04 Agustus 2021
13:36 WIB
JAKARTA – Ekonomi Indonesia dinilai perlu tumbuh rata-rata enam persen per tahun, untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) sebelum tahun 2045. Untuk mencapai ini, menurut dia, Indonesia harus melakukan redesain transformasi ekonomi, agar pertumbuhan ekonomi kembali terangkat ke level yang sesuai dengan perencanaan sebelum terdampak covid-19.
“Satu-satunya cara kita harus meredesain transformasi ekonomi kita. Tapi transformasi ekonomi ke depan perlu inklusif, masuk ke green economy, green recovery, tentunya harus berkelanjutan,” kata Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Amalia Adininggar Amalia dalam webinar bertajuk “50 Tahun Nalar Ajar Terusan Budi” di Jakarta, Rabu (4/8).
Transformasi ekonomi bisa dilakukan mengubah struktur perekonomian dari sektor berproduktivitas rendah, menjadi produktivitas tinggi. Selain itu, Indonesia juga bisa meningkatkan produktivitas pada tiap sektor.
“Jadi kunci peningkatan produktivitas itu ada dua, mengubah strukturnya atau pindah sektor dari produktivitas rendah ke tinggi, atau meningkatkan produktivitas di dalam sektor itu sendiri,” ucapnya.
Ia mengatakan pemerintah dan segenap bangsa Indonesia harus melakukan transformasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang hanya lima persen per tahun, menurutnya tidak akan bisa membawa Indonesia keluar dari status negara berpendapatan menengah.
Untuk itu, Indonesia harus bisa mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang ekspornya masih lebih rendah dibanding negara-negara peers. Indonesia pun harus bisa berhenti mengandalkan komoditas sumber daya alam (SDA) mentah untuk diekspor.
Indonesia, lanjutnya, juga harus bisa meningkatkan nilai ekspor per kapita dan mendiversifikasi ekspor. Selanjutnya, kinerja sektor manufaktur perlu terus dijaga.
“Saat ini kinerja sektor manufaktur turun terlalu cepat dibandingkan negara-negara pembanding dalam level PDB (Produk Domestik Bruto) per kapita yang sama,” imbuhnya.
Ia mengatakan Indonesia harus meniru Rumania dan Korea Selatan yang berhasil keluar dari status negara berpendapatan menengah. Belajar dari kedua negara tersebut, Indonesia harus melakukan transformasi ekonomi secara konsisten.
“Korea melakukan pengembangan sektor industri yang masif diLengkapi dengan peningkatan sumber daya manusia, dan riset dan teknologi. Rumania juga bisa tumbuh sukses karena melakukan diversifikasi ekspor dari labour-intensive low-tech sektor ke sektor yang lebih produktif seperti otomotif, machinery, dan elektronik,” kata Amalia.
Seperti diketahui, Bank Dunia telah menurunkan kelas Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income country) dari sebelumnya negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country).
Dalam laporan yang diperbarui setiap 1 Juli itu, penurunan kelas terjadi seiring dengan menurunnya pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita pada tahun 2020. Tahun lalu pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$3.870, turun dari tahun 2019 yang sebesar US$4.050.
190 Negara
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, lebih dari 190 negara di dunia terjebak di dalam negara berpendapatan menengah. Menurutnya, tidak banyak negara di dunia yang bisa keluar dari jebakan ini.
“Tidak banyak negara di dunia ini, kurang dari 20 (negara) yang bisa menembus apa yang disebut middle income trap itu,” ucapnya.
Mantan Managing Director World Bank tersebut mengatakan, hal ini adalah tantangan nyata. Ia bilang, fenomena middle income trap pun sudah dipelajari dan diketahui apa yang menyebabkan negara tidak bisa keluar dari jebakan ini.
Lebih lanjut, ia memaparkan, faktor pertama yang dapat membuat suatu negara keluar dari jebakan middle income country adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, negara yang mampu menginvestasikan dan meningkatkan kualitas SDM, akan identik dengan negara yang terus meningkatkan produktivitas dan inovasi yang menjadi kunci suatu negara naik menjadi negara berpendapatan tinggi.
“Jadi kalau kita bicara tentang SDM semuanya juga sepakat SDM penting namun yang paling penting, enggak banyak negara yang bisa menyelesaikan tantangan SDM ini meskipun mereka recognize bahwa SDM penting,” tuturnya.

Pendidikan dan Kesehatan
Sri Mulyani menjelaskan, di Indonesia sendiri, untuk meningkatkan kualitas SDM, faktor yang penting ialah meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Ia bilang, pendidikan dan kesehatan adalah dua fungsi desentralisasi yang tidak hanya bicara apa yang perlu. Namun juga bagaimana membagi kewenangan, tanggung jawab, dan akuntabilitas serta meyakinkan bahwa seluruh sumber daya dan kebijakan bisa mencapai hasilnya.
Anggaran pendidikan Indonesia, lanjutnya, sudah meningkat sesuai amanat konstitusi yang sudah diamandemen 20%. Bahkan dalam beberapa tahun ini anggaran pendidikan ada angka di Rp5550 triliun.
Besarnya anggaran pendidikan dinilai belum tentu menyelesaikan masalah, untuk itu anggaran yang ada juga diharapkan bisa diterjemahkan dalam bentuk kualitas SDM yang baik. “Yang memang menghasilkan manusia yang produktif, inovatif, berkarakter kebangsaan dan akan menjadi manusia-manusia yang bisa membawa Indonesia menuju indo yang adil, makmur, seperti yang dicita-citakan,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, untuk membentuk SDM yang berkualitas, diperlukan juga anggaran kesehatan. Saat ini, kata Sri Mulyani, fungsi kesehatan terbagi menjadi beberapa bentuk, seperti untuk membayar jaminan kesehatan BPJS Kesehatan PBI untuk 98 juta masyarakat. Ada pula yang berbentuk penguatan puskesmas yang menjadi pelayanan dasar kesehatan. Kemudian juga, untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja kesehatan.
“Ini masih merupakan suatu PR (pekerjaan rumah) yang luar biasa reform di bidang pendidikan dan kesehatan adalah dua core utama untuk kita bisa menembus middle income trap,” ujarnya.
Selanjutnya, bantuan atau jaminan sosial juga dinilai menjadi area yang penting. Sri Mulyani menyampaikan, jaminan sosial sebelum pandemi berfokus pada transformasi teknologi digital yang dikhawatirkan tenaga kerja manusia dapat digantikan robot.
“Sebuah pemikiran yang sudah lompat jauh ke depan namun ini juga sekarang dalam kondisi pandemi kita tidak terlepas bahwa digital technology merupakan salah satu solusi atau yang ikut mengurangi dampak hebat dari akibat pandemi ini. Oleh karena itu, bantuan sosial atau jaminan sosial harus reinstall,” ujarnya.
Infrastruktur dan Birokrasi
Ani -sapaan akrab Sri Mulyani- melanjutkan, faktor kedua suatu negara dapat keluar dari middle income trap ialah terkait infrastruktur yang berkaitan dengan pendanaan yang berkelanjutan. Untuk itu, menurutnya, diperlukan peran swasta dalam membangun infrastruktur yang berkelanjutan, karena tidak mungkin suatu negara membangun hanya menggunakan sumber dari kas negara.
“Maka ini adalah merupakan suatu tantangan mengenai bagaimana framework bagaimana kerja sama publik dan private yang transparan, akuntabel dan juga bisa menciptakan pembangunan infrastruktur yang efisien. Kami telah melakukan banyak hal di Kementerian Keuangan dalam mendesain KPBU ini,” jelasnya.
Selanjutnya, persoalan institusi atau birokrasi juga dinilai sangat penting. Sri Mulyani menerangkan, negara yang bisa menembus middle income trap adalah negara yang memiliki institusi yang efisien, lincah, dan performa yang baik berdasarkan tata kelola yang baik juga. Itu artinya, institusi dapat terbebas dari korupsi dan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah terus melakukan reformasi birokrasi. Salah satunya dengan menghasilkan Undang-Undang Cipta Kerja yang diklaim sebagai capaian penting untuk mengubah cara berpikir baik di pusat maupun daerah.
“Dari sisi rezim perizinan regulasi diharapkan akan makin efisien tentu ini merupakan salah satu elemen yang luar biasa penting reformasi institusi dari birokrasi ini sangat sulit,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, check and balances dari masyarakat juga dinilai diperlukan agar institusi baik di pusat dan daerah dapat bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi. Terlebih, belanja dari APBN untuk birokrasi juga semakin meningkat.
Kemudian, untuk menembus middle income trap juga perlu dilakukan transformasi ekonomi yang menuju ke digital dengan berbasiskan kepada efisiensi dan produktivitas serta regulasi yang simpel, kompetitif, serta terbuka.
Dengan begitu, diharapkan kebijakan yang telah dibuat dapat mengurangi berbagai peraturan-peraturan yang membebani dunia usaha. “Ease of Doing Business kita akan terus diperbaiki termasuk di berbagai hal yang utamanya adalah pelayanan publik,” ucap Sri Mulyani.