c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

15 September 2022

19:20 WIB

Dampak BBM Naik, INDEF : Inflasi Nasional 2022 Bisa Tembus 8,79%

Ia melanjutkan, berdasarkan elastisitas, hubungan antara harga BBM dan IHK adalah 0,12 poin. Artinya, setiap kenaikan harga BBM sebesar 1%, maka IHK atau inflasi akan naik sebesar 0,12%.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Dampak BBM Naik, INDEF : Inflasi Nasional 2022 Bisa Tembus 8,79%
Dampak BBM Naik, INDEF : Inflasi Nasional 2022 Bisa Tembus 8,79%
Daftar harga terbaru Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU setelah pengumuman harga kenaikan BBM di Jakar ta, Sabtu (03/09/2022). ValidnewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Dhenny Yuartha Junifta menjelaskan, kenaikan BBM mau tidak mau bakal berpangkal pada kenaikan inflasi di Indonesia. 

Menurutnya, saat ini tingkat inflasi sedang menuju ke tingkat yang cukup mengkhawatirkan dan merupakan yang tertinggi sejak 2015.

Dampak kenaikan BBM saat ini bisa berkaca pada situasi inflasi pada 2013 silam. Dia menyebutkan, apabila inflasi tidak dapat dikendalikan, bisa jadi Indonesia bisa merasakan inflasi seperti saat itu dengan titik tertinggi di kisaran 8,79%.

“Memang BBM ini memiliki hubungan yang positif dengan indeks harga konsumen (IHK). Semakin tinggi harga BBM, maka angka IHK akan semakin meningkat,” sebutnya dalam diskusi daring ‘BBM Naik, Apa Dampaknya Terhadap Komoditi Lain?’, Jakarta, Kamis (15/9).

Ia melanjutkan, berdasarkan elastisitas, hubungan antara harga BBM dan IHK adalah 0,12 poin. Artinya, setiap kenaikan harga BBM sebesar 1%, maka IHK atau inflasi akan naik sebesar 0,12%.

Lebih lanjut, meski harga Pertalite sudah beberapa kali mengalami perubahan sejak diluncurkan pada 2015, IHK tetap mengalami kenaikan yang cukup pesat. Terutama, IHK antara tahun 2016 ke 2018, terjadi kenaikan harga Pertalite pada waktu bersamaan.

Pada gilirannya, inflasi yang naik bakal berdampak pada penurunan tingkat konsumsi masyrakat. Secara teoritis, hubungan yang terbentuk antara inflasi dan konsumsi rumah tangga bernilai negatif.

“Artinya semakin tinggi inflasi, maka akan semakin rendah pula nilai konsumsi rumah tangga nasional,” bebernya.

Pasalnya, kenaikan harga barang akan mengurangi konsumsi rumah tangga. Adapun angka elastisitas yang terbentuk adalah 0,008 poin; dimana setiap kenaikan inflasi 1% akan mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar 0,008%.

Selain itu, berdasarkan datanya, setiap kenaikan inflasi juga akan berpengaruh pada peningkatan persentase masyarakat miskin sebesar 0,688%.

Hitungannya, jika harga Pertalite naik menjadi Rp10.000/liter maka persentase penduduk miskin akan bertambah menjadi 9,96%. Jumlah ini secara gamblang naik dari torehan tahun sebelumnya yang sebesar 9,71%.

“Ini kembali menjadi persoalan, karena kalau kita melihat upah buruh itu kenaikannya tidak sepadan dengan kenaikan inflasi,” ungkapnya.

Padahal, ia menyebut, selama ini kenaikan upah buruh masih berkisar nol sekian persen dengan kenaikan paling tinggi di kisaran 1-2%. Sementara itu, inflasi secara tahunan bisa meningkat jauh lebih tinggi dari kenaikan upah ini.

Konkret, upah rill 2021 hanya naik 0,13% (yoy), sedangkan inflasi bahan pangan naik hingga 3,2% (yoy). Dengan demikian, kenaikan upah yang diterima buruh tidak cukup besar untuk menanggung kenaikan harga secara umum. 

Tidak mengherankan, kekayaan riil buruh atau masyarakat yang rentan miskin begitu tipis. Bahkan, dalam kondisi tertentu kekayaan riil tersebut berada pada level minus. 

“Nominalnya memang naik, tapi ya itu kekayaan riil-nya akan turun. Karena tidak bisa menopang kenaikan-kenaikan harga yang terjadi,” sebutnya.

Secara umum, beberapa sektor usaha akan terdampak negatif di sisi inputan, akibat kebijakan BBM yang naik. Meliputi sektor perkebunan, perikanan, industri dan berbagai jasa.

“(Misal) perkebunan, biaya ongkos produksinya (pupuk) bertambah, begitu juga dengan distribusi pangan dan perkebunan yang meningkat karena kenaikan harga BBM,” ujarnya.

Tambah Bantalan Sosial
Ke depan, ia menyarankan pemerintah, untuk dapat memilah dan mengklasifikasi proyek yang memang merupakan kebutuhan atau sekadar ambisi. Ini penting untuk menekan ruang fiskal, agar bisa lebih baik lagi dipergunakan untuk mengatasi beragam gejolak yang terjadi. 

Penilaiannya, ada banyak ruang fiskal yang bisa pemerintah manfaatkan dari sisi pengalihan proyek ambisius. Nantinya, pengalihan dapat digunakan untuk memberi bantalan yang lebih serius kepada masyarakat miskin.  

Karena, Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp24,17 triliun untuk 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak akan cukup meredam dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap daya beli masyarakat. Begitu pula subsidi upah untuk 16 juta pekerja tertentu dengan total anggaran Rp9,6 triliun.

Semestinya, subsidi upah diberikan dengan nominal setidaknya Rp1 juta per penerima/bulan.

“Ada sekitar 113 juta aspiring middle class. Artinya ada 113 juta kelas menengah yang dia itu sebenarnya tidak miskin, tapi mudah masuk ke masyarakat miskin,” ucapnya.

Selanjutnya, berbagai persoalan fundamental yang terjadi di tubuh pemerintah harus bisa segera dibereskan melalui penegakan fiskal terukur berkaitan dengan subsidi BBM. 

Pasalnya, mengalokasikan kompensasi yang sangat besar akan membuka ruang akses pengalokasian BBM semakin tidak transparan dan tepat sasaran.

“Karena dengan mudah masyarakat kelas atas bisa menikmati itu (kompensasi BBM). Karena di tengah guncangan, masyarakat itu (kelas atas) pasti akan rasional, apalagi mereka juga punya kebutuhan-kebutuhan yang lain akibat dampak inflasi,” bebernya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar