02 Oktober 2024
11:26 WIB
Ekonom: Gejala Deindustrialisasi Dini Makin Kental 10 Tahun Terakhir
Meski begitu, kondisi ini tidak menyimpulkan bahwa proses deindustrialisasi sepenuhnya akibat pemerintahan Jokowi. Hanya saja, kondisi bonus demografi gagal dioptimalkan.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Pekerja melakukan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (2/4/2024). Antara Foto/Yusuf Nugroho
JAKARTA - Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai, pemerintahan Jokowi gagal membangun sektor industri dalam satu dekade terakhir. Hasil studi Bright Institute terbaru mengungkap fenomena deindustrialisasi dini sebagai faktor penurunan kelas menengah di Indonesia.
“(Sejumlah) indikator menunjukkan kegagalan pemerintahan dua periode terakhir (Presiden Joko Widodo) dalam membangun sektor industri nasional,” katanya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (1/10).
Pertama, Indonesia alami penurunan porsi industri manufaktur terhadap PDB. Pihaknya menyorot, porsi manufaktur dalam pertumbuhan ekonomi RI dari berkisar 21% pada 2013 menjadi tersisa 19% pada 2023.
Capaian ini cenderung lebih rendah ketimbang negara berpendapatan menengah yang stabil di 21% dan negara berpendapatan menengah atas yang berada di 22% dalam periode sama.
Bahkan, kontribusi porsi manufaktur dalam PDB negara berpendapatan menengah atas lain, sempat naik ke kisaran 23-24% pada 2020-2022. Hal ini berkebalikan dengan Indonesia yang cenderung menurun dari 20% menjadi 18% kurun 2020-2022.
Kedua, pertumbuhan sektor industri RI relatif rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata. Datanya menunjukkan, manufaktur RI tumbuh tipis-stagnan dari 4,64% di 2014 menjadi 4,65% pada 2023, dengan kecenderungan menurun dari 4,33% menjadi 3,8% selama 2015-2019, dan anjlok parah mencapai -2,93 sampai 3,31% ketika pandemi covid-19 di 2020-2021.
“Sektor manufaktur tidak berhasil tumbuh untuk memajukan struktur ekonomi yang lebih berpenghasilan tinggi, dan justru menunjukkan gejala deindustrialisasi dini padahal masih jauh dari kematangan,” urainya.
Ketiga, Andri melanjutkan, manufaktur Indonesia juga cenderung rendah menyerap tenaga kerja. Selama 2012-2022, tenaga kerja industri di Indonesia hanya berkisar 21-22%, terhitung jauh lebih rendah ketimbang tenaga kerja sektor jasa yang terus dalam tren naik dari 43% menjadi 49%.
Lebih dalam, komposisi tenaga kerja manufaktur Indonesia di atas juga lebih rendah ketimbang komposisi pekerja manufaktur di negara berpendapatan menengah yang berkisar 24-26% dan negara berpendapatan menengah-atas lain di kisaran 27-28% dalam kurun waktu 2012-2022.
Baca Juga: LPEM: Deindustrialisasi Hantui Kelanjutan Pertumbuhan Ekonomi RI
ICOR Tinggi
Keempat, pihaknya juga menekankan, manufaktur Indonesia punya nilai ICOR yang tinggi. Artinya, tanah air kurang efisien dalam memanfaatkan investasi yang didapat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Andri menunjukkan, ICOR manufaktur Indonesia cenderung naik dari 3,65 poin di 2010-2014 menjadi 4,7 poin di 2015-2018. Nilai ICOR manufaktur yang bertambah tinggi dibandingkan sektor lain dan terutama dibandingkan negara tetangga, membuat biaya modal pada industri manufaktur Indonesia tidak kompetitif.
“Akibatnya, investor lebih tertarik untuk mengalirkan modal pada manufaktur di negara lain, ataupun sektor lain di Indonesia yang memiliki ICOR lebih rendah seperti pertambangan dan ketenagalistrikan,” ungkapnya.
