29 Mei 2024
16:45 WIB
Diragukan, Iuran Tapera Atasi Backlog Perumahan
Secara aturan, kewajiban ini sudah berjalan dari 2018 atau 2 tahun setelah UU Tapera terbit. Namun belum juga menyelesaikan backlog perumahan yang pada tahun 2023 mencapai 9.95 juta unit
Pekerja menyelesaikan pembangunan jalan menuju perumahan di salah satu perumahan subsidi di Warunggu nung, Lebak, Banten, Jumat (26/1/2024). Antara Foto/Muhammad Bagus Khoirunas
JAKARTA - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, iuran Tapera belum tentu efektif mengatasi permasalahan kebutuhan rumah bagi masyarakat atau backlog perumahan di Indonesia.
Dia mengingatkan, secara aturan, kewajiban iuran Tapera sudah berjalan dari tahun 2018, namun sejak implementasinya, belum terbukti menyelesaikan masalah backlog tersebut.
"Secara aturan, kewajiban ini sudah berjalan dari tahun 2018 atau dua tahun setelah UU Tapera terbit. Namun apakah sudah menyelesaikan masalah backlog perumahan? Nyatanya backlog perumahan masih terlampau tinggi. Bank Tabungan Negara (BTN) juga sudah disuntik PMN (Penyertaan Modal Negara) jumbo pada tahun 2023 untuk membantu kepemilikan rumah,” kata Huda seperti dilansir Antara di Jakarta, Rabu (29/5).
Huda menjelaskan, sebenarnya tujuan awal dari kewajiban iuran Tapera menjadi salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
Kendati pun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), tujuan aturan itu, masih belum jelas antara investasi atau arisan kepemilikan rumah.
Sebagai informasi, dalam Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Tahun 2023 memang kesenjangan angka kebutuhan rumah (backlog) kepemilikan rumah terus turun. Dari 12,75 juta unit pada tahun 2020 menjadi 12,72 unit di 2021. Angkanya berkurang lagi menjadi 10,51 juta unit pada tahun 2022 dan menjadi 9,95 juta unit di tahun 2023.
Berdasarkan Susenas Maret 2023 juga diketahui, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri pada 2023 sebesar 84,79%. Sedangkan, rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri, namun memiliki rumah di tempat lain sebesar 1,65%.
Adapun persentase rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri dan tidak memiliki rumah di tempat lain sebanyak 13,56%. Angka ini yang merupakan data backlog sebesar 9,95 juta unit pada tahun 2023.
Namun, penurunan angka-angka ini dinilai lamban, tak mampu mengejar pertumbuhan jumlah penduduk yang makin tinggi saban tahunnya. Tak heran, persentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian yang layak juga masih tinggi. Sekalipun mengalami penurunan dari tahun 2020 dari sebesar 29,4 juta jadi 26,9 juta.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna sebelumnya mengakui, pihaknya mendapatkan alokasi sebesar Rp13,72 triliun untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada 2024. Anggaran tersebut untuk pembiayaan perumahan sebanyak 166.000 unit yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Warga berjalan di kawasan perumahan subsidi Rangkasbitung, Lebak, Banten, Senin (12/6/2023). Antara Foto/Muhammad Bagus Khoirunas
Pengelolaan Dana
Dalam beleid Tapera, dana yang dikumpulkan dari peserta dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi (47%), SBN (45%) dan sisanya deposito.
"Dalam beleid tersebut juga disebutkan, peserta berhak menerima informasi dari manajer investasi tentang dana dan hasil dari dana kita. Apakah kita diberitahukan setiap bulan dimana posisi kekayaan kita?," jelasnya.
Lebih lanjut, Huda menyampaikan, dengan posisi SBN sebesar 45% dari total dana yang dikelola BP Tapera, mudah bagi pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah termasuk BP Tapera memakai uang masyarakat.
"Ingat, BI rate sudah naik yang artinya deposito sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan SBN. Pemerintah ingin menaikkan bunga SBN yang jadi beban utang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya," jelasnya.
Dia menyampaikan, manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera akan sangat minim. Peserta yang tidak ambil rumah pertama, karena preferensi atau sudah punya rumah, bahkan dirugikan apabila tingkat pengembalian tidak optimal.
Menurut dia, seharusnya, uang yang diambil untuk iuran Tapera bisa digunakan untuk investasi sendiri alih-alih untuk iuran Tapera. "Jadi ada opportunity cost yang hilang," tutur Huda.

| Foto udara perumahan bersubsidi di Jalan Kecipir, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (3/8/2022). Kementerian PUPR berencana akan menyalurkan bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) rumah subsidi sebanyak 20.500 unit yang akan didistribusikan di 33 provinsi pada tahun 2022, untuk mendorong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapatkan hunian yang layak. ANTARA FOTO/Makna Zaezar |
Besaran Iuran
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Senin (20/5/2024). Dalam Pasal 15 ayat 1 PP 21/2024 diatur Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3% dari Gaji atau Upah untuk Peserta Pekerja dan Penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri.
Sementara itu, pada ayat 2 yakni Besaran Simpanan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama oleh Pemberi Kerja sebesar 0,5% dan Pekerja sebesar 2,5%. Aturan ini secara umum tidak hanya berlaku bagi pekerja swasta tetapi juga mengatur untuk ASN, TNI dan Polri yang digaji langsung oleh negara.
Iuran Tapera bagi pekerja yang menerima gaji atau upah yang bersumber dari kas negara ini akan diatur langsung oleh Kementerian Keuangan, melalui koordinasi bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sementara, iuran Tapera dari pegawai BUMN, BUMD, BUMDes dan karyawan swasta akan diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Kemudian, untuk pekerja mandiri akan diatur langsung oleh BP Tapera.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan aturan yang mewajibkan potongan gaji pekerja untuk iuran Tapera, memerlukan kejelasan terkait pelaksanaannya sebelum terimplementasi.
"Menurut hemat saya Tapera ini masih abu-abu. Alangkah baiknya diselesaikan dulu dengan baik baru ditarik iuran wajibnya," ujar Tadjuddin, Selasa.
Beberapa kejelasan yang menurutnya, perlu dilakukan termasuk mengenai pemanfaatan dana yang ditarik, pertimbangan inflasi dan pemberlakuan aturan kepada yang sudah memiliki rumah. Menurutnya, kejelasan diperlukan akan aturan tersebut untuk mencegah kebingungan di kemudian hari, terutama oleh pekerja yang akan merasakan dampaknya dengan adanya iuran wajib.
"Lebih bagus kalau menurut hemat saya sebelum terimplementasi ada dialog dengan DPR, dialog dengan pekerja," ujarnya.
Dialog itu diperlukan, untuk memastikan, agar para pekerja yang akan terdampak mengetahui dengan pasti manfaat yang akan mereka terima dengan menjadi anggota Tapera yang bertujuan untuk menghimpun dana untuk pembiayaan rumah bagi para pesertanya.