21 Desember 2022
10:52 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menganjurkan Indonesia untuk meninggalkan kebijakan proteksionis, agar dapat meningkatkan kinerja perdagangan internasional. Salah satu contohnya adalah menggunakan impor untuk memastikan kualitas produk Indonesia dapat bersaing di pasar internasional.
Peneliti CIPS Hasran menyebut, saat ini Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produknya di pasar internasional.
“Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional dan mampu bersaing secara harga,” jelasnya dalam keterangan pers, Jakarta, Selasa (20/12).
Meningkatkan daya saing, lanjutnya, sangat diperlukan dalam upaya Indonesia membuka pasar bagi produk buatan dalam negeri. Menciptakan produk berkualitas dengan harga terjangkau sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan, dan banyak dari bahan baku tersebut hanya dapat dipenuhi melalui impor.
Baca Juga: Punya Nilai Tambah, Mamin Indonesia Dilirik di Food Africa
Selain itu, kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global.
Kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri ini membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif lebih murah.
Walaupun kebijakan TKDN merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada perusahaan lokal, namun kebijakan ini berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam Industri.
Terakhir, Hasran menggarisbawahi, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP), di mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.
“Untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya impor yang kita lakukan, bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan semata dikonsumsi secara langsung,” tegas Hasran.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Namun secara nilai, ekspor Indonesia meningkat tajam ke dunia internasional.
Peningkatan ekspor ini disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti nikel, batu bara dan CPO di pasar global. Di akhir 2022, Hasran memproyeksi, harga komoditas-komoditas tersebut akan turun.
Hal ini pun akan berdampak pada kondisi neraca perdagangan Indonesia. Indonesia sejak dulu hingga sekarang memang lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi.
Baca Juga: Tembus US$383 Juta, Ekspor Mainan Indonesia Laku Di Global
Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya.
“Di tengah krisis iklim dan kebutuhan akan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, meningkatkan value added pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia,” sebutnya.
Hasran menekankan, ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Sementara itu, ekspor produk jadi juga akan lebih banyak membuka kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam berupa komoditas.
Kinerja Ekspor Produk Unggulan
BPS mencatat, besi dan baja, minyak kelapa sawit, batu bara, serta gas alam merupakan komoditas yang menjadi unggulan Indonesia untuk diperdagangkan di dunia.
Adapun per November 2022, kinerja ekspor komoditas minyak kelapa sawit mengalami penurunan kinerja pada bulan ini (US$2,34 miliar), disusul oleh komoditas batu bara (US$4,16 miliar) dan gas alam (US$0,80 miliar).
Hanya, komoditas besi dan baja yang mengalami peningkatan kinerja ekspor menjadi US$2,34 miliar, karena kenaikan harga komoditas ke level US$93,34/dmtu.
Lebih lanjut, pelemahan kinerja ekspor komoditas minyak kelapa sawit serta batu bara lebih disebabkan karena penurunan volume, sedangkan kinerja pengapalan gas alam yang menurun lebih disebabkan karena penurunan harga di tingkat global.