c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

04 Februari 2023

10:06 WIB

Data Ketersediaan Beras Antar Stakeholder Tak Sinkron

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini meminta pemerintah membangun komunikasi yang baik, khususnya terkait data ketersediaan beras.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Data Ketersediaan Beras Antar <i>Stakeholder</i> Tak Sinkron
Data Ketersediaan Beras Antar <i>Stakeholder</i> Tak Sinkron
Ilustrasi. Pekerja mengemas beras di penggilingan padi Desa Kajongan, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

JOMBANG - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini meminta komunikasi publik antar stakeholder di pemerintah terbangun dengan baik, khususnya terkait data ketersediaan beras. Sebab dari hasil pantauannya, terdapat perbedaan informasi yang disampaikan, baik yang berasal dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) maupun dari Kementan.

Ia menggarisbawahi, data yang disampaikan Bapanas beberapa waktu lalu menyatakan persediaan beras Indonesia minus. Sedangkan data yang disampaikan Kementan berdasarkan BPS malah sebaliknya, persediaan beras nasional sudah mengalami surplus.

“Ini yang perlu kita gali lebih banyak, dan kita tadi lihat di lapangan benar memang tidak ada barangnya (beras),” ujar Anggia dalam keterangan pers yang diterima, Jakarta, Jumat (3/2).

Diketahui, Tim Komisi IV DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) ke Kabupaten Jombang dalam rangka melihat langsung ketersediaan beras di dua pabrik penggilingan padi di Jombang, baik yang berkapasitas produksi kecil maupun besar.  Yaitu, penggilingan padi yang dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Pojok Kulon dan PT Sinar Makmur Komoditas (SMK). 

Gapoktan Pojok Kulon memiliki kapasitas produksi lebih kecil, yaitu hanya 15 ton/hari. Sedangkan, kapasitas produksi PT SMK memiliki kapasitas produksi yang lebih besar mencapai ratusan ton/hari.

"Yang harus dilihat apakah benar tidak ada berasnya? Baik itu di petani, lumbung, penggilingan, atau di manapun penyimpanannya, atau memang sengaja disembunyikan atau bagaimana. Yang jelas, saat kita tadi di penggilingan, tidak ketemu yang namanya beras. Ini yang menjadi concern kita,” urai politisi F-PKB itu.

Baca Juga: IKAPPI: Harga Beras Sudah Berbulan-bulan Di Atas HET

Karena itu, ia menjelaskan, jika kedua data yang berasal kedua institusi tersebut sama-sama memiliki kebenaran, maka perlu dibangun komunikasi yang lebih baik. Pasalnya, beras merupakan masalah krusial yang harus ditangani, apalagi di tengah-tengah isu global krisis pangan saat ini. 

“Isu ini harus kita tangani dengan baik. Kalau datanya salah, penyikapannya (kebijakan) juga salah, nanti intevensinya salah. Jangan-jangan nanti kita kekurangan pangan,” sebutnya.

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menerangkan, acuan data yang digunakan institusinya adalah data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, hal itu sebagaimana amanat dari undang-undang. 

Karenanya, Suwandi berharap, tiap pihak tidak salah dalam menafsirkan data yang disajikan dari BPS tersebut dan penjelasan yang diberikan Kementan tidak menyebabkan kekeliruan.

“Apakah kementerian mengumpulkan data? Kami pakai satelit internal, tapi tidak dirilis. Ada data bulanan dari daerah? Ada, tapi kami tidak rilis itu. Yang kami pakai adalah data BPS,” ujar Suwandi di kesempatan yang sama.

Di sisi lain, ia turut menerangkan perbedaan pengertian mengenai surplus-defisit dengan stok. Kondisi surplus-defisit merupakan akumulasi selisih atas hasil penghitungan produksi dikurangi konsumsi. 

Karena itu, menurutnya, semua pihak diminta untuk jangan mencampur soal surplus-defisit dengan stok. Stok itu merupakan sesuatu yang statis, sementara surplus-defisit merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. 

“Stok itu ada di mana-mana, ada di Bulog, rumah tangga, di penggilingan, dana sebagainya butuh survei dari BPS juga. (Sementara) surplus-defisit beda, stok juga beda,” jelasnya.

Minta Solusi Penggilingan Padi Kecil
Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi IV DPR RI Ema Umiyyatul Chusna meminta pemerintah untuk memberikan solusi bagi penggilingan padi lokal berkapasitas kecil dalam memproduksi beras hariannya. Sebab tanpa adanya intervensi dari pemerintah, menurutnya, harga gabah sekarang ini sudah terlampau tinggi untuk dapat dibeli.

“Yang kita keluhkan berdasarkan masukan dari masyarakat yang memiliki penggilingan padinya berkapasitas kecil itu memang mencari gabah. Karena harga gabah di lapangan sudah tidak terjangkau dari petani, karena ada pihak-pihak lain yang membeli dengan harga mahal,” ujar Ema.

Berdasarkan data BPS, dibandingkan Januari 2022, harga beras di tingkat penggilingan pada Januari 2023 telah naik 14,90% (yoy), dari Rp9.556/kg menjadi Rp10.979/kg. Sementara itu, harga beras di tingkat grosir juga naik hingga 10,97% (yoy), dari Rp10.496/kg menjadi Rp11.648/kg. Selanjutnya, harga beras di level eceran juga naik mencapai 7,70% (yoy), dari Rp11.596/kg menjadi Rp12.380/kg.

Baca Juga: Dirut Bulog Sidak Ke Cipinang Pastikan Stok Beras Impor Habis

BPS melaporkan, kenaikan beras ini juga dipicu oleh kenaikan harga gabah di tingkat petani hingga double digit dibanding Januari 2022. Seperti harga Gabah Kering Panen (GKP) yang melonjak hingga 16,52% (yoy), dari Rp5.010/kg menjadi Rp5.837/kg. Bahkan, harga Gabah Kering Giling (GKG) naik signifikan 20,63% (yoy), dari kisaran Rp5.389/kg menjadi Rp6.501/kg.

“Jadi, (kenaikan harga gabah) itu membuat mereka tidak bisa memproduksi untuk penggilingan beras di level mesin yang kecil. Sehingga, yang harus kita pikirkan bagaimana ada gabah yang bisa digiling sehingga mereka bisa terus berproduksi,” ujar politisi F-PPP itu.

Ia juga meminta pemerintah memikirkan pemasaran dari penggilingan beras yang berasal dari usaha berskala kecil tersebut. Dengan begitu, krisis pangan bisa sama-sama diantisipasi berbagai pihak. 

“Pemerintah harus segera tuntaskan itu, dan Komisi IV sudah melihat untuk kita bahas nanti bersama pemerintah,” paparnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar