03 Juni 2022
19:28 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerap disebut sebagai penyelamat perekonomian di setiap krisis. UMKM tetap kuat saat krisis moneter 1998 menerpa, begitu pula saat krisis ekonomi global 2008.
Terkini, UMKM juga menjadi penyumbang pemulihan ekonomi pada krisis akibat pandemi covid-19 yang masuk ke Indonesia sejak 2020 lalu. Meskipun bertumbangan pada awal pandemi, namun UMKM pula yang berperan menjadi sekoci penyelamat perekonomian keluarga saat gelombang PHK melanda.
Sumbangan tersebut tak lepas dari kondisi UMKM yang mendominasi 99% dari seluruh usaha di Indonesia. Tak sampai situ, UMKM juga mampu menyerap 97% lapangan pekerjaan di Nusantara. Artinya, selama ini segmen usaha besar hanya menyerap 3% lapangan pekerjaan.
Dari dominasi UMKM terhadap struktur perekonomian dan serapan lapangan kerja itu, usaha kerakyatan berhasil berkontribusi tak kurang dari 60% dari PDB Nasional. Namun demikian, sumbangsih UMKM terhadap ekspor nasional masih di bawah 15%.
Kementerian Koperasi dan UKM menilai, rendahnya angka ekspor kalangan UMKM tak lepas dari faktor kualitas produk yang diciptakan. Maklum saja, biasanya UMKM itu melakukan produksi dengan modal yang terbatas atau tak seperti usaha besar yang punya beragam peralatan canggih dalam proses produksinya.
Bahkan dari satu brand UMKM saja, tak dapat dipastikan bahwa kualitas di setiap produk yang diciptakan bisa sama. Artinya, saat ini masih belum ada kesesuaian standard kualitas dalam produk UMKM.
Permasalahan efisiensi produksi UMKM itu tak luput dari perhatian pemerintah. Ide mendirikan factory sharing atau rumah produksi bersama UMKM pun tercetus untuk memperbaiki kualitas produksi UMKM.
Rumah produksi bersama itu digadang-gadang dapat menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengatasi ketidakefisienan produksi pelaku UMKM. Bayangkan saja dalam satu tempat yang sama, ada banyak pelaku usaha melakukan produksi di bidang yang serupa, dengan standard kualitas yang sudah ditetapkan.
Para pelaku UMKM yang kebanyakan melakukan produksi di rumah sendiri akan mendapat manfaat dari adanya factory sharing. Salah satunya, ialah teknologi produksi yang belum tentu mereka sudah miliki sendiri. Dengan bergabung di rumah produksi bersama, para pelaku usaha bisa memperbaiki kualitas produk mereka, dengan bantuan teknologi baru.
Selain itu, manfaat lain yang dapat diperoleh adalah pelaku UMKM memahami penggunaan teknologi dalam proses produksi, bisa mengurus dengan mudah terkait perizinan dan sertifikasi, bisa meningkatkan kapasitas produksi dan memperbaiki kualitas produk. Terakhir, dengan memindahkan produksi di factory sharing, akan memberi ruang yang lebih luas bagi hunian mereka yang selama ini digunakan sebagai tempat produksi.
Lima Piloting
Salah satu factory sharing yang digagas adalah untuk bidang furnitur. Bukan tanpa alasan sektor ini dipilih. Produk furnitur asal Indonesia memang punya peminat yang tinggi di pasar luar negeri. Negara-negara peminat furnitur Indonesia antara lain Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Belanda, hingga Prancis. Sepanjang tahun 2021 pun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka ekspor furnitur berhasil menyentuh US$1,99 miliar atau jika dirupiahkan menjadi sekitar Rp28,6 triliun.
Rencananya, rumah produksi bersama itu dibangun di Sragen, Jawa Tengah. Dengan begitu, produk-produk furniture asal Indonesia, khususnya dari Jawa Tengah, bisa semakin eksis di kancah internasional karena sudah diproduksi dengan teknologi dan standard yang sudah ditentukan.
Factory sharing produk mebel di Jawa Tengah itu hanyalah menjadi salah satu dari lima pilot project yang akan dilaksanakan. Keempat lainnya ialah produk minyak atsiri di Aceh, produk berbasis kelapa, seperti fiber kelapa, di Sulawesi Utara, daging sapi di Nusa Tenggara Timur, serta produk biofarmaka di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Kelima piloting itu direncanakan bisa beroperasi pada tahun ini.
"Kelima ini hanya piloting dan kita harapkan dengan model ini bisa direplikasi dengan model-model pembiayaan mandiri," ungkap Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman akhir tahun lalu.
Namun sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada informasi lebih lanjut terkait besaran biaya sewa untuk masuk ke dalam factory sharing. Ada beragam opsi, mulai dari menerapkan tarif sewa ringan, biaya sewa dibebankan pada sekian persen penjualan produk, ataupun biaya sewa ditanggung oleh koperasi.
