c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

20 Desember 2022

15:59 WIB

Fenomena PHK Startup, Faktor Global atau Salah Perhitungan?

Fenomena PHK startup di Indonesia disebut karena faktor makroekonomi global. Namun, di sisi lain, ada anggapan perusahaan terlalu percaya diri dan tidak hati-hati dalam mengatur keuangan.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

Fenomena PHK <i>Startup</i>, Faktor Global atau Salah Perhitungan?
Fenomena PHK <i>Startup</i>, Faktor Global atau Salah Perhitungan?
Pengunjung melihat produk di gerai offline JD.ID di AEON Mall Sentul City. Sumber: jd.id/news

JAKARTA – Pascapandemi covid-19 beserta isu kelamnya ekonomi global 2023 membuat efek domino ke sektor tenaga kerja perusahaan rintisan (startup). Beberapa perusahaan startup melakukan pemutusan kerja (PHK) kepada karyawannya.

Menanggapi hal ini Pengamat IT sekaligus Direktur ICT Institute Heru Sutadi mengakui ada alasan lain dibalik banyaknya PHK, yakni penurunan pendanaan bagi startup digital.

"Ya memang kita melihat adanya penurunan pendanaan startup digital sejak bulan Maret secara global dan memang tantangannya itu bahkan sudah datang di Indonesia sejak Juli tahun 2022. Penurunan pendanaan ini memang disebabkan oleh berbagai hal," katanya saat dimintai keterangan oleh Validnews, Selasa (20/12).

Dia menjelaskan beberapa faktornya seperti di Amerika Serikat (AS) yakni tren penurunan serta pengurangan pendanaan memang sedang berlangsung, terlebih lagi banyak di antara investor sudah menanamkan modalnya sejak 5-7 tahun lalu. Yang artinya tahun ini banyak di antara investor berharap tahun ini startup akan menghasilkan keuntungan.

Baca Juga: Tokocrypto Diakuisisi Binance, Karyawan Kena PHK

"Sehingga tahun ini tidak ada lagi investasi baru mendatang. Yang ada adalah para investor berharap uangnya itu kembali di masa masa sekarang ini karena sudah 5 hingga 7 tahun investasi. Tentu pendanaan mendatang sangat kompetitif sangat sulit dan hanya diberikan kepada startup yang mengembangkan teknologi baru seperti misalnya metaverse, IoT, big data dan blockchain," imbuhnya. 

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika penurunan aliran pendanaan startup digital di wilayah Asia mencapai 60% (year on year/yoy) dan 33% (quarter to quarter/qtq) pada kuartal III/2022. 

Heru menegaskan penurunan pendanaan ini akan memberi dampak yang cukup signifikan terhadap startup. Dia menuturkan akhirnya akan ada jalan lain yang harus ditempuh startup seperti melakukan IPO atau melantai di bursa.

Namun bagi startup yang belum mencapai titik unicorn atau decacorn, Heru mengatakan akan sulit perusahaan rintisan mendapat pendanaan lewat IPO. Tidak hanya bagi startup kecil, bahkan perusahaan kondang pun mau tidak mau melakukan pengurangan karyawan atau bahkan berguguran di tengah jalan. 

"Apa yang terjadi di dunia saat ini seperti krisis global di tahun 2023, konflik rusia-ukraina yang juga belum selesai tentu akan memberi dampak terhadap perkembangan ekonomi khususnya ekonomi digital di Indonesia," katanya.

Bagaimana kata Investor?
Hal berbeda dikatakan oleh Managing Partner at East Ventures, Roderick Purwana. Ia mengakui tentunya dengan keadaan saat ini uang pendanaan semakin selektif untuk didapatkan. Namun, bukan berarti investasi startup akan “loyo”. 

Sebab, di East Ventures sendiri, ia mengungkapkan EV telah menyelesaikan 80+ deal per kuartal III/2022, di mana sebenarnya angka ini sudah setara dengan jumlah pendanaan yang kami berikan pada tahun 2021.

