02 Desember 2024
10:02 WIB
Demi Kurangi Defisit APBN, Pemerintah Diminta Setop Bayar Obligasi Rekap BLBI
Dengan menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50-70 triliun per tahun, bisa digunakan untuk menutup defisit APBN, tanpa harus menaikkan PPn atau mengurangi subsidi energi
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho. dok. HMS Center
JAKARTA – Rencana pemerintah mengambil jalan pengurangan subsidi energi dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12%, untuk mengatasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp600 triliun menuai kritik keras.
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menyatakan, alih-alih memotong subsidi dan menaikan tarif pajak, salah satu opsi untuk menyelamatkan APBN yang paling memungkinkan dilakukan adalah, menghentikan pembayaran obligasi rekapitaliasi yang selama ini membebani anggaran negara.
Hardjuno menegaskan, pembayaran obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
“Setiap tahun, Rp50-70 triliun dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap ini. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPn dan subsidi energi dipangkas. Di mana keberpihakan pemerintah?” ujar Hardjuno dalam keterangannya yang diterima, Senin (2/12).
Kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga ini pun mendesak pemerintah, untuk berani mengambil langkah progresif, menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Dia menilai, alokasi anggaran ini sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.
"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Meringankan Beban
Hardjuno menjelaskan, jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50-70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN, tanpa harus menaikkan PPn atau mengurangi subsidi energi.
"Langkah ini tidak hanya akan meringankan beban APBN, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga-harga dan inflasi. Dari kenaikan PPn, mungkin negara dapat Rp100 triliun-an, tapi harga-harga melambung tinggi daya beli makin tergerus. Bandingkan dengan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI," imbuhnya.
Hardjuno mengakui, keputusan untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI memerlukan keberanian politik yang besar.
Pasalnya, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan, oleh pembayaran obligasi rekap.
“Namun, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, ini adalah langkah yang harus diambil. BLBI adalah masa lalu yang sudah selesai, dan beban yang ditimbulkan tidak seharusnya terus menjadi warisan untuk generasi mendatang," ujar Hardjuno.
Dia juga mengingatkan, subsidi energi adalah kebutuhan mendasar bagi rakyat kecil, dan pengurangan subsidi hanya akan memperlebar ketimpangan sosial.
“Jangan sampai pemerintah memilih jalan mudah dengan membebani rakyat melalui kenaikan PPn dan pengurangan subsidi energi, sementara beban berat BLBI tetap dibiarkan,” tandasnya.
Jika pemerintah berani menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, Hardjuno optimistis, langkah ini akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program pembangunan yang pro-rakyat.
"Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah ingin mengutamakan kepentingan rakyat, atau terus tunduk pada warisan kebijakan yang sudah tidak relevan?,” pungkasnya.
Daya Beli Masyarakat
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kebijakan tarif PPN menyesuaikan mandat undang-undang. Artinya, kebijakan ini bakal diterapkan pada 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021.
“Pada dasarnya, kebijakan penyesuaian tarif PPN 1% tersebut telah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dengan DPR, dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain ekonomi, sosial, dan fiskal,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro.
Namun, menurut Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% dinilai berisiko mengurangi konsumsi rumah tangga hingga Rp40,68 triliun serta berpotensi memukul daya beli masyarakat.
“Hasil studi CELIOS mengungkap kebijakan tarif PPN 12% berisiko menurunkan PDB (Produk Domestik Bruto) hingga Rp65,3 triliun, mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun,” kata Direktur Fiscal Justice CELIOS Media Wahyudi Askar.
Menurut simulasi perhitungan CELIOS, kenaikan PPN 12% akan meningkatkan pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, kelompok rentan miskin sebesar Rp153.871 per bulan, dan kelas menengah hingga Rp354.293 per bulan.
Kondisi ini tidak hanya mengancam daya beli masyarakat namun juga memperburuk fenomena penurunan kelas sosial dari kelas menengah menjadi rentan miskin.
Dia pun menekankan, pemerintah seharusnya mencari sumber penerimaan negara lain yang lebih berkeadilan, seperti pajak kekayaan, pajak windfall profit komoditas, pajak produksi batu bara, atau pajak karbon.