c

Selamat

Rabu, 8 Mei 2024

EKONOMI

05 Januari 2023

12:47 WIB

DPR: Kebijakan Pajak Belum Memihak Masyarakat Ekonomi Menengah-Bawah

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyebut PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh) belum memihak masyarakat menengah-bawah.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Rheza Alfian

DPR: Kebijakan Pajak Belum Memihak Masyarakat Ekonomi Menengah-Bawah
DPR: Kebijakan Pajak Belum Memihak Masyarakat Ekonomi Menengah-Bawah
Ilustrasi kelas menengah-bawah. Sejumlah penumpang kereta listrik (KRL) Commuterline berjalan menuju pintu keluar Stasiun Tangerang, Banten, Kamis (29/12/2022). Antara Foto/Fauzan

JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Menurutnya, pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan tidak signifikan dalam melindungi masyarakat berpenghasilan menengah bawah. 

Justru sebaliknya, pada PP di atas masyarakat yang berpenghasilan dalam range di atas Rp5 juta hingga Rp20 juta per bulan dikenakan pajak sebesar 15%, menjadi kurang adil. 

“Masih banyak kalangan pekerja dan milenial yang fresh graduate yang berpenghasilan sedikit di atas Rp5 juta, (namun) dikenakan tarif pajak cukup besar 15%,” katanya dalam keterangan pers, Jakarta, Rabu (4/1).

Politisi F-PKS ini juga berpendapat, bahwa kebijakan perpajakan ini kurang tepat diberlakukan sekarang, karena daya beli masyarakat masih rendah dan belum pulih. Sementara itu, tingkat inflasi meningkat tajam, harga kebutuhan pokok terus naik dan tidak stabil. 

Menurutnya, saat ini uang gaji sebagian pekerja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lantas, Anis menyinggung usulan PKS pada 2019 terkait batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp8 juta/bulan atau kumulatif Rp96 juta/tahun. 

Artinya, karyawan yang menerima penghasilan atau gaji sebesar Rp8 juta ke bawah terbebas dari PPh. Menurutnya, usulan ini dapat memberikan ruang perlindungan yang luas kepada masyarakat berpenghasilan menengah-bawah yang masih berada pada kondisi pemulihan ekonomi pasca covid-19.

Lebih lanjut, seharusnya pemerintah menggunakan instrumen fiskal secara selektif di antaranya pemotongan pajak, untuk golongan pekerja berpendapatan tertentu. Agar dapat merangsang perekonomian ke arah yang lebih baik.

“Bukan malah sebaliknya, dengan menerapkan pajak yang tinggi bagi golongan menengah-bawah,” ujar Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI ini.

Ada beberapa catatan terkait kebijakan penyesuaian pajak penghasilan tersebut. Antara lain, perekonomian Indonesia yang stagnan dalam kurun lima tahun terakhir, Indonesia pernah memasuki fase resesi ekonomi selama empat kuartal atau satu tahun.

Saat ini, perekonomian nasional masih menghadapi tekanan dari kondisi ekonomi global, terlihat dari banyaknya PHK dan penutupan usaha.

“Juga imbas kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2022, masih sangat mempengaruhi tingginya harga berbagai kebutuhan pokok yang kian memberatkan masyarakat " katanya.

Selanjutnya, Legislator Dapil DKI Jakarta I ini mengatakan, kenaikan PTKP belum cukup kuat mendongkrak daya beli masyarakat. 

Pada 2015 dan 2016, pemerintah merespons perlambatan ekonomi saat itu dengan menaikkan PTKP masing-masing 48% dan 50%. 

Namun, menurutnya efektivitasnya dalam mendorong perekonomian melalui konsumsi rumah tangga belum signifikan. Tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stagnan hanya di kisaran 5%. 

Belum juga, Anis menyebut masalah kepatuhan pajak, sehingga rasio pajak Indonesia masih rendah hanya 9,11% terhadap PDB. 

Dia menjelaskan, berdasarkan data para karyawan ini yang kepatuhan pajaknya tinggi sebesar 98,73%, sementara kepatuhan korporasi hanya 61%, demikian juga wajib pajak (WP) kaya hanya 45,53%. 

"Pemerintah seharusnya bisa fokus dengan PPN ketimbang meningkatkan tarif PPh. Ruang peningkatan PPN masih terbuka lebar, selain tentunya penegakan hukum bagi para pengemplang pajak yang tidak patuh," tutup Anis.

Sebelumnya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menginformasikan, sementara ini rasio pajak 2022 telah mencapai 10,4% dari PDB. Kemenkeu menilai, rasio pajak ini telah meningkat cukup signifikan dan sudah melampaui rasio perpajakan sebelum pandemi.

Asal tahu, rasio pajak terhadap PDB di 2019 berada di level 9,77%, kemudian merosot jauh ke 8,33% pada 2020, dan naik ke level 9,11% pada 2021 lalu. 

Secara lebih luas, penerimaan pajak sepanjang 2022 mencapai Rp1.716,8 triliun atau tumbuh 34,3% dibandingkan capaian 2021 yang sebesar Rp1.278,6 triliun.

Adapun, pemasukan negara via PPh 21 yang berasal dari potongan atas penghasilan dari orang pribadi berkontribusi sebesar 10,2%. Capaian ini berhasil tumbuh 16,34% secara kumulatif 2022, lebih besar dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 6,26%.

Kementerian Keuangan menerangkan, capaian pajak dari PPh 21 meningkat sejalan dengan perbaikan utilisasi dan upah tenaga kerja.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar