c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

15 November 2022

20:18 WIB

Food Estate Tak Jamin Ketahanan Pangan

Keberadaan food estate juga dnilai memperburuk krisis iklim.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

<i>Food Estate</i> Tak Jamin Ketahanan Pangan
<i>Food Estate</i> Tak Jamin Ketahanan Pangan
Foto udara petakan persawahan ekstentifikasi lahan di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. ANTARA FOTO/Makna Zaezar

JAKARTA - Center for Indonesian policy Studies menyoroti upaya pemerintah yang masih meneruskan Food Estate atau proyek strategis nasional untuk mengatasi krisis pangan, yang hanya akan memperburuk krisis iklim. Padahal, Indonesia dalam KTT Iklim COP27 di Mesir belum lama ini, kembali menegaskan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Di sela COP 27, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, Indonesia dalam Peningkatan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Enhanced Nationally Determined Contribution/ENDC), telah meningkatkan target penurunan emisinya menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional.

Head of Agriculture Research CIPS Aditya Alta menegaskan, komitmen ENDC Indonesia memuat strategi mitigasi di sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forestry and Other Land Uses/FOLU). Antara lain, melalui restorasi hingga 2 juta hektare lahan gambut di 2030, reforestasi dan rehabilitasi hutan. 

“Namun, proyek Food Estate malah mengambil 900.000 hektare di kawasan eks-pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah,” ujarnya dalam keterangan pers, Jakarta, Selasa (15/11). 

Baca Juga: Memacak Kuda-kuda Menghadapi Krisis Dunia

CIPS menggarisbawahi, alih guna lahan, terutama lahan gambut, merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia. Pengalaman juga sudah menunjukkan, Food Estate yang bahkan rencananya akan dibuka di daerah lain, berkali-kali gagal mencapai tujuan ketahanan pangan yang diinginkan dan malah berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya. 

Aditya melanjutkan, program yang penuh kontroversi ini digarap oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dan kini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Papua. 

Asal tahu, food estate atau lumbung pangan berambisi meningkatkan produksi domestik. Namun terbatas beberapa komoditas tertentu saja, yaitu beras, singkong untuk tepung mocaf, kentang bahan baku industri, bawang merah, serta bawang putih.

“Padahal, kalau meninjau permasalahan ketahanan pangan yang dijadikan justifikasi lumbung pangan, keterjangkauan dan keragamanlah yang selama ini menjadi permasalahan, bukan ketersediaan,” paparnya. 

Indeks Keamanan Pangan Global dari the Economist Intelligence Unit mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-37 dari 113 negara dalam kategori ketersediaan. Di samping itu, Indonesia juga menempati peringkat ke-54 dalam kategori keterjangkauan, serta peringkat ke-95 dalam kategori kualitas dan keamanan yang termasuk di dalamnya keragaman pangan.

Indonesia juga disebut sudah mencapai swasembada dalam pengadaan beras dengan memenuhi sebagian besar kebutuhannya dari produksi dalam negeri.

Aditya mengingatkan, program swasembada pangan yang mengandalkan perluasan lahan, terutama alih fungsi lahan hutan dan gambut, tidak efektif menjamin peningkatan produksi serta produktivitas pangan. ALih-alih malah dapat merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim.

CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas komoditas pangan tanpa melalui ekstensifikasi lahan tetapi dengan investasi, mekanisasi dan adopsi teknologi pertanian, teknik budidaya yang baik, perluasan jaringan irigasi, serta mitigasi perubahan iklim dengan modifikasi cuaca.

 “Pemerintah juga harus memberikan dukungannya bagi riset dan inovasi, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama pihak swasta,” sebutnya.

Tiga Poin Indonesia Hadapi Perubahan Iklim
Sebelumnya, pada KTT Conference of The Parties 27 (COP27) di Mesir, Wapres Ma’ruf Amin menegaskan, tiga poin penting yang perlu dilakukan bersama oleh negara-negara di dunia dalam mengatasi perubahan iklim. 

Pertama, Wapres menegaskan, KTT COP27 harus menjadi implementasi kesepakatan-kesepakatan yang akan dihasilkan dan yang telah dihasilkan dari KTT terdahulu. Wapres RI menilai, selang satu tahun KTT COP26 di Glasgow, belum ada kemajuan global signifikan terkait hal ini.

“Untuk itu, COP27 harus dimanfaatkan tidak hanya untuk memajukan ambisi, namun juga implementasi. Termasuk pemenuhan dukungan dari negara maju kepada negara berkembang,” tegas Wapres, Senin (7/11).

Kedua, lanjutnya, hendaknya implementasi kesepakatan tersebut dilakukan sesuai dengan kapasitas dan keunggulan masing-masing negara. Sebab, setiap negara memiliki potensi berbeda. Karenanya, maksimalisasi potensi tersebut dapat membawa hasil terbaik, bahkan dapat menjadi bantuan bagi negara lain yang memiliki keunggulan berbeda.

Ia meminta semua pihak untuk bisa menjadi bagian dari solusi. Semua negara harus berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dengan semangat burden-sharing atau pembagian beban, bukan burden-shifting atau pemindahan beban.

“Negara yang lebih mampu harus membantu dan memberdayakan negara lainnya,” imbuh Wapres.

Baca Juga: SPI: Pemerintah! Kondisi Pertanian Indonesia Tak Baik-Baik Saja

Ketiga, Wapres pun memaparkan, beragam langkah konkret telah dilakukan Indonesia dalam upaya menurunkan emisi. Di antaranya investasi untuk transisi energi, pendanaan untuk aksi iklim, dan meningkatkan target penurunan emisi. 

Ke depan, Wapres tekankan, langkah nyata seperti ini akan Indonesia terus lanjutkan, khususnya dalam keketuaan Indonesia pada KTT G20 dan ASEAN 2023. Selaku Presidensi G20, Indonesia terus mendorong pemulihan hijau serta aksi iklim yang kuat dan inklusif. 

“Ke depan, melalui Keketuaan ASEAN tahun 2023, Indonesia akan terus memberikan perhatian pada penguatan aksi iklim,” papar Wapres.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar