18 November 2025
20:57 WIB
Dianggap Lebih Ekonomis, Kian Banyak Selis Dan Molis Mengaspal
Meski mendorong adopsi sepeda listrik (selis) dan motor listik (molis), pemerintah diminta tak melupakan pembangunan transportasi umum.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Ahmad Farhan Faris
Editor: Rikando Somba
Pengunjung menaiki sepeda listrik yang dijual pada event Pekan Raya Jakarta (PRJ) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (10/7/2023). Validnews/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Sepeda listrik (selis) dan motor listrik (molis) bukan lagi barang yang sulit ditemui di negeri ini. Entah papasan di jalan, atau bahkan ada di garasi di rumah kita, keduanya sudah semakin akrab di kehidupan sehari-hari.
Ketua Umum Asosiasi Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli), Budi Setiyadi mengatakan penjualan sepeda listrik cukup pesat, meski ia tak mengantongi angka pastinya.
“Menurut saya, penjualan sepeda listrik itu dari tahun ke tahun meningkat terus. Secara kuantitas, saya tidak bisa menyampaikan berapa jumlah penjualan,” kata Budi kepada Validnews di Jakarta, Senin (17/11).
Ketiadaan data penjualan lantaran tidak semua pabrik atau agen pemegang merek (APM) sepeda listrik menjadi anggota Aismoli. Anggota Aismoli, yang hingga kini berjumlah 13 APM, juga tak menyetorkan data penjualan sepeda listriknya.
Pada tahun 2024, ia pernah mendapatkan data dari satu pabrik atau perusahaan saja, dengan angka penjualan sepeda listrik sampai sekitar 700 ribu unit.
“Jadi saya tidak bisa mengatakan berapa banyak ya. Sampai sekarang sepeda listrik itu banyak yang tidak mau melaporkan penjualannya, saya tidak punya data sama sekali. Barangkali mereka enggak mau dicampuri urusan dalamnya,” ujarnya.
Budi menjelaskan indikator penjualan sepeda listrik bertumbuh berdasar pengamatan maraknya dealer sepeda listrik di daerah. Misalnya, ketika ke Palembang, Sumatra Selatan, ia melihat beragam dealer, dan banyaknya masyarakat menggunakan sepeda listrik di kampung-kampung atau desa.
Selain itu, masih dari pengamatannya, penjualan sepeda listrik juga marak di kawasan sub urban. “Jakarta banyak, tapi tidak di kota-kota, hanya di pinggir-pinggirnya gitu. Mungkin sekitar Depok dan Bekasi itu banyak penjualnya,” kata Budi.
Direktur Jenderal Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian (IMATAP Kemenperin), Mahardi Tunggul Wicaksono mengamini, populasi motor listrik di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Per Oktober 2025, populasi motor listrik di Indonesia mencapai 213.337 unit dan angka ini meningkat sebanyak 42.749 unit selama tahun 2025.
Senada, sepeda listrik (e-bike) juga terus menunjukkan peningkatan populasi. Tahun ini, produksi sepeda listrik mencapai lebih dari 15 ribu unit, dan lebih dari 80% merupakan produk untuk kebutuhan ekspor.
Meskipun ruang gerak operasionalnya dibatasi regulasi, penjualan tetap bertumbuh. Pasalnya, sepeda tanpa gowes ini telah memiliki pasar sendiri, salah satunya di kawasan wisata.
"Sebagai informasi, meskipun terdapat ketentuan terkait ruang operasinya, sepeda listrik masih memiliki potensi pasar di lingkungan tertutup dan kawasan wisata,” kata Mahardi kepada Validnews di Jakarta, Senin (17/11).
Sejumlah warga menggunakan sepeda listrik di Plaza Balaikota Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/9/2022). Antara Foto/Arif Firmansyah
Selis Dan Molis Lebih Praktis
Budi menilai alasan kepraktisan dan fleksibilitas menjadi pendorong minat penjualan selis. Menurut dia, banyak masyarakat di perkotaan maupun desa dengan perjalanan berjadak cukup pendek lebih senang memilih menggunakan sepeda listrik daripada sepeda motor biasa.
“Di beberapa daerah juga mungkin menyangkut masalah efisiensi menjadi pertimbangan menggunakan sepeda listrik. Sepeda listrik itu lebih fleksibel daripada mungkin pakai sepeda motor biasa. Terutama di daerah-daerah yang mungkin mencari BBM susah atau langka, mahal dan sebagainya,” ungkapnya.
Alasan lain masyarakat menggunakan sepeda listrik adalah soal kemudahan maintenance. Harga sepeda listrik juga lebih terjangkau, dilihat dari spek dan kecepatannya. Misal, dimensi kecil berkisar Rp2,5 juta sampai Rp3 juta. Lalu, ada dimensi besar dengan harga di atasnya, meski belum semahal motor listrik.
Khusus untuk dimensi besar ini, Budi menyampaikan 13 member APM di Aismoli banyak yang melayangkan keluhan. Pasalnya, banyak pabrikan non member yang memproduksi sepeda listrik dengan dimensinya cukup besar.
“Tapi tidak masuk dalam sepeda motor, jadi enggak diuji. Nah, itu cukup besar harganya antara Rp7 juta sampai Rp8 jutaan,” kata Budi.
Kepraktisan memang menjadi alasan konsumen membeli. Monique Handa Shafira (25), warga Kota Tangerang, Banten, adalah salah satunya. Monique menjadi pengguna sepeda listrik sejak 2022 lalu. Menurut dia, sepeda listrik memberikan banyak manfaat, namun harganya lebih murah jika dibandingkan dengan motor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
“Saya tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan biaya untuk membeli bensin, karena saya bisa mengecasnya di rumah dan tidak butuh waktu lama untuk mengecasnya. Biaya operasional dan perawatannya lebih mudah, perbandingannya bisa 1:10 karena jadi lebih hemat biaya, tidak perlu mengganti oli atau busi, tidak dikenakan pajak, ramah lingkungan, praktis untuk jarak pendek,” kata Monique bercerita kepadaValidnews pada Senin (17/11).
Sepeda listrik yang dibeli Monique adalah merek United Bike jenis Dresden V2 dengan harga beli Rp5.590.000. Biasanya, Monique menggunakan sepeda listrik untuk antar-jemput adiknya di stasiun, antar sekolah keponakan, membeli keperluan ke pasar hingga bersantai ke luar.
“Menurut saya harganya sangat sepadan dengan kualitas dan spesifikasi yang ditawarkan. Saya tertarik untuk menggunakan gaya sepeda listriknya yang modis, mudah digunakan, dan cocok untuk mobilitas saya hanya untuk jarak pendek seperti sekitar perumahan, pergi ke pasar, atau antar jemput dekat rumah,” ujarnya.
Biaya yang lebih irit rupanya juga menjadi pertimbangan saat membeli molis. Fandi (29), mengungkapkan alasan membeli motor listrik merek Smooth Zuzu (ver 60 km) dengan spek 1.500 Watt, speed maksimal 60 km/jam, jarak tempuh maksimal 60 km, baterai 64V22.5 Ah yang bisa ditukar (swappable).
Awalnya, Fandi ingin punya motor untuk mobilitas di rumah saja seperti beli makan, belanja dan lain sebagainya. Kebetulan, kata dia, pom bensin juga cukup jauh dari rumahnya. Sedangkan, motor listrik yang digunakannya sejak pertengahan tahun 2023 itu bisa di-charge di rumah.
“Tapi sesekali saya juga bawa motor listrik ke kantor, jaraknya sekitar 35 kilo dan itu aman saja. Paling kendalanya kita harus tahu titik penukaran baterai yang bisa dicari via aplikasi,” jelas dia.
Fandi membeli motor listrik OTR Bekasi dengan banderol Rp12.900.000 (harga subsidi). Harga tanpa subsidi kalau tidak salah sekitar sampai Rp21 juta. Ia juga membeli home charging seharga Rp1.500.000. Meski baterai smooth zuzu itu swappable, ia tetap ingin bisa men-charge di rumah karena tempat penukaran terlalu jauh.
“Dengan harga subsidi itu, saya pikir sangat sepadan. Yang paling kentara dan tidak perlu dikalkulasi secara mendalam yakni tidak ada biaya servis bulanan, jadi lebih hemat. Kebetulan Zuzu itu sistemnya sewa baterai, semacam top up saldo untuk bisa jalan. Saya biasa top up Rp70 ribu untuk jarak 400 km. Saya rasa itu jauh lebih murah dibanding bensin,” ungkapnya.
Seorang warga menggunakan sepeda listrik melintas di Pulau Kelapa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (13/2/2024). Antara Foto/Bayu Pratama S
Roadmap Kendaraan Listrik
Direktur Jenderal IMATAP Kementerian Perindustrian, Mahardi menegaskan pemerintah tengah menggencarkan penjualan selis dan molis yang lebih ramah lingkungan sebagai upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Ia menekankan target pemerintah Net Zero Emission tahun 2060 menjadi acuan utama kebijakan kendaraan ramah lingkungan, serta komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.
“Ke depannya, kami akan terus berupaya maksimal agar produksi dan penjualan kendaraan listrik, termasuk motor dan sepeda listrik, terus mengalami peningkatan,” jelas dia.
Pemerintah pun telah menyusun roadmap kendaraan listrik sebagai pemandu untuk mencapai target yang diharapkan. Peta jalan untuk kendaraan listrik, khususnya Kendaraan Bermotor Listrik Berbahan Baterai (KBLBB) roda 4 dan roda 2, ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2022 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, Dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle).
“Dokumen strategis ini menjabarkan target produksi kendaraan listrik di Indonesia serta ketentuan TKDN. Pada intinya, roadmap ini bertujuan untuk mensukseskan program pemerintah Net Zero Emission pada tahun 2060 sekaligus secara simultan memperkuat industri kendaraan listrik di Indonesia,” kata Mahardi.
Berdasarkan peta jalan ini, pemerintah mendorong mass adoption, beriringan dengan meningkatkan produksi dan penjualan melalui kebijakan insentif untuk mendongkrak minat masyarakat.
“Secara paralel, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat ekosistem dan komponen dengan mensyaratkan TKDN pada produk yang ingin mendapatkan insentif,” tegasnya.
Tak terlalu membedakan motor listrik dan sepeda listrik, ia memandang keduanya memiliki peran strategisnya masing-masing.
“Kami yakin motor listrik dan sepeda listrik dapat tumbuh secara beriringan, mengingat keduanya memiliki ceruk pasar yang berbeda dan sama-sama berkontribusi terhadap target NZE 2060,” imbuhnya.
Mahardi menyebut industri terkait terus mengalami pertumbuhan, terutama sejak pemerintah fokus pada pengembangan kendaraan ramah lingkungan. Pada tahun 2025 ini, total industri perakitan sepeda motor listrik di Indonesia mencapai 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 2,51 juta unit per tahun.
“Tidak hanya dari sisi kuantitas, secara pendalaman industri produk-produk yang dihasilkan juga sudah menunjukkan angka yang positif, di mana produk yang dihasilkan memiliki kandungan TKDN dengan rerata mencapai 51,64%,” ungkapnya.
Butuh Dukungan
Namun, untuk menggenjot penjualan, Ketua Umum Aismoli menilai perlu adanya insentif atau stimulus lagi untuk kendaraan listrik, seperti yang pernah dikucurkan pemerintah.
Pada 2023 dan 2024, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi senilai Rp7 juta tiap pembelian unit motor listrik yang terdaftar di Sistem Informasi Pemberian Bantuan Pembelian Kendaraan Listrik Roda Dua (SISAPIRa).
Selain insentif untuk pembelian baru, pemerintah juga memiliki program konversi motor listrik. Di tahun 2024, pemerintah memberikan bantuan untuk konversi sebanyak 1.111 unit. Capaian tersebut meningkat pesat dari realisasi 2023 yang hanya sebanyak 145 unit.
Budi menilai insentif itu akan menimbulkan efek berganda pada perekonomian. Berdasarkan catatannya, hingga kini sudah ada sekitar 35 pabrik atau brand sepeda motor. Perusahaan tersebut telah berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja.
“Itu menyerap telah kerja cukup banyak, belum lagi tenaga kerja untuk barang-barang part-nya. Jadi secara ekonomi dan SDM atau employee itu udah cukup banyak menyerap tenaga kerja. Dan berpengaruh kepada multiplier effect-nya ekonomi yang tumbuh begitu baik. Kita harapkan ada bantuan pemerintah,” imbuhnya.
Di sisi lain, apabila pemerintah tidak memberikan subsidi maka diharapkan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah bisa mendorong untuk mengintervensi supaya penetrasi ke marketnya cepat. Artinya, ia berharap ada insentif non-fiskal dari pemerintah, seperti dengan mengharuskan penggunaan selis atau molis di kawasan-kawasan pariwisata, seperti Taman Mini atau Ancol.
Selain itu, mengharuskan kantor-kantor pemerintah menggunakan kendaraan listrik, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan. Selain itu, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Sebagai Kendaraan Dinas Operasional Dan/Atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.
“Kalau bisa pemerintah pusat, provinsi maupun daerah sudah harus, itu regulasi kan namanya Inpres berarti aturan Presiden, kalau bisa mengikat. Jadi pemerintah untuk kepentingan kendaraan operasional, secara bertahap pemerintah daerah harus menggunakan motor listrik untuk operasional dan sebagainya. Kalau pemerintah daerah atau pemerintah pusat sudah menggunakan, pasti banyak masyarakat mencontoh,” harapnya.
Buat pelaku usaha, soal subsidi, masih dinilai belum cukup menjadi pencerah iklim industri. Ex General Manager Aftersales Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), Muhamad Abidin mengatakan subsidi saja tidak cukup untuk menumbuhkan minat menggunakan kendaraan listrik. Diperlukan dukungan pemerintah pada ekosistem kendaran listrik, misalnya adanya charging station yang dekat dengan pemukiman, atau standarisasi ukuran dan daya baterai berbagai merk motor yang kini masih beragam.
“Meski ada swap battery, belum mampu menciptakan ekosistem yang mendukung, sehingga menjadi penyebab belum naiknya minat masyarakat beralih secara masif ke EV,” jelas Abidin.
Tanpa adanya dukungan infrastruktur, minat masyakat untuk beralih dari sepeda motor berbahan bakar bensin (ICE) bakal sulit tumbuh. Pasalnya, masyarakat memerlukan transportasi yang harga, mudah, efektif dan efisien untuk menunjang mobilitas dan aktifitas mereka. Saat ini, pilihan utama masih sepeda motor ICE.
“Untuk kendaraan motor listrik, tentunya yang diinginkan masyarakat kemampuannya setara dengan sepeda motor ICE saat ini yaitu memiliki harga terjangkau, hemat energi, perawatannya mudah dan murah, dan memiliki jarak tempuh sesuai kebutuhan masyarakat untuk menunjang aktifitas rutin pulang pergi bekerja dan beraktifitas lainnya,” imbuh Abidin.
Sebaliknya, pemerintah tak mau terburu mengeluarkan kebijakan. Direktur Jenderal IMATAP Kementerian Perindustrian, Mahardi mengatakan pihaknya senantiasa melakukan evaluasi yang komprehensif. Kata dia, pemerintah terus memantau perkembangan industri untuk menentukan perlu/tidaknya pemberian insentif, baik dari segi produksi, penjualan, serta kesiapan industri dalam negeri.
“Sehubungan dengan itu, pemerintah saat ini masih membahas skema insentif yang tepat untuk sepeda motor listrik. Hal ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian agar insentif yang diberikan dapat memberikan dampak yang optimal baik dari sisi adopsi kendaraan listrik maupun pengembangan industri itu sendiri,” jelas dia.
Seorang Ibu mengantar anaknya berangkat sekolah dengan menggunakan sepeda motor listrik di jalan utama kawasan Tangerang (16/11/25). Validnews/Hasta Adhistra.
Pelik Masalah Selis
Pengamat Transportasi Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD), Ilham Malik mengatakan berdasarkan regulasi dan karakteristik mobilitas harian yang dominan di Indonesia yakni jarak pendek, perkotaan, pengguna roda dua, maka motor listrik tampak lebih “pas” sebagai moda yang perlu didorong.
Meskipun sepeda listrik memiliki potensi, khususnya untuk mobilitas mikro dan suburban, namun Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (Prodi PWK) Institut Teknologi Sumatera (ITERA) ini menilai masih ada kendala untuk memasifkan penggunaannya sebagai moda transportasi.
“Namun, regulasi dan ekosistemnya (sepeda listrik) belum sekuat motor listrik. Pemilihan moda harus mempertimbangkan karakteristik rute, daya dukung infrastruktur, dan regulasi,” kata Ilham kepada Validnews di Jakarta, Senin (17/11).
Abidin menyoroti sisi keamanan. Ia menilai, citra produk electric vehicle (EV) di lapangan juga masih sangat negatif karena sangat minimnya kampanye keamanan berkendara. Fakta di lapangan, kata dia, banyak pengguna anak-anak dan memaksakan berkendara di jalan umum yang speed average lebih cepat dan memperlambat laju lalu lintas.
“Bahkan, tidak jarang menjadi kecelakaan karena penggunanya anak anak,” ungkapnya.
Senada, Aismoli juga memiliki keresahan soal ini, yang telah disampaikan Kementerian Perhubungan menyangkut masalah sepeda listrik. Menurut Budi, sepeda listrik agak susah dikontrol karena tidak dilakukan uji tipe oleh Kementerian Perhubungan.
“Jadi begitu masuk, langsung di-assembly, langsung dijual. Karena tidak didaftarkan di kepolisian juga,” jelas dia.
Akibatnya, sekarang cukup marak sepeda listrik yang terindikasi tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Salah satunya kecepatan dibatasi 25 km/jam dan sebagainya.
“Sekarang kan sepeda listrik ada yang dimensinya juga cukup besar. Jadi kaya dibilang sepeda listrik juga enggak, dibilang sepeda motor juga enggak tapi kecepatannya di atas 25 km, kemudian ada pedal tapi pedalnya enggak berfungsi. Jadi kaya motor mini, bukan yang kaya sepeda dikasih mesin listrik,” kata Budi.
Oleh karena itu, Budi menekankan harus ada pengawasan dari pemerintah terhadap pabrik dan juga pengguna sepeda listrik maupun motor listrik di jalan umum.
Untuk meningkatkan keamanan, ia menyarankan agar pabrikan mem-bundling sepeda listrik atau motor listrik dengan helm. Hal itu bagian dari menjalankan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020, bahwa setiap penggunaan sepeda listrik itu harus menggunakan helm.
Kemudian, edukasi kepada pengguna sepeda listrik atau motor listrik di jalan umum, terutama anak-anak, amat diperlukan.
“Minimal diarahkan enggak boleh digunakan sini baik oleh Satpol PP, kepolisian, atau Dishub. Karena menyangkut masalah keselamatan menjadi tugas kita bersama. Jadi kalau bisa penggunaannya juga diatur, kita harapkan pemerintah daerah mulai menyiapkan semacam jalur-jalur khusus untuk sepeda listrik ini supaya mereka tidak liar menggunakan di jalan-jalan yang lalu lintasnya cukup padat,” pungkasnya.
Di tengah upaya untuk menggenjot pertumbuhan penggunaan kendaraan listrik, dalam hal ini mobil listrik, sepeda listrik maupun motor listrik, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengingatkan pemerintah untuk tidak meninggalkan transportasi publik. Yakni, dengan memperbanyak transportasi umum seperti bus listrik.
“Itu (saya) udah protes dari awal itu, orang daerah motor listrik itu diberi subsidi karena penggunanya banyak. Justru yang diperlukan sangat bergantung bus listrik, itu kebutuhan masyarakat. Riil,” kata Djoko kepada Validnews di Jakarta, Senin (17/11).
Ia menilai pemerintah keliru memberikan subsidi kepada kendaraan pribadi untuk kendaraan listrik, sehingga menambah kemacetan di jalanan. Padahal, kata dia, pemerintah harusnya memperbanyak bus-bus listrik untuk mengatasi kemacetan dan menghilangkan polusi.
“Negara itu keliru itu ngasih subsidi (kendaraan) pribadi. Kalau demi rakyat bus listrik, kebanyakan daerah itu yang diperlukan. Motor listrik, mobil listrik itu pribadi, personal. Kalau motor listrik sama aja buat macet kota. Polusi oke, tapi kan macet. Kalau bus listrik polusinya hilang, macetnya hilang,” tegas Djoko.