Khusus untuk opsi terakhir, tentunya para pelaku UMKM harus bergabung dan terkonsolidasi dalam entitas koperasi. Dari situ, timbul peluang juga bagi koperasi untuk mengelola rumah produksi bersama bagi UMKM yang mereka naungi.
Perajin menyelesaikan pembuatan kursi rotan di Desa Bodesari, Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat , Kamis (21/10/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Pengelolaan dan Replikasi
Kementerian Koperasi dan UKM pun sedang mengarahkan agar piloting factory sharing dapat dikelola langsung oleh koperasi. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan dua tujuan secara beriringan, yakni mendongkrak kualitas produk UMKM, serta mengembangkan koperasi di Indonesia.
Dengan pengelolaan yang dilakukan oleh koperasi, otomatis para pelaku UMKM harus bergabung dan terkonsolidasi apabila ingin melakukan produksi di factory sharing. Sehingga, operasional dan keuangan koperasi juga akan terus berputar dan semakin berkembang.
Lebih lanjut, koperasi-koperasi pun diharapkan dapat mereplikasi yang dilakukan oleh KemenkopUKM. Singkatnya, koperasi bisa mengidentifikasi produk apa yang menjadi unggulan di daerahnya masing-masing, lalu mendirikan rumah produksi bersama untuk komoditas tersebut secara mandiri, inilah tujuan utama dari KemenkopUKM melakukan piloting.
Sebagai contoh di Garut, Jawa Barat, terkenal akan beragam produk unggulan, mulai dari dodol, kopi, hingga kulit domba. Dari situ, koperasi pengrajin kulit misalnya, bisa berinisiatif mendirikan factory sharing untuk produk fesyen berbahan dasar kulit domba.
"Ini baru piloting di lima daerah. Tapi, tentu ini bisa jadi benchmark untuk yang lain karena kalau ini (piloting) merupakan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang kita transfer ke daerah. Artinya, factory sharing bisa juga dibangun oleh koperasi," tegas Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki beberapa waktu lalu.
Namun, koperasi tentunya tak bisa berjalan sendiri. Pemerintah daerah semestinya juga turut andil dalam inisiatif mengadakan rumah produksi bersama, misalnya berperan dalam mengidentifikasi produk unggulan daerah untuk kemudian produksinya dipusatkan dalam satu tempat dengan teknologi produksi yang mumpuni.
Dari segi pembiayaan, Menteri Teten pun menegaskan pihaknya telah mengimbau Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM (LPDB-KUMKM) untuk turut melayani koperasi-koperasi yang punya inisiatif membangun factory sharing.
"Saya sudah bicara dengan kepala daerah. Daripada kita bagikan alat-alat sederhana kepada setiap pelaku usaha, lebih baik kita kembangkan per klaster wilayah dan dibangunkan rumah produksi bersama," kata MenkopUKM.
Pekerja mengupas buah kelapa produksi minuman di China Coconut Palm Group, Haikou, Provisi Hainan, Senin (24/5/2021). Perusahaan tersebut mendapatkan pasokan sebanyak 700 ribu butir kelapa per hari dari Indonesia yang diproduksi sebagai minuman air kelapa dan jus kelapa dalam kemasan. ANTARAFOTO/M. Irfan Ilmie
Bersandar pada Teknologi
Ide rumah produksi bersama juga dijalankan di China untuk membantu UMKM agar mampu menghasilkan produk yang bernilai lebih tinggi dengan biaya yang murah. Kedua hal ini bisa dicapai dengan bantuan teknologi.
Sama seperti Indonesia, UMKM juga mendominasi kelompok usaha di China. Porsinya mencapai 98% dari keseluruhan usaha di China. Namun, sejak pemerintah China memberlakukan intelligent manufacturing Initiative pada 2015, penjualan produk UMKM tergerus lantaran tak mampu bersaing. Karena itu, diperlukan produksi produk bernilai lebih tinggi dan biaya yang murah agar UMKM mampu bersaing.
Menurut data dari Laporan Tren Perkembangan World Intelligent Manufacturing Center (2019) yang diterbitkan oleh Economic Observer pada Mei 2019, sebanyak 537 kawasan industri ditujukan untuk IM di seluruh China. Kawasan industri dapat memfasilitasi pertumbuhan usaha kecil dengan kebijakan khusus yang ditargetkan dan pembagian sumber daya yang mudah di dalam klaster.
Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT) China mengumumkan rencana untuk mempercepat penggarapan factory sharing pada akhir Oktober 2019. Pedoman tersebut, yang diharapkan terutama bermanfaat bagi UKM, akan bertujuan untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya, mengurangi idle capacity, dan meningkatkan kinerja seluruh rantai industri.
Berdasarkan hal ini, UKM akan dapat memperoleh keuntungan dari kapasitas produksi bersama, teknologi dan layanan inovatif, yang berarti cara yang lebih mudah diakses dan bahkan lebih hemat biaya untuk meningkatkan produksi.
Berdasarkan rencana tersebut, 20 platform factory sharing dengan kemampuan inovatif yang kuat dan pengaruh industri akan dibentuk pada tahun 2022.