11 September 2025
10:19 WIB
Ekonom Ragukan Langkah Menkeu Purbaya Genjot Kredit Lewat Tambahan Likuiditas
Masih rendahnya permintaan dan tingginya dana pinjaman yang belum dicairkan, ekonom sebut likuiditas bukan jadi solusi utama peningkatan kredit ke sektor riil.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Ilustrasi kredit perbankan. Shutterstock/Zivica Kerkez
JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengkritisi strategi Menteri Keuangan Purbaya, yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi lewat peningkatan kredit melalui tambahan likuiditas.
Nyatanya di lapangan, aliran dana dari sektor keuangan ke kegiatan ekonomi cenderung lambat bahkan membutuhkan waktu lama. Hal tersebut, disebabkan oleh kondisi sektor riil yang stagnan sehingga menyebabkan minimnya permintaan akan kredit.
“Bank-bank kita mengalami kelebihan likuiditas, tetapi kredit tumbuh lambat. Sektor riil memang sedang stagnan; pengusaha malas berekspansi karena ketidakpastian hukum, ekonomi biaya tinggi, dan berbagai faktor lainnya,” beber Wijayanto dalam keterangan tertulis, Kamis (11/9).
Baca Juga: Dorong Ekonomi, Menkeu Bakal Suntik Dana Rp200 T Dari BI Ke Perbankan
Sebagai catatan, Menkeu Purbaya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Rabu (10/9), mengaku akan mendorong perekonomian melalui kebijakan moneter dengan menempatkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun yang tertahan di BI ke perbankan, agar dapat tersalur ke sektor riil melalui kredit.
Sementara itu, menurut Wijayanto, permasalahan yang terjadi saat ini bukanlah pada isu moneter atau fiskal, melainkan isu kebijakan sektoral dan kepastian hukum di ranah usaha.
“Menggerojog ekonomi dengan tambahan likuiditas tidak akan membantu memperbaiki keadaan, karena akar masalah bukan pada isu moneter, atau isu kebijakan fiskal, tetapi di isu kebijakan sektoral, iklim berusaha dan kepastian hukum,” imbuhnya.
OJK Revisi Target Kredit
Senada dengan Wijayanto, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan, Menkeu Purbaya perlu memperhitungkan aspek permintaan (demand side of equation). Menurutnya, sebanyak apapun likuiditas yang digelontorkan pemerintah tidak akan mendorong angka kredit lantaran permintaan yang lemah.
“Bisa dicek undisbursed loan (pinjaman yang belum dicairkan) di perbankan sekarang berapa, juga pertumbuhan kredit sampai sekarang kan 7%, itu rendah. Artinya memang permintaan sedang menurun,” ungkap Fadhil.
Mendukung pernyataan Fadhil, Otoritas Jasa keuangan (OJK) melaporkan, kinerja penyaluran kredit nasional pada Juli 2025 hanya tumbuh sebesar 7,03% secara tahunan (yoy), menjadi Rp8.043,2 triliun.
Sementara itu pinjaman yang belum dicairkan tumbuh meningkat sebesar 9,52% atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 6,89%.
Pada saat bersamaan, OJK baru saja mengumumkan sebagian besar bank di tanah air mulai merevisi turun target kredit di 2025, sebagai bentuk respons berbagai kondisi perekonomian global dan domestik yang dinamis.
Baca Juga: BI: Pertumbuhan Kredit Bank Juli 2025 Makin Melambat Jadi 7,03%
Secara umum, perbankan tanah air cenderung menyesuaikan target kredit menjadi lebih konservatif ke bawah dalam RBB hasil revisi. Namun demikian, Dian menyampaikan, terdapat beberapa bank yang meningkatkan target pertumbuhan kredit.
"OJK menilai bahwa sasaran (kredit) yang ditetapkan sesuai hasil revisi tersebut masih tetap kontributif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, Jakarta, Rabu (10/9).
Kondisi ini, nyatanya bertolak belakang dengan strategi Menkeu Purbaya yang mengaku akan memaksa perbankan mencari keuntungan lebih tinggi lewat tambahan likuiditas Rp200 triliun, melalui penyaluran kredit sehingga mendorong aktivitas ekonomi.
“Jadi saya memaksa mekanisme pasar berjalan dengan memberi senjata ke mereka, jadi memaksa perbankan berpikir lebih keras untuk bekerja supaya dapat return yang tinggi,” ujar Purbaya.