19 Februari 2025
09:26 WIB
Dirjen EBTKE Sebut Animo Transisi Energi Di Eropa Masih Tinggi
Mundurnya AS dari Paris Agreement membuat Indonesia harus menyusun peta jalan transisi energinya sendiri.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Ilustrasi transisi energi. Petugas mengisi gas ke tangki kendaraan bermotor berbahan bakar gas di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Kaligawe di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021). Sumber: ANTARAFOTO
JAKARTA - Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan proses transisi energi bakal tetap berjalan tanpa adanya komitmen dari Amerika Serikat.
Sekalipun Negeri Paman Sam menyatakan untuk mundur dari Perjanjian Paris, Eniya mengatakan animo transisi energi di wilayah lain, sepert Eropa masih tinggi. Artinya, mundurnya AS dari Paris Agreement tak menjadi alasan untuk menghentikan proses transisi energi.
"Sekarang animo dari Eropa makin besar juga, mereka sudah berbicara," ucapnya singkat saat ditemui awak media di Gedung DPR-MPR, Selasa (18/2).
Bukan berarti tak berdampak, mundurnya AS dari Paris Agreement membuat Indonesia harus menyusun sendiri peta jalan transisi energi, tanpa harus mengacu pada pedoman internasional.
"Arahan Pak Menteri adalah menari di gendang sendiri, jangan menari di gendang orang lain," imbuh Eniya.
Baca Juga: Ekonom: Danantara Bisa Percepat Pembiayaan Transisi Energi
Secara tersirat, pesan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait 'Jangan menari di gendang orang' disebut Eniya sebagai arahan supaya Indonesia membuat jalan sendiri untuk beralih ke energi yang lebih bersih.
Pesan itu disampaikan Menteri Bahlil mengingat Indonesia belum punya cukup uang untuk menjalankan transisi energi secara jor-joran. Sehingga, pemerintah lebih memilih transisi energi perlahan, dengan tetap menggunakan energi fosil yang dilengkapi teknologi penangkapan karbon.
"Nanti kita sesuaikan, pokoknya kita melaju, sesuaikan saja lah, itu target kita," tambah Eniya.
Sementara soal pendanaan transisi energi, Eniya sebelumnya menjelaskan pembiayaan tak hanya datang dari Amerika Serikat. Selain Uni Eropa, masih ada Jepang yang berminat untuk menyalurkan pendanaan transisi energi.
Pendanaan dari JETP, sambungnya, seperti untuk proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebagian besar berasal dari Jepang, bukan dari Amerika Serikat.
"Jadi, pendanaan yang agresif malah dari wilayah Asia, bukan AS," tutur Eniya ketika dijumpai setelah menghadiri acara bertajuk, 'Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru', di Jakarta, Kamis (30/1).
Dilema
Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement digadang-gadang membuat Indonesia dilema dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan.
Bahlil menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru terbarukan apabila dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.
Dengan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Paris Agreement dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Baca Juga: RI Dapat 14,7 Juta Euro Dari UE Dan Prancis Untuk Transisi Energi
Meskipun demikian, untuk saat ini, Bahlil menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas udara.
"Ini saya juga bingung, Presiden Amerika Serikat baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement. Padahal, (AS) salah satu yang mempelopori. Dia yang mulai, tapi engkau juga yang mengakhiri," tandas Menteri Bahlil.
Sebagaimana diketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1) memastikan Amerika Serikat telah secara resmi memberi tahu mengenai pengunduran dirinya dari Perjanjian Paris. Perjanjian Paris tentang perubahan iklim sendiri diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah dua derajat Celsius di atas tingkat praindustri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.