05 Februari 2025
19:49 WIB
ESDM Tegaskan Komitmen RI Capai Target Pengurangan Emisi Karbon
Realisasi penurunan emisi gas rumah kaca sektor energi pada 2024 mencapai 147,61 juta ton CO2 ekuivalen atau melebih target yang ditetapkan sebesar 142 juta ton CO2 ekuivalen
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat Kick Off Indonesia Energy Transition Facility di Jakarta, Rabu (5/2/2025). (ANTARA/Kuntum Riswan
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menegaskan komitmen Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi karbon, sesuai yang tercantum pada Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC).
“Kementerian ESDM tetap menjaga komitmen untuk memenuhi kewajibannya dalam mencapai target E-NDC tahun 2030 dan juga Net Zero Emission tahun 2060 atau lebih cepat,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat Kick Off Indonesia Energy Transition Facility di Jakarta, Rabu (5/2).
Komitmen tersebut, lanjut Dadan, tertuang pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% yang telah disepakati bersama dengan DPR, Senin (3/2) lalu.
Dirinya mencatat realisasi penurunan emisi gas rumah kaca sektor energi pada 2024 mencapai 147,61 juta ton CO2 ekuivalen atau melebih target yang ditetapkan sebesar 142 juta ton CO2 ekuivalen.
“Jadi kami berada di jalur yang tepat pada program pengurangan emisi. Pengembangan kelistrikan periode 2025-2034 direncanakan pembangunan tenaga listrik dengan kapasitas sebesar 71 gigawatt ini sebagaimana yang disampaikan juga pada saat UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) tahun lalu,” ucapnya.
Lebih lanjut, Dadan menyampaikan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menjalin kerja sama strategis dengan berbagai pihak untuk mempercepat transformasi Indonesia menuju sistem yang lebih hijau, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan komitmen global terhadap penurunan emisi dan penggunaan energi terbarukan.
Terkait Carbon Capture Storage, imbuhnya, Indonesia juga sudah meluncurkan regulasi, kebijakan, skema hingga mekanisme untuk memanfaatkan potensi penyimpanan untuk CO2. Secara total, Indonesia mempunyai potensi sekitar 500 gigaton dan sudah ada dua perusahaan yang menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama.
“Sekarang banyak pihak menilai da program peningkatan lifting, ada program net zero emission, ada program EBT, semuanya itu sejalan dalam konteks bagaimana kita meningkatkan swasembada energi dengan tetap bahwa pertimbangan-pertimbangan keberlanjutan menjadi prioritas dalam pengembangannya,” ujar dia.
Mitra Kunci
Direktur Jenderal Aksi Iklim Komisi Eropa Diana Acconcia menegaskan, Uni Eropa tetap berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim dan menjadikan Eropa benua dengan nol emisi pada 2050. Menurut Acconcia, Uni Eropa berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan emisi CO2 sebesar 55% pada 2030.
Kelompok 27 negara Eropa itu, imbuhnya, juga masih menjadi penyedia utama pendanaan iklim di seluruh dunia, katanya. “Saya berada di sini untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia agar kita dapat bersama menempuh perjalanan ini. Indonesia adalah mitra kunci bagi Uni Eropa dan aktor utama dalam aksi iklim,” kata dia.
Pejabat Komisi Eropa itu juga mengatakan, Indonesia punya sumber daya besar dalam energi terbarukan dan berpeluang memproduksi teknologi bersih seperti baterai. Indonesia juga memiliki potensi untuk melakukan penangkapan dan penyimpanan karbon.
Selain itu, kata Acconcia, Indonesia memiliki industri yang mampu memproduksi bahan dasar seperti baja dan aluminium bagi teknologi ramah lingkungan. “Namun, tantangannya, pasokan energi Indonesia masih sebagian besar bergantung pada batu bara," kata dia.
Dia mengungkapkan keyakinannya, daya saing ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada proses "penghijauan" sistem energinya. Menurut dia, Indonesia secara bertahap akan beralih dari penggunaan bahan bakar fosil.
Program IETF di Indonesia mendapatkan total pendanaan sebesar 14,7 juta euro (sekitar Rp249 miliar), 10,6 juta euro di antaranya berasal dari Uni Eropa dan sisanya dari Prancis. Program itu diharapkan bisa mempercepat transisi energi di Indonesia dengan pengembangan kebijakan dan dukungan bagi investasi energi berkelanjutan.