19 November 2021
09:35 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Emiten farmasi yang juga anak usaha PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PT Phapros Tbk, membidik potensi pengembangan obat herbal di Indonesia.
Direktur Utama Phapros Hadi Kardoko menyebutkan, Indonesia memiliki potensi besar pengembangan obat herbal. Mengingat sebagai negara yang berada di tengah garis khatulistiwa, berbagai jenis tanaman obat tumbuh subur di Tanah Air.
Berdasarkan data dari LIPI pada 2020, Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas terbesar keempat di dunia yang memiliki lebih dari 29.000 jenis tanaman, sebanyak 2.484 diantaranya adalah tanaman obat.
"Potensi pengembangan obat herbal di Indonesia didukung dengan perilaku masyarakat kita yang sebagian besar lebih memilih pengobatan secara tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang bisa diperoleh di alam sekitar daripada menggunakan obat kimia," ujarnya di Jakarta, Jumat (19/11), dikutip dari Antara.
Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia itu juga sudah dimanfaatkan industri farmasi untuk membuat obat herbal fitofarmaka atau yang kini juga dikenal dengan sebutan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Yakni, obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia), bahan baku dan produk jadinya sudah distandarisasi.
Phapros adalah satu perusahaan yang sudah memanfaatkan obat bahan alam tersebut. Emiten berkode saham PEHA tersebut memiliki dua dari 23 produk obat herbal fitofarmaka yang memiliki izin edar dari BPOM RI.
Hadi menambahkan, pengembangan obat herbal fitofarmaka masih sangat sedikit di Indonesia. Hal itu tak lepas dari berbagai tantangan yang ada. Beberapa tantangan tersebut diantaranya adalah sumber daya alam tumbuhan yang belum dikelola secara optimal, biaya riset yang besar dan proses riset yang lama, dan harga jual produk herbal yang seringkali lebih mahal dari produk kimia.
"Namun, seiring dengan adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dan dibentuknya Satgas Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka oleh BPOM, hal ini diharapkan nantinya pengembangan obat fitofarmaka di Indonesia bisa kian terarah dan dapat dilakukan secara masif," kata Hadi.
Sebelumnya, Staf Khusus Menkes Bidang Resiliensi Industri Obat dan Alat Kesehatan, Laksono Trisnantoro menyebutkan, kondisi kemandirian dan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan di Indonesia belum bagus. Hal ini lantaran sebagian besar kebutuhan masih bergantung pada impor.
Dia menjelaskan ketergantungan bahan baku obat untuk produksi farmasi lokal pada impor masih mencapai 90%. Kemudian belanja alat kesehatan Indonesia masih didominasi produk impor, yakni sebanyak 88% dari transaksi pada 2019–2020 di katalog elektronik.
Sementara anggaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan masih rendah, hanya 0,2% dari total PDB. Angka ini dibandingkan bujet yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat yang 2,8%, misalnya, atau bahkan dengan Singapura yang 1,9%.
"Kita melihat ada semacam tantangan besar. Ini yang menjadi isu kunci bahwa kebijakan yang utama sekarang adalah menggunakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)," ujar dia dalam Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi, Senin (8/11).
Salah satu contohnya, lanjut dia, bahan baku untuk clopidogrel yaitu obat untuk mencegah stroke dan serangan jantung. Hanya dua dari 15 industri farmasi pemilik izin edar obat itu yang TKDN bahan bakunya mencapai 68%, sedangkan sisanya masih di bawah 40%.
"Kecuali Kimia Farma Banjaran dan Phapros itu 68%. Jadi kalau kita lihat memang masih di sekitar 30–40%. Ini yang menjadi isu kunci. TKDN itu isu satu-satunya untuk meningkatkan kemandirian," urai Laksono.