18 Desember 2024
12:17 WIB
Ekonom: Penerapan PPN 12% Harus Disertai Perbaikan Tata Kelola Pajak
Melihat situasi fiskal yang sangat berat saat ini, menaikkan tarif PPN sebenarnya merupakan langkah yang kurang ideal walaupun dapat dipahami
Seorang pembeli memeriksa besaran PPN dalam struk belanjaannya. dok.Validnews./Fin Harini
JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina Jakarta Wijayanto Samirin menilai, penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%, harus disertai dengan perbaikan tata kelola pemerintah. Khususnya di sektor perpajakan.
Menurutnya, apabila melihat situasi fiskal yang sangat berat saat ini, menaikkan tarif PPN sebenarnya merupakan langkah yang kurang ideal walaupun dapat dipahami.
"Rendahnya tax ratio kita, lebih disebabkan oleh tax base yang sempit, korupsi sektor pajak yang prevalent dan ketaatan membayar pajak yang rendah. Pertimbangkan kenaikan ini saya lihat murni untuk mengamankan fiskal kita, terutama menghadapi situasi berat di 2025 dan 2026," ujar Wijayanto di Jakarta, Rabu (18/12).
Wijayanto menjelaskan, pemberian insentif yang disiapkan pemerintah seiring dengan penaikan PPN 12%, merupakan langkah tepat untuk mencegah penurunan daya beli. Tetapi, ia lanjutnya, kunci sukses dari insentif adalah implementasi di lapangan, semakin kompleks insentif yang diberikan semakin rumit implementasi di lapangan.
Selain itu, insentif tidak akan berjalan dengan baik jika target penerima insentif tidak memahaminya; dalam konteks ini, pemerintah perlu mengkomunikasikan dengan baik kepada para pengusaha dan masyarakat, agar mereka tergerak untuk memanfaatkan dan ekonomi terstimulan untuk berputar.
Terkait hal ini, ia menilai, sejauh ini pemerintah masih jauh dari kata optimal.
Lebih lanjut, menanggapi pernyataan pemerintah yang menyebut ekonomi berjalan baik-baik saja saat PPN diterapkan 11% pada 2022, Wijayanto menilai situasi tahun 2024 dan 2022 tidak bisa disamakan.
Pada 2022, Indonesia dan dunia baru pulih dari pandemi covid-19, maka terjadi permintaan belanja yang melonjak. Masyarakat mengalami euforia untuk berbelanja, memanfaatkan berbagai benefit yang diterima saat pandemi.
Namun saat ini, ekonomi dunia sedang melambat, efek pasca kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS alias Trump effect sebentar lagi muncul, dan daya beli masyarakat kita sedang lemah. Insentif sangat diperlukan untuk mengantisipasi itu semua.
"Yang tidak boleh kita lupakan adalah prinsip keadilan dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan terkait kenaikan PPN dan UMP menguntungkan Pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pengusaha. Berbagai stimulus yang baru-baru ini diluncurkan juga tidak secara jelas memberikan manfaat langsung bagi pengusaha," jelasnya.
Ia menyarankan pemerintah ke depan perlu mengeluarkan kebijakan yang juga pro pengusaha.
"Saat ini mereka sedang sangat kesulitan, jangan sampai mereka patah arang, pesimis dan tidak mau melakukan investasi, bahkan cenderung melakukan divestasi. Jika ini terjadi, akan sangat berat bagi ekonomi kita. Jika pengusaha dalam negeri saja malas berinvestasi dan justru ingin exit, bagaimana bisa kita meyakinkan investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia?" bebernya.
Tertinggi Di ASEAN
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah mengumumkan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung berbagai program pembangunan. Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyumbang besar terhadap penerimaan negara.
PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa, sementara PPnBM diberlakukan pada barang mewah seperti kendaraan, perhiasan, dan hunian yang dikonsumsi kalangan berpenghasilan tinggi.
Kedua pajak ini menjadi penyumbang terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) dan memiliki peran penting dalam mengatur konsumsi serta mendukung pemerataan ekonomi. PPN dan PPnBM memberikan kontribusi besar terhadap keuangan negara dan mencerminkan kebijakan fiskal yang progresif.
Dengan kebijakan baru tersebut, Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), sejajar dengan Filipina yang juga menerapkan tarif yang sama.
Hal ini menjadikan Indonesia dan Filipina sebagai dua negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sementara negara-negara lain di kawasan ini masih mengenakan tarif yang lebih rendah.
Meskipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, tarif PPN Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia. Ia menyebutkan, negara-negara seperti Brasil menerapkan tarif PPN sebesar 17%, Afrika Selatan 15%, dan India 18%.
Menurutnya, sekalipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, tarif tersebut masih tergolong moderat.