10 Desember 2022
18:00 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Masalah kekerdilan atau stunting menjadi problem konservatif yang dihadapi oleh banyak negara berkembang. Indonesia salah satunya. Stunting menjadi kendala dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian bangsa.
Stunting sendiri merupakan gangguan pertumbuhan akibat berbagai faktor, dimulai dari kurangnya gizi selama masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun. Kualitas air minum yang buruk dan minimnya ketersediaan fasilitas sanitasi yang bersih dan memadai, turut menjadi sebab.
Maklum, kualitas air minum dan sanitasi buruk bisa menimbulkan berbagai penyakit pada anak. Lantas, upaya tubuh menyembuhkan diri merampas gizi yang seharusnya digunakan si anak untuk tumbuh kembang.
Tak sebatas kerdil secara fisik, stunting menyebabkan otak dan tubuh gagal berkembang. Akibatnya, kecerdasan berkurang dan kondisi fisik ringkih, yang akan terbawa hingga dewasa. Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menjelaskan kecukupan gizi selama bayi berada dalam kandungan sangat menentukan kontribusi manusia yang akan dilahirkan terhadap kemajuan bangsa, termasuk soal pertumbuhan ekonomi dalam skala yang lebih luas.
Hasran pun menilai konsumsi makanan punya peran penting dalam hal penanganan stunting. Penerapan pola makan sehat dan bernutrisi, dia sebut masih kurang di Indonesia.
"Khususnya pada masyarakat berpenghasilan rendah, mereka hanya makan untuk memenuhi kebutuhan energi. Jadi, banyak makan nasi tetapi lauknya sedikit," ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Rabu (7/12).
Catatan pemerintah menunjukkan bahwa pada 2021, prevalensi stunting masih berada di angka 24,4%. Meski menurun 6,4% dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 30,8%, prevalensi itu masih jauh dibandingkan target tahun 2024 sebesar 14%.
Secara nasional, angka prevalensi stunting memang cenderung menurun dengan rata-rata 1,6% setiap tahun sejak 2013, dimana pernah mencapai sebesar 37,2%. Sayangnya untuk mencapai target 14% tahun 2024, butuh rata-rata penurunan 3,5% per tahun.
Peran Penting Desa
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali menerangkan dua macam intervensi yang dilakukan dalam penurunan stunting, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik sendiri menyasar langsung perbaikan status gizi, mulai dari pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronis dan balita gizi buruk, hingga pemberian imunisasi dasar secara lengkap.
Sementara untuk intervensi sensitif, menyasar penyebab tidak langsung dari stunting. Intervensi ini diimplementasikan antara lain lewat akses jaminan kesehatan nasional, penyediaan bantuan pangan, akses uang tunai untuk membeli makanan bergizi, serta peningkatan akses air minum dan sanitasi.
"Intervensi dilakukan dengan pembiayaan kementerian/lembaga dan dana transfer. Tahun 2022 ini, terdapat 17 kementerian/lembaga yang berkontribusi dalam upaya penurunan stunting, yang juga didukung oleh dana alokasi khusus dan Dana Desa," kata Pungkas dalam perbincangan via telepon dengan Validnews di Jakarta, Kamis (8/12).
Penanganan stunting agaknya memang harus dimulai dari lingkungan paling kecil. Desa, menjadi level pemerintahan yang tak bisa abai terkait hal tersebut. Hal itu tak lepas dari salah satu strategi utama dalam konvergensi penurunan stunting, mengupayakannya dari tingkat desa dan kelurahan.
Pungkas menambahkan, strategi utama dalam konvergensi itu ialah penetapan desa dan kelurahan prioritas pada setiap kabupaten/kota. Penetapan itu diharapkan bisa membuat kementerian/lembaga dan organisasi perangkat daerah tingkat kabupaten/kota dengan intervensi spesifik dan sensitif bisa mengarahkan kegiatan mereka pada desa dan kelurahan yang telah ditetapkan.
"Dana Desa pun didorong untuk percepatan penurunan stunting, seperti penyediaan makanan tambahan lokal, insentif kader, bantuan sosial untuk makanan bergizi, serta akses sarana prasarana air minum serta sanitasi," tuturnya.
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Muksalmina Asgara kepada Validnews mengakui, dalam lima tahun belakangan, pihaknya fokus pada pengentasan stunting di tingkat desa lewat pemenuhan kegiatan di posyandu.
Kegiatan strategis itu salah satunya ialah pemberian makanan tambahan kepada ibu hamil ataupun balita yang kekurangan gizi. Dalam hal ini, APDESI meyakini salah satu penyebab stunting ialah terdapat kekurangan gizi pada masa kehamilan.
"Hal-hal seperti ini yang menjadi fokus pemerintah desa, termasuk juga menimbang berat badan rutin, lebih dari sekali dalam seminggu," imbuh Muksalmina.
Disebutkanya, permasalahan dan tantangan yang dihadapi jajaran pimpinan desa berbeda-beda. Tiap kawasan punya karakteristik masing-masing. Pola dan cara yang dilakukan oleh desa akan kembali pada kewenangan lokal di skala desa dan kelurahan tanpa meninggalkan standar yang disiapkan pemerintah pusat.
Meski demikian, dia menegaskan, pemerintah desa dan kelurahan tak boleh melepas standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Standar itu adalah acuan untuk menekan stunting. Patokan tersebut diciptakan juga dalam rangka mencapai target pembangunan desa.
"Jadi memang kembali kepada kewenangan lokal kepala desa dan tentunya melalui musyawarah oleh pemerintah desa setiap tahunnya," tandasnya.
Sementara terkait jumlah pasti Dana Desa, Muksalmina Asgara menguraikan adanya alokasi di setiap wilayah yang berbeda. Besarannya bergantung pada tinggi atau rendahnya tingkat stunting di kawasan tersebut. Paling kecil, anggaran Dana Desa terkecil untuk kegiatan perbaikan gizi di posyandu berkisar Rp10 juta.
"Kalau di Aceh, daerah saya, itu ada desa yang angkanya sampai Rp60 juta. Jadi, memang balik lagi bagaimana kasus stunting di sana. Paling besar itu pernah di angka Rp100 juta per tahun," jabar Muksalmina.
Soal penanganan stunting ini, dia menilai Kementerian Kesehatan melempar tanggung jawab penanganan stunting ke tingkat pemerintahan paling kecil melalui Dana Desa. Tanggung jawab itu semestinya diikuti oleh relokasi dana yang dikelola Kemenkes sebagai bagian dari Dana Desa.
Dengan begitu, Muksalmina meyakini pemerintah desa akan lebih proaktif menangani stunting, seperti penanganan bersama oleh tenaga medis dari puskesmas dan posyandu, dan sebagainya.
"Tentu mereka butuh fasilitas agar menjadi lebih mudah dan nyaman dalam melakukan tugas di tingkat desa," sergah Muksalimin.
Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, anggaran kegiatan rehab dan operasional posyandu meningkat pesat di 2020. Dari Rp1,7 triliun di 2019, jumlahnya menjadi Rp4,1 triliun pada 2020.
Selain kegiatan rehab dan operasional posyandu, Dana Desa juga digunakan untuk pemberian makanan tambahan anak, pembelian obat bagi poskesdes dan polindes, operasional bidan, kegiatan rehab dan operasional polindes serta kegiatan rehab dan operasional poskesdes.
Pada 2029, total anggaran Dana Desa yang digunakan untuk kegiatan penanganan stunting tersebut mencapai Rp4,99 triliun, dan naik menjadi Rp6,32 triliun pada 2020.
Sebagai informasi, total Dana Desa yang dikucurkan pemerintah pusat pada 2019 mencapai Rp70 triliun. Jumlahnya meningkat di 2020 menjadi Rp72 triliun. Anggaran itu dialokasikan untuk sekitar 74 ribu desa.
Optimalisasi Dana Desa
Di sisi lain, Pungkas mengamini, penanganan stunting di tingkat desa dan kelurahan tak berjalan semulus yang diharapkan. Dia tak menampik bahwa ada sederet permasalahan yang menghambat upaya penurunan stunting dari tingkat pemerintahan terendah, seperti minimnya ketersediaan tablet tambah darah untuk ibu hamil, hingga belum terlaksananya pengukuran perkembangan balita secara rutin.