"Satu dekade terakhir telah menjadi era pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi perusahaan teknologi. Teknologi telah mengubah ekonomi, rantai pasokan, mata pencaharian dan kehidupan. Saat ancaman pandemi mereda, kita sekarang dihadapkan pada serangkaian tantangan global baru, yang berakar pada tersendatnya rantai pasokan dan ketidakpastian geopolitik," ungkap Roderick.

Baca Juga: JD.ID PHK 30% Karyawannya

Dia sendiri percaya hal ini perlu dilihat dari siklus hidup sebuah startup. Startup dirancang untuk tidak menghasilkan profit sejak hari pertama. Diperlukan waktu sejak hari pendapatan investasi untuk melakukan desain produk, akuisisi pelanggan, dan menemukan produk yang sesuai dengan pasar (product market fit). 

Garis waktu menuju profitabilitas pun juga berbeda, beberapa mungkin lebih cepat, dan beberapa mungkin membutuhkan lebih banyak waktu. 

Oleh karena itu, ada banyak tahapan pendanaan untuk startup ini dengan tujuan utama mencapai profitabilitas.

"Beberapa startup telah melakukan beberapa perencanaan mengenai waktu untuk menggalang pendanaan. Namun, beberapa faktor eksternal yang berubah dengan cepat, di mana jatuhnya pasar publik (public market) di Amerika telah mempengaruhi nilai valuasi perusahaan secara keseluruhan, terutama para startup Indonesia yang pada umumnya membandingkan valuasi dengan pasar publik di Amerika," katanya.

Perekonomian dunia, lanjutnya, telah mengantisipasi resesi dengan kenaikan suku bunga, inflasi tinggi, dan perang Rusia-Ukraina, yang mengakibatkan gangguan rantai pasokan, pengetatan regulasi startup di China, dan penjualan besar-besaran saham teknologi di Amerika. Hal-hal tersebut membuat investor tahap lanjut semakin takut membayar valuasi tinggi. 

"Hal ini juga mempengaruhi suku bunga dan membuat modal yang tidak tersalurkan. Muncul juga denominator effect yang membuat investor berhenti berinvestasi di startup yang memiliki valuasi lebih tinggi dari pasar publik," ungkapnya.

Terlalu Percaya Diri
Berdasarkan faktor internal, Roderick menuturkan Indonesia mengalami akselerasi digital dalam dua tahun terakhir karena pandemi covid-19, sehingga banyak startup yang terlalu percaya diri dan tidak hati-hati dalam mengatur pengeluarannya. 

Beberapa dari mereka beranggapan percepatan ini terjadi secara terus menerus, dan ternyata terdapat perbedaan antara harapan dan kenyataan. 

Hal-hal tersebut menyebabkan perusahaan mungkin perlu mengalami efisiensi karena uang menjadi 'lebih pintar' atau 'sulit' didapat, dan tentunya efisiensi diambil sebagai pilihan yang paling sulit dan terakhir untuk memastikan keberlangsungan operasi perusahaan secara keseluruhan. 

Meskipun Asia Tenggara tidak kebal terhadap hambatan global ini, Roderick menegaskan EV tetap optimis terhadap hambatan sekuler berupa pertumbuhan pendapatan menengah, pola konsumsi yang kuat, dan peningkatan teknologi. 

"Kami melihat perkembangan yang sangat positif dari startup di Indonesia dan Asia, terutama Asia Tenggara. Pada kuartal III tahun 2022, kami telah melakukan lebih dari 80 pendanaan untuk startup di Asia Tenggara. Jadi kami percaya perkembangan startup di Indonesia dan Asia Tenggara tidak pernah secerah ini," ucapnya.

Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang digital melakukan PHK sepanjang tahun ini. Tercatat perusahaan seperti Xendit, Carsome, Shopee Indonesia, Grab, Tokocrypto, MPL, Lummo, Tanihub, Mamikos, Zenius, Line, Beres.id, Pahamify, LinkAja, SiCepat, Yummy Corp, Bananas, Ruangguru, GoTo, Sirclo, KoinWorks, Ajaib, hingga JD.ID melakukan PHK.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar