23 November 2024
15:48 WIB
Ekonom: Kepatuhan Bayar Pajak Rusak Karena Tax Amnesty Jilid III
Pengampunan pajak yang digulirkan terus menerus justru merusak kepatuhan pembayaran pajak dan menimbulkan ketidakadilan.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Ilustrasi gedung kantor Direktoran Jenderal Pajak (DJP). Shutterstock/M.Gunsyah
JAKARTA - Pemerintah akan kembali memberikan pengampunan pajak (tax) amnesty kepada wajib pajak. Ini menjadi program ketiga setelah menggulirkan program serupa pada 2016 dan 2022 lalu.
Center of Reform on Economics (CORE) menyoroti, kebijakan Tax Amnesty yang berulang kali dapat membawa konsekuensi serius bagi sistem perpajakan Indonesia. Utamanya, berpotensi merusak kepatuhan pajak wajib pajak.
Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet mengatakan, seharusnya pengampunan pajak hanya menjadi kebijakan satu kali (one-off policy) yang diterapkan dalam situasi luar biasa. Namun, ternyata pemerintah berencana memberikan pengampunan hingga jilid III.
"Implementasi hingga jilid III menimbulkan potensi moral hazard. Wajib pajak mungkin sengaja menunda pembayaran dengan asumsi program serupa akan kembali digulirkan," ujarnya kepada Validnews, Jumat (22/11).
Yusuf kembali menekankan, pemberian pengampunan pajak berulang kali kepada para pengemplang pajak akan merusak iklim kepatuhan pajak yang sulit dibangun.
Selain itu, menciptakan rasa ketidakadilan di antara wajib pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak.
Di satu sisi, Yusuf juga menilai, program pengampunan pajak yang dilakukan terus-menerus menunjukkan kelemahan struktural dalam penegakan hukum dan administrasi perpajakan.
"Ketergantungan pada kebijakan ini untuk meningkatkan penerimaan negara mencerminkan ketidakmampuan sistem pajak yang ada untuk menangkap potensi pajak secara optimal," tegas Yusuf.
Dengan begitu, menurutnya, lazim publik jadi mempertanyakan kredibilitas sistem perpajakan Indonesia. Juga, meragukan komitmen pemerintah dalam melakukan reformasi yang berkelanjutan.
"Alih-alih mengandalkan kebijakan pengampunan pajak yang berulang, pemerintah seharusnya fokus pada langkah-langkah struktural yang berjangka panjang," kata Yusuf.
Peneliti CORE itu memaparkan, pertama, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi melalui digitalisasi perpajakan. Ini bertujuan untuk mengintegrasikan data antar instansi, meningkatkan transparansi, dan memastikan akurasi pelaporan pajak, terutama di sektor ekonomi digital.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas aparatur pajak dengan mendorong profesionalisme, kapasitas teknis, dan integritas. Dengan demikian, pengawasan dan pelayanan dapat berjalan lebih optimal.
Ketiga, ekspansi basis pajak. Yusuf menerangkan caranya, yakni dengan mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi informal atau yang selama ini belum optimal dalam membayar pajak, tanpa membebani sektor yang telah patuh.
Keempat, memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat dan transparansi sistem perpajakan perlu diperkuat. Ini bertujuan membangun kepercayaan publik.
"Ini harus didukung oleh penegakan hukum yang konsisten dengan memberikan sanksi tegas bagi pengemplang pajak demi menciptakan efek jera," ujar Yusuf.
Senada, Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, tax amnesty jilid III akan menggerus kepatuhan bayar pajak dalam jangka menengah panjang.
"Dampak dalam jangka menengah dan panjang, kepatuhan pembayaran pajak akan menurun," ucapnya kepada Validnews, Jumat (22/11).
Menurut Nailul, pemerintah memang kelihatan sedang butuh uang alias BU. Utamanya, untuk menambal defisit anggaran yang melebar.
Ekonom Celios menilai, hal yang paling mudah dilakukan oleh pemerintah untuk meraup penerimaan negara yakni dengan memberikan pengampunan pajak. Sebab, uang tebusannya nanti langsung masuk kas negara.
Untuk diketahui, pengampunan pajak atau tax amnesty ini dilakukan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan ke negara. Gantinya, wajib pajak mendapatkan penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana bidang perpajakan.
"Pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan memberikan pengampunan dengan uang tebusan," tutup Nailul.