23 Juli 2024
20:00 WIB
Ekonom: Pemerintah Baru Bakal Hadapi Jatuh Tempo Utang Besar 2025-2027
Utang yang akan segera jatuh tempo ini terjadi sebagai konsekuensi dari defisit belanja pemerintah.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Ilustrasi hutang luar negeri. Shutterstock/dok
JAKARTA - Direktur Riset Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Core Indonesia Akhmad Akbar Susamto menekankan, pemerintah baru perlu berhati-hati dengan profil jatuh tempo utang negara yang akan terjadi dalam tiga tahun mendatang.
Akbar menjelaskan, utang yang akan segera jatuh tempo ini terjadi sebagai konsekuensi dari defisit belanja pemerintah, yang muncul akibat berbagai belanja pemerintah yang tidak diimbangi dengan pendapatan negara yang mumpuni.
“Kita harus hati-hati… Profil jatuh tempo utang pemerintah pusat tahun 2025 sampai 2027 tinggi sekali,” tegasnya dalam agenda ‘Mitigasi Risiko Ekonomi Jelang Pemerintahan Baru’, Jakarta, Selasa (23/7).
Mengacu catatan Kemenkeu, total utang jatuh tempo RI di 2025 sebesar Rp800,3 triliun; terdiri dari pinjaman Rp705,5 triliun dan SBN Rp94,8 triliun. Lalu, total utang jatuh tempo RI di 2026 sebesar Rp803,2 triliun; terdiri dari pinjaman Rp703 triliun dan SBN Rp100,2 triliun.
Kemudian, total utang jatuh tempo RI di 2027 sebesar Rp802,6 triliun; terdiri dari pinjaman Rp695,5 triliun dan SBN Rp107,1 triliun. Adapun total utang jatuh tempo RI untuk Juni-Desember 2024 sebesar Rp434,3 triliun; terdiri dari pinjaman Rp371,8 triliun dan SBN Rp62,5 triliun.
Baca Juga: Kemenkeu: Utang Pemerintah RI Turun 0,68% Jadi Rp8.262,1 T
Kondisi itu, Akbar soroti karena pemerintahan baru punya banyak rencana belanja sebagaimana dijanjikan dalam masa kampanye sebelumnya. Seperti menjanjikan program makan siang gratis, pembangunan 3 juta unit rumah, hingga perbaikan serta pembangunan untuk sekolah dan sarana kesehatan se-Indonesia.
“Pemerintahan baru atau terpilih itu, kalau dari janji-janjinya itu luar biasa, banyak hal yang ingin dilakukan. Sementara pada waktu yang sama, belanja melebar, kemudian penerimaan melambat, terjadi defisit yang melebar, dan utang meningkat, sudah gitu jatuh tempo lagi,” terangnya.
Di sisi lain, permasalahan utang belum selesai sampai di situ. Akbar menekankan, biaya utang yang mesti pemerintah bayarkan cukup mahal. Hal ini terlihat dari imbal hasil (yield) dari utang pemerintah yang sangat besar di atas BI-Rate, yang bahkan besaran ini lebih tinggi dari yang dipatok oleh negara sekelas AS.
Sebagai gambaran, imbal hasil utang pemerintah RI ada di kisaran 7%-an per Juli 2024, sementara BI-Rate berkisar 6,25%. Sementara itu, imbal hasil utang pemerintah AS saat ini sudah cenderung menurun ke level 4%-an sejak April 2024.
“Jadi, ini harus hati-hati dan beri perhatian, kenapa? Utang yang biayanya mahal itu tentu saja juga akan membebani APBN pada akhirnya,” paparnya.
Core Indonesia menilai, spread imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang semakin melebar mencerminkan meningkatnya persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia. Karena ada persepsi investor yang khawatir mengenai stabilitas ekonomi atau kemampuan Indonesia untuk membayar kembali utangnya.
Kondisi tersebut akan menyebabkan investor meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk mengompensasi risiko gagal bayar tersebut. DJPPR Kemenkeu mencatat, capital outflow dapat mengganggu stabilitas nilai tukar, kondisi pasar modal, hingga stabilitas pasar keuangan Indonesia
Rasio Utang RI Terhadap Pendapatan Negara 300%
Akbar melanjutkan, pemerintah juga harus mulai sadar rasio utang RI saat ini terhadap pendapatan sudah mencapai 300%. Mudahnya, besaran utang ini sudah jauh lebih tinggi dari kemampuan pemerintah mendapatkan pendapatan dari berbagai sumber yang dikumpulkan APBN.
“Nah, ternyata kalau dibandingkan (pendapatan negara) dengan utang totalnya udah jauh banget. Di mana rasio utang udah tiga kali lipat lebih besar daripada penerimaan yang kita punya. Ini (besaran utang) tentu saja lebih serius dibandingkan posisi sebelumnya,” katanya.
Utang pemerintah per 31 Mei 2024 mencapai Rp8.353 triliun, atau meningkat sebesar 7,3% dibandingkan periode yang sama di 2023. Adapun, rasio utang pemerintah dengan realisasi pendapatan naik lebih tinggi, dari 292,6% per Desember 2023 menjadi 300% per Mei 2024.
Baca Juga: Airlangga Benarkan Sempat Ada Pembahasan Wacana Rasio Utang 50% Di Era Prabowo
Jika demikian, rasio utang ini sudah jauh di atas ambang batas utang aman yang diklasifikasi oleh IMF maupun International Debt Relief. Misal, ambang batas rasio utang publik terhadap pendapatan pemerintah (public debt/domestic government revenue) oleh IMF sebesar 90-150% dan International Debt Relief sebesar 92-167%.
“Posisi utang pemerintah terhadap pendapatan sedang tidak aman, karena telah melebihi batas yang ditetapkan oleh IMF, misalnya dalam range 90-150%,” ungkapnya.
Namun, pemerintah menilai, rasio utang terhadap PDB milik RI per Mei 2024 masih berkisar 38,71% atau konsisten terjaga di bawah 40%. Capaian ini pun masih cukup jauh di bawah ketetapan rasio utang pemerintah maksimal 60% dari PDB sebagaimana diatur UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
“Nah, jadi kalau kita lihat beberapa indikator-indikator (IMF-International Debt Relief), (utang) kita sudah enggak aman sebenarnya. Mungkin yang masih relatif aman kalau kita menggunakan indikator rasio utang pemerintah terhadao PDB, karena angkanya masih di bawah 40%, sementara batas amannya (maksimal) 60%,” ujarnya.