28 Februari 2024
15:20 WIB
JAKARTA - Ekonom Senior PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Emil Muhamad mengamati, pelaku pasar belakangan mulai mengalihkan perhatian ke pasar obligasi, setelah ketidakpastian pemilihan umum (pemilu) berkurang. Selain itu, lanjutnya, proyeksi penurunan suku bunga acuan akan memberikan sentimen positif dari domestik untuk pasar obligasi pada tahun ini.
“Kami meyakini tahun 2024 akan menjadi tahun penurunan suku bunga yang akan berdampak pada kenaikan attractiveness dan potensi kenaikan pasar obligasi. Meski hal itu masih belum akan terlihat di kuartal I-2024, karena The Fed diperkirakan baru akan memulai pemangkasan suku bunganya pada Juli," ujar Emil di Jakarta, Rabu (28/2).
Emil memperkirakan, pasar obligasi akan semakin menarik setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan BI-Rate di level 6%. Dia meyakini BI akan memangkas suku bunga acuan pada Juli 2024, setelah The Fed diperkirakan memulai program rate cut-nya pada Juli 2024 mendatang.
Menurutnya, hal itu berdasarkan proyeksi terbaru The Fed yang menyatakan akan menurunkan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak tiga kali selama 2024, atau lebih sedikit dari proyeksi pasar yang sempat mencapai enam sampai tujuh kali penurunan. Selain itu, lanjutnya, potensi obligasi juga didorong oleh sentimen surplus neraca perdagangan Indonesia selama 45 bulan berturut-turut yang merupakan rekor terpanjang pasca reformasi.
Kemudian, selama kuartal I-2024, berbagai belanja pemerintah dan masyarakat akan ditopang gelontoran dana perlindungan sosial, kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), serta kenaikan UMR.
Di sisi lain, respons positif pelaku bisnis atas pelaksanaan pemilu satu putaran, akan mendorong pelaku bisnis untuk melakukan penghitungan kebutuhan pendanaan untuk bisnis mereka yang berpotensi meningkatkan penerbitan obligasi korporasi.
"Jumlah penerbitan obligasi korporasi di 2024 diprediksi akan meningkat dibanding 2023 lalu," ujar Emil.
Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI), emisi obligasi korporasi dan sukuk sepanjang 2023 tercatat sebanyak 107 emisi dari 57 perusahaan dengan nilai Rp117,80 triliun. Sementara itu, pemerintah melakukan penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN Ritel senilai Rp147,42 triliun selama 2023 dari penerbitan tujuh seri SBN ritel yang ditawarkan pemerintah yakni SBR012, SR018, ST010, ORI023, SR019, ORI024, dan ST011.
Pada Senin (26/2) kemarin, pemerintah kembali menyerap dana Rp23,92 triliun dari hasil penjualan obligasi negara ritel seri ORI025T3 dan ORI025T6 pada Senin, 26 Februari 2024. Nominal tersebut terdiri dari penyerapan seri ORI025T3 sebesar Rp19,38 triliun dan seri ORI025T6 sebesar Rp4,54 triliun.
Mencermati Kebijakan Pemerintah
Sebelumnya, Direktur Retail and IT BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) Fifi Virgantria menyebut saat ini investor cenderung mencermati arah kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi bisnis dan kinerja emiten di pasar modal ke depan.
"Pemilihan umum (pemilu) yang damai telah memberikan dampak positif terhadap stabilitas pasar modal Indonesia," ujar Fifi dalam Market Outlook 2024 bertajuk "Prospek dan Strategi Investasi Pasar Modal Pasca Pemilu di Tahun Naga 2024" di Jakarta, Minggu (25/2).
Head of Equity Research BRIDS Erindra Krisnawan juga mengatakan, pemilu yang berlangsung baik telah memberikan konfirmasi atas faktor stabilitas Indonesia. Dia menyebutkan optimisme pasar setelah pilpres ditandai dengan aliran dana investor asing masuk (capital inflow) yang didukung ekspektasi dan prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih tinggi di era pemerintahan baru.
"Tren positif ini bisa berlanjut apabila didukung oleh adanya indikasi pertumbuhan laba bersih yang dapat membaik di atas level sebelumnya 7-8 persen. Sementara itu, stabilitas makroekonomi saat ini memberikan proteksi untuk investor terhadap downside risk dari pertumbuhan," ujar Erindra.
Pada kesempatan sama, Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Handayani menyebut terdapat optimisme akan melandainya inflasi dan pemangkasan suku bunga acuan secara global setelah kuartal I 2024.
"Hal itu akan menjadi sentimen positif terhadap pasar keuangan domestik, terutama terhadap stabilitas nilai tukar uang rupiah, meskipun Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga menjadi 6% dan diproyeksikan tidak akan menaikkannya lagi," imbuhnya.
Meski begitu, menurut Handayani, masih terdapat ketidakpastian pada 2024, terutama terkait perkembangan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan kebijakan moneter The Fed. "Tentunya, diperlukan panduan untuk nasabah retail dalam menentukan strategi investasi yang tepat," ujarnya.
Sementara itu, Founder Komunitas dan Investor Rivan Kurniawan menyebut, tidak ada urgensi bagi BI untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya di tengah target inflasi yang terkendali. Dengan fundamental yang cukup baik, dia berharap katalis positif kembali lagi ke Indonesia seiring dengan capital inflow pada tahun 2024 ini.
"Selain itu, akan terdapat sektor yang diunggulkan ketika Prabowo dan Gibran terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, antara lain sektor energi dengan hilirisasinya, minyak kelapa sawit, semen, terkait dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), dan masih banyak sektor-sektor lainnya," ujar Rivan.