi menunjukkan, potensi CHT yang hilang akibat peredaran rokok ilegal seiring dengan kenaikan tarif cukai. Dari Rp4,03 triliun ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0%), hingga mencapai Rp5,76 triliun ketika cukai dinaikkan sebesar 50%.
Terkait hal itu PPKE FEB UB menyampaikan tiga rekomendasi bagi pemerintah. Pertama, moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.
Kedua, apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4 – 5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan, dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
Ketiga, mendorong pemerintah terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal dan menyesuaikan harga rokok sesuai daya beli masyarakat. "Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar kebijakan tarif cukai dapat memberikan solusi yang seimbang bagi konsumen, produsen, dan penerimaan negara," tegasnya.
Tak jauh berbeda, Sekjen GAPPRI Petrus Riwu mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok di atas 10% setiap tahun, dapat menyebabkan masyarakat beralih ke rokok dengan harga lebih murah atau bahkan rokok ilegal.
"GAPPRI merekomendasikan moratorium kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027 serta tidak menaikkan PPN untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan industri dan daya beli masyarakat. Serta, lebih menggencarkan operasi penindakan rokok ilegal untuk menekan peredarannya," ujarnya.

| Petani memanen tembakau di persawahan Desa Menawan, Gebog, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (7/8/2024). Antara Foto/Yusuf Nugroho |
Melindungi Petani Tembakau
Sementara itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengharapkan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen melindungi jutaan petani tembakau, dari ancaman global dan berbagai regulasi yang mengancam kelangsungan ekonomi mereka.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI Agus Parmuji mengungkapkan, saat ini industri hasil tembakau legal telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat. Baik sisi fiskal maupun nonfiskal yang meliputi peraturan daerah, peraturan bupati/wali kota/gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan.
Belum lagi terbitnya PP 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang menuai penolakan dari banyak kalangan, termasuk penolakan dari ekosistem pertembakauan.
"Padatnya regulasi aturan yang dibebankan IHT legal nasional tersebut, akan berdampak pula bagi kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang selama ini bergantung pada pabrikan rokok," ujar Agus.
Menurut dia, untuk melindungi jutaan petani tembakau yang selama ini sebagai pilar ekonomi bangsa, DPN APTI meminta kepada Presiden agar Pemerintah Indonesia tidak perlu mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kerangka FCTC jika diterapkan di Indonesia, lanjutnya, akan mematikan tenaga kerja, petani, buruh, yang juga bakal menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal itu, menurut dia, justru bertolak belakang dengan visi misi Asta Cita yang ingin menyerap jutaan tenaga kerja demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kemudian, meminta agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok tidak berubah pada tahun 2025, serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12% guna menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat.
Selain itu, asosiasi juga menolak penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan mendekatkan disparitas tarif antarlayer. Pasalnya, hal ini akan menjadi ancaman harga rokok legal semakin tidak terbeli, dan perokok beralih ke rokok ilegal.
Dengan simplifikasi, ujarnya lagi, yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani.
"Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau," kata Agus.