Di sisi lain, tingginya ICOR pada jasa bernilai tambah tinggi juga ikut memperparah kondisi deindustrialisasi dini Indonesia. ICOR jasa bernilai tambah tinggi naik dari 5,03 poin di 2010-2014 menjadi 5,72 poin di 2015-2018.
Sementara itu, ICOR jasa bernilai tambah rendah bobotnya masih lebih rendah dibanding jasa bernilai tambah tinggi, kendati masih terhitung naik dari 2,55 poin di 2010-2014 menjadi 3,95 poin di 2015-2018.
“(Adapun) sektor tersier yang tersisa untuk tenaga kerja berkutat pada jasa bernilai tambah rendah,” urainya.
Andri juga menyampaikan, perkembangan PMI Manufaktur Indonesia juga kerap melemah. Dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia menuju negara maju, kematangan sektor industri manufaktur bersifat krusial karena menjadi fondasi lahirnya kelas menengah dan mengembangkan sektor turunannya.
Dia menggarisbawahi, apabila sektor industri terlanjur redup sebelum tingkat pendapatan masyarakat tinggi, maka tenaga kerja akan berkerumun ke sektor jasa bernilai rendah (low value-adding services) sebagaimana sekarang terjadi.
Baca Juga: Menperin Agus Gumiwang Bantah Indonesia Alami Deindustrialisasi
Bonus Demografi
Meski begitu, sambungnya, evaluasi laporan ini tidak menyimpulkan bahwa proses deindustrialisasi sepenuhnya diakibatkan oleh pemerintahan Jokowi. Hanya saja, dia menyayangkan kondisi bonus demografi yang dialami dari awal hingga akhir selama masa periode Jokowi gagal dioptimalkan.
Seharusnya, peluang yang ada bisa menjadi fondasi struktur ketenagakerjaan di dalam negeri dan melahirkan kelas menengah yang memiliki produktivitas tinggi. Terutama dari perkembangan sektor manufaktur, sehingga dapat menopang struktur demografi selanjutnya.
“Sayangnya, perencanaan dan implementasi kebijakan pemerintah gagal memprioritaskan aspek ini. Akibatnya, generasi mendatang jauh lebih sulit lagi untuk mencapai status kelas menengah,” ucapnya
Andri menjabarkan, kegagalan ini berakar dari paradigma hilirisasi yang terlalu bertumpu pada kepentingan tingkat retur modal, terutama modal asing yang secara parsial pada subsektor tertentu yang tidak padat karya untuk kepentingan ekspor. Akibatnya, tidak tercipta penyerapan tenaga kerja yang mampu melahirkan banyak kelas menengah.
“Padahal, selama 10 tahun terakhir, subsektor manufaktur yang kontribusinya terhadap PDB meningkat paling besar adalah industri pengolahan yang melayani pasar domestik sendiri, bukan ekspor,” tambahnya.
Penelitiannya juga menekankan, tingkat ICOR sektor manufaktur bertambah tinggi melebihi sektor lain, kecuali sektor jasa bernilai tinggi. Kondisi ini menyebabkan sedikitnya modal yang bergerak ke jenis industri pengolahan yang tidak disuntik oleh modal asing, terutama pada manufaktur yang memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi.
“(Belum lagi) manufaktur yang sangat dipengaruhi oleh eksposur produk impor, manufaktur produk konsumsi yang sangat dipengaruhi daya beli, serta manufaktur yang bertentangan dengan kepentingan industri bermodal lebih besar," papar Andri.
Sementara itu, ekonom senior Bright Institute Awalil Rizky mengungkapkan, pemerintah Indonesia perlu melaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap strategi industrialisasi nasional.
Langkah ini untuk mencegah dampak lebih lanjut dari deindustrialisasi dini terhadap struktur ekonomi dan sosial Indonesia.
"Fenomena ini menunjukkan pentingnya reorientasi kebijakan industri yang lebih inklusif dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja berkualitas, untuk memperkuat kelas menengah Indonesia,” tegas Awalil.