14 Juni 2021
15:05 WIB
JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan, tidak semua bahan pokok alias sembako akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), seperti wacana yang beredar di masyarakat saat ini. Hanya bahan pokok premium yang akan dikenakan PPN.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor menegaskan, bahan pokok yang berada di pasar tradisional tidak akan dikenakan PPN.
“Karena kami lihat ada pembedaan sembako tadi. Misalnya, barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional tidak kena PPN. Akan berbeda ketika sembako sifatnya premium,” katanya dalam Media Briefing, Jakarta, Senin (14/6).
Ia mencontohkan, nantinya daging yang berada di pasar tradisional juga tidak akan dikenakan PPN. Namun, daging premium seperti daging wagyu (daging sapi Jepang) akan dikenakan PPN. Begitupun juga bahan pokok lainnya seperti beras. Nantinya, beras dengan kualitas premium akan dikenakan PPN.

Neilmaldrin menjelaskan, pengenaan PPN untuk bahan pokok terjadi karena pengecualian. Menurutnya, fasilitas PPN yang diberikan saat ini tidak mempertimbangkan jenis barang atau jasa, harga, dan juga kelompok yang mengonsumsinya.
Jadi, menurutnya, keadaan tersebut secara ekonomi menciptakan distorsi di masyarakat. Untuk itu, ia mengatakan perluasan objek PPN pada dasarnya mempertimbangkan prinsip kemampuan untuk membayar atau ability to pay masyarakat.
“Jadi kalau masyarakat menengah ke bawah mungkin dia akan menikmati subsidi, dia juga akan mendapatkan bantuan ataupun konsumsi yang dilakukan baik itu barang atau jasa akan dikenakan tarif yang jauh lebih rendah lagi,” terangnya.
Meski begitu, Neilmaldrin belum bisa menjelaskan berapa besaran tarif pajak yang akan ditetapkan untuk bahan pokok premium. Ia bilang, saat ini pihaknya masih membahas lebih lanjut terkait hal ini.
“Karena sangat tidak elok kalau saya kemudian menyampaikan sesuai yang belum pasti. Oleh karena itu, agar kita tidak menambah polemik ini saya bisa sampaikan bahwa barang kebutuhan pokok yang dikenakan tentunya adalah kebutuhan pokok yang premium,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengungkapkan, rencana pemerintah untuk mengenakan PPN bagi bahan pokok telah menyebabkan kepanikan di tingkat pedagang dan mengganggu psikologis pasar.
Bahkan, kegaduhan tersebut telah memicu kenaikan harga sejumlah bahan pokok seperti daging sapi, daging ayam, telur, dan minyak goreng. Harga daging sapi per hari ini, lanjutnya, mencapai Rp135 ribu per kilogram.
Padahal, sebelumnya, harga tertinggi untuk daging sapi berkisar antara Rp114 hingga Rp125 ribu. Begitupun dengan harga telur ayam yang melonjak dari Rp22 ribu ke Rp25 ribu per kilogram.
"Karena banyak draft itu beredar termasuk pasal soal itu. Itu mengganggu psikologis pedagang dan pasar. Kita harus beri ketenangan dan keteduhan seolah-olah perekonomian baik-baik saja, meskipun kita tidak tahu ya," tutur Abdullah dalam sebuah diskusi.
Harga Barang
Neilmaldrin sendiri menuturkan, perubahan ketentuan PPN diharapkan berdampak pada ekonomi dalam negeri. Misalnya saja, perubahan diharapkan membawa satu mekanisme pemungutan pajak yang lebih efisien.
Fasilitas PPN tidak dipungut berakibat pada pajak masukan atas penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) strategis dapat dikreditkan sehingga harga lebih murah, dan untuk eksportir tidak perlu melakukan restitusi.
Ia menambahkan, tidak serta merta barang atau jasa yang dikecualikan dari pengenaan pajak, kemudian menjadi kena pajak dapat meningkatkan harga. Menurutnya, hal tersebut harus diuji kembali.
“Karena secara teoritis masih ada kemungkinan bahwa dengan dikenakannya pajak keluaran, maka pajak masukan pada saat pembentukan dari barang kena pajak tersebut ini dapat dipulihkan. Sehingga masuk ke dalam harga pokok atau harga jual kepada konsumen pada akhirnya,” ujarnya.
Dampak yang diharapkan selanjutnya ialah masyarakat dapat menjangkau layanan pemerintah lebih baik dengan harga terjangkau. Seperti layanan kesehatan, pendidikan, dna angkutan umum.
Kemudian, pemerintah juga diharap mampu memberikan kompensasi kepada masyarakat golongan menengah ke bawah berupa subsidi. Misalnya subsidi tabung gas 4 kilogram, dan listrik.
Dari sisi penerimaan negara, Neilmaldrin juga mengharapkan perubahan dari ketentuan ataupun mekanisme pemungutan pajak secara umum dan PPN secara khusus, dapat meningkatkan penerimaan pajak Indonesia.
“Sehingga tax expenditure ataupun hal-hal yang selama ini menjadi biaya ini berkurang,” katanya.

Pedagang menunggu pembeli di Pasar Sentral Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/ 6/2021). Pemerintah memastikan sembako yang dijual di pasar tradisional tidak akan dikenakan PPN. Antara Foto/Abriawan Abhe
Sementara, Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia memandang, reformasi perpajakan tidak harus diterapkan dengan memasukkan bahan kebutuhan pokok menjadi barang kena pajak.
"Saya sepakat bahwa pemerintah perlu melakukan reformasi perpajakan lanjutan untuk menambah penerimaan negara. Namun, saya tidak sepakat jika kemudian reformasi pajak, memasukkan barang sembako menjadi barang kena pajak," kata Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Validnews di Jakarta, Sabtu (12/6).
Ia menjelaskan, pertama, bahan kebutuhan pokok bersifat kebutuhan dasar. Seharusnya pemerintah bisa membantu masyarakat untuk memastikan penyediaan barang tersebut, apapun golongannya.
Kedua, masih ada alternatif sumber penerimaan pajak yang masih bisa digali untuk meningkatkan rasio pajak seperti misalnya pajak penghasilan (PPh) non-karyawan.
"Tidak hanya itu, masih ada juga pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang tambang ataupun jasa lain di luar pendidikan," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya, menegaskan pemerintah saat ini masih tetap fokus memulihkan ekonomi. Dirinya pun sangat menyayangkan adanya kegaduhan di masyarakat terkait isu sembako dikenakan PPN.
"Pemerintah benar-benar menggunakan instrumen APBN karena memang tujuan kita adalah pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Kamis (10/6).
Menurutnya, draf RUU KUP baru dikirimkan kepada DPR namun belum dibahas. Karena itu, ia menyesalkan munculnya kegaduhan mengenai isu pengenaan PPN untuk sembako. Apalagi, draf RUU KUP yang tersebar di publik tidak utuh dan menyebabkan banyak persepsi.