"Perlu ada pendampingan kepada sasaran prioritas di desa dan kelurahan untuk memastikan setiap sasaran menerima dan memanfaatkan intervensi sesuai standard yang ditetapkan," ulasnya.
Kurangnya asupan gizi bagi ibu hamil dan balita itu menjadi tantangan nomor satu, di samping minimnya pengetahuan dan edukasi gizi dari masyarakat. Serta, rendahnya pemahaman pemimpin daerah, khususnya tingkat desa dan kelurahan, soal permasalahan stunting.
Karena itu, Pungkas meyakini langkah strategis yang bisa dilakukan adalah mendampingi ibu hamil dan balita oleh tim pendamping keluarga, serta penguatan tata kelola. Pendampingan bertujuan untuk memastikan setiap sasaran menerima intervensi yang dilakukan.
"Sedangkan untuk penguatan tata kelola, utamanya untuk mendorong desa dan kelurahan dalam menurunkan stunting lewat pendampingan kepada pemerintah daerah, membentuk tim percepatan penurunan stunting, pelaksanaan rembuk stunting, serta mendorong penggunaan Dana Desa," ucap Pungkas.
Penggunaan Dana Desa untuk penanganan stunting yang kebanyakan dilakukan saat ini adalah untuk menjamin intervensi spesifik dan asupan gizi bagi setiap ibu hamil dan balita. Intervensi kegiatan itu juga termasuk penguatan intervensi sensitif.
Sejatinya, Dana Desa saat ini secara khusus didorong untuk sejumlah intervensi utama. Salah satunya ialah perlindungan sosial lewat penyediaan bansos untuk konsumsi makanan bergizi.
"Termasuk ketahanan pangan, seperti penyediaan makanan tambahan lokal, lalu penyediaan insentif kader, serta terakhir penguatan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi," jelasnya.
Menyoal kurang ajegnya penanganan ini, Hasran mengamininya. Dia mengajak seluruh pihak terkait untuk tetap optimis karena sekalipun belum mencapai target. Penilaiannya, penanganan stunting oleh pemerintah sudah menunjukkan hasil yang baik. Di sisi lain, pemerintah harus terus mengevaluasi efektivitas kebijakan yang sudah berjalan.
"Pemerintah wajib meneruskan berbagai intervensi yang sudah dijalankan sembari terbuka pada evaluasi yang mungkin saja ditemukan selama pelaksanaan," imbuh Hasran.
Hasran malah menyoroti lebih jauh. Restriksi atau pembatasan dalam kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah kerap ditemukan. Seperti kebijakan yang bersifat non-tarif melalui regulasi beberapa kementerian yang membatasi keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional.
"Kebijakan itu tentu menyebabkan naiknya harga pada komoditas pangan. Sementara, mendorong efisiensi produksi pangan dan mendorong produktivitas pangan dalam negeri perlu terus dilakukan untuk mendongkrak daya saing," ungkapnya.
Sementara itu, di tingkat desa dan kelurahan, optimalisasi Dana Desa bisa dilakukan untuk pembangunan atau perbaikan fasilitas kesehatan. Tak hanya itu. Pembangunan sanitasi dan air bersih, juga wajib masuk dalam alokasi Dana Desa.
Merujuk pada Permendesa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penggunaan Dana Desa 2018, Hasran mengatakan Dana Desa semestinya bisa digunakan untuk kegiatan penurunan stunting sesuai musyawarah desa. Meski diakui, penggunaan anggaran itu bergantung pada political will dan kesadaran aparatur desa.
"Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut, peranan Dana Desa seharusnya efektif secara tidak langung dalam penurunan stunting. Namun, implementasinya di lapangan masih kurang maksimal karena tidak ada klausul kewajiban di dalamnya," tegasnya.
Adapun carut-marut penanganan stunting di desa adalah juga disebabkan ketiadaan klausul kewajiban.
Diolah dari data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, masing-masing persentase alokasi dana untuk stunting dibandingkan total Dana Desa hanya 7,12% pada 2019 dan 8,77% pada 2020.
Padahal, apabila angka stunting berhasil turun secara konsisten, SDM Indonesia akan produktif dan risiko kerugian untuk berinvestasi pun semakin minim. Niatan menarik investasi sebesarnya, bisa berujung paradoks jika SDM lokal tak mumpuni.