31 Oktober 2024
21:00 WIB
Cuan Dari Profesi Baru Nan Viral
Menjadi kreator konten dan influencer menjadi profesi yang kini banyak dibidik oleh kelompok muda.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma, Aurora K M Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Dua konten kreator bernyanyi live Tiktok di Kanal Banjir Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (10/9/2024). Antara Foto/Fakhri Hermansyah
JAKARTA – Setelah beberapa tahun menjalani karier sebagai wartawan, Jenda Munthe alias Jenda Mclover (39) akhirnya menetapkan hati berpindah haluan. Tak lagi mengejar narasumber dan menyajikan fakta sebagai berita, dia memilih menampilkan konten-konten yang menghibur pengguna media sosial.
Semula, aktivitas sebagai freelancer content creator dilakoninya sembari menjadi wartawan sekaligus editor di portal berita berbasis data Validnews. Di langkah-langkah awal, wartawan yang kesehariannya menangani isu hukum dan kriminal itu mulai dengan konten menyanyi di tengah jalan. Kadang, dia berteriak dan bernyanyi di tengah keramaian yang kemudian diunggah di media sosial.
Kekonyolan dan keunikan Jenda berhasil menjaring satu demi satu follower.
Konten besutan Jenda pun berkembang. Ia lantas menggagas konten Tanya Jawab alias Q&A berbalut komedi dan gimik marah-marah yang kemudian viral. Suara dan aksen Medan-nya yang khas saat mengomel itulah yang membuat internet citizen (netizen) terhibur.
Berbagai konten yang viral itu lantas membukakan pintu rezeki untuk Jenda sejak 2016 sampai sekarang.
"Pada akhirnya, dari content creator ini aku banyak dapat job kan, ada endorsement, job attendant, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang itu tuh membutuhkan komitmen waktu," ujarnya kepada Validnews, Selasa (29/10).
Pria yang kini memiliki followers Instagram 1,5 juta orang itu mengungkapkan, bermacam tawaran kerja mengalir masuk selaras dengan kian terkenalnya di beragam platform media sosial. Lebih enaknya, mayoritas bisa dikerjakan secara online dan serba digital sejak menjadi content creator.
Mulai dari mengiklankan produk atau endorsement melalui media sosial, menjadi host acara atau master of ceremony (MC), bahkan menjadi pemandu lagu. Bahkan, sampai tawaran ikut main film layar lebar pun kemudian diterimanya.
"Jadi content creator itu awalan saja, tapi setelah mendapatkan banyak engagement, makin dikenal, kerjaannya bisa lebih fleksibel lagi. Aku dapat job dari film, jadi host, bisa MC juga, sekarang yang reguler aku jadi penyanyi late karaoke," terang Jenda soal aktifitasnya kini.
Saat dirinya mulai dikenal orang, beragam pekerjaan itu diterimanya sambil mencari waktu. Namun, tak mudah bagi Jenda untuk menjalani dua profesi sekaligus. Ia sempat keteteran, mengingat keduanya, baik jurnalis dan kreator konten- sama-sama punya deadline ketat.
Ia mengaku perlu fokus mengerjakan konten dan waktu panjang untuk mengeksekusi ide-idenya. Hingga pada 2018, ia memberanikan diri, menyudahi karirnya di perusahaan media yang berkantor di lantai 21 gedung pencakar langit di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
"Waktu itu aku keteteran jadinya, karena dua-duanya menuntut komitmen sebenarnya. Aku gak bisa jalanin keduanya, dan akhirnya harus memilih setelah konsultasi sama atasan, pasangan, orangtua, dan mengerucut ya sudah milih jadi content creator," kata Jenda.
Menjadi kreator konten memang bak gula-gula bagi yang muda. Terkesan, ada kemudahan untuk mendapatkan berbagai pekerjaan dan meraup cuan, jika konten yang dibuat berhasil viral.
Hal inilah yang membuat banyak orang berlomba-lomba menjadi kreator konten. Jenda adalah salah satu yang sadar akan hal ini, dan menikmatinya. Ia juga paham, perlu konsistensi untuk tetap viral.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, profesi freelancer kreator konten dan influencer media sosial cukup membantu pemerintah dengan penciptaan lapangan kerja baru. Karena itu, ia menilai, hal ini masih perlu dibiarkan berkembang.
Job creation atau penciptaan lapangan kerja secara paralel dari bidang ekonomi kreatif seperti inilah perlu didukung.
"Pemerintah sudah terbantu dengan terciptanya lapangan kerja. Ini kalau mau diregulasi ya harus dipikirkan ulang dengan sangat hati-hati untuk meregulasinya," ujarnya kepada Validnews, Rabu (30/10).
Piter meminta pemerintah agar tidak gegabah buru-buru meregulasi industri kreatif, termasuk profesi kreator konten. Karena pajak pun mereka bayar ke negara, dan lini kerjanya bermanfaat bagi SDM muda-mudi Indonesia.
Ia mengakui, memang pajak dan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian belum signifikan. Namun, manfaatnya banyak, terutama bagi masyarakat, baik yang muda hingga tua, karena berkarya bisa tidak terbatas usia.
Piter juga menguraikan yang diamatinya, orang-orang aktif bermain media sosial, lalu memutuskan beralih dari sektor formal kerja kantoran menjadi kreator freelance yang yang notabene sektor informal, karena dua alasan. Pertama, keterampilan SDM-nya cocok di bidang kreatif dan digital. Kedua, SDM terpaksa karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kesulitan diterima kerja di korporasi.
Muda-mudi Pilih Cuan dan Fleksibilitas%
Zaman digitalisasi, disrupsi teknologi tak terelakkan. Teknologi melahirkan pekerjaan yang dikerjakan secara online, bisa dari mana saja, dan kapan saja. Termasuk di industri kreatif.
Fleksibilitas ini pula yang menggugah anak muda terjun ke industri kreatif. Seperti Jenda yang makin lama makin nyaman menggeluti bidang kreatif karena tiga alasan utama. Pertama, penghasilan lebih banyak karena jejaring sosial lebih luas, bisa sampai ke artis pula, dan itu mendatangkan cuan dan tawaran kerja.
Meski tak menyebutkan persentase atau kelipatan yang diterima, Jenda mengakui, penghasilannya sebagai kreator konten jauh lebih jumbo ketimbang kerja kantoran dulu.
"Kalau aku kebetulan puji Tuhan itu memang jauh, jauh sekali perbedaan pendapatannya antara jadi kantoran dan jadi content creator. Fleksibilitas waktu lebih enak dengan work load lebih sedikit, tapi pendapatannya jauh lebih banyak," tutur Jenda.
Kedua, ia memang suka membuat konten video, khususnya yang berbau lawak. Komedi adalah nadi konten media sosial besutannya.
Ketiga, durasi dan beban kerja lebih fleksibel. Sebab kreator konten bisa bekerja sesuka hati, tidak dipatok jam kerja nine to five seperti karyawan kantoran, dan mengatur sendiri jenis pekerjaan yang mau diambil.
Senada, Piter juga menilai gaya kerja anak muda sekarang lebih menyukai kebebasan. Mereka menyukai pekerjaan yang tidak terikat, serta lebih banyak menggunakan kreativitas dan skill.
SDM pemuda-pemudinya pun terdidik dan terampil untuk mengerjakan freelance yang dipilihnya sendiri. Kemudian yang paling utama, mereka makin semangat karena penghasilan yang didapat lebih besar ketimbang bekerja kantoran di sektor formal.
"Banyak dari mereka memilih itu (freelancer digital) karena memang gaya hidup anak muda saat ini yang lebih bebas. Mereka memiliki keterampilan untuk itu, dan memilih itu karena income di situ lebih gede dibanding formal," tutur Piter.
Asosiasi Konten Kreator Indonesia (AKKIndo) pun berpandangan demikian. Tak heran jika SDM di bidang ekonomi kreatif ini tidak hanya dari generasi muda-mudi saja.
Ketua AKKIndo Aditya Ramadhan (27) mengatakan, banyak orang dewasa ataupun yang sudah tua meraup cuan dari menjadi freelancer digital dan kreator konten. Pembatasan usia hanya terjadi di korporasi, sehingga ia menilai sektor ini lebih luwes.
"Enaknya jadi content creator itu tidak ada batasan usia ya, mau tua muda ada. Makanya ini ada di ranah self-employee, ranah profesional yang bisa bikin konten dengan ide-ide segar dan menarik bisa meningkatkan personal branding maupun bisnisnya," ujarnya kepada Validnews, Kamis (31/10).

Peralihan ke Sektor Informal
Aditya juga menyampaikan alasan kenapa zaman sekarang banyak anak muda maupun orang dewasa yang beralih menjadi pekerja digital seperti content creator. Salah satunya, karena 24/7 pegang smartphone, lalu terpapar media sosial dan influencer. Itu membuat orang-orang tertarik untuk memonetisasi kisah atau konten yang dibikin. Banyak juga yang kemudian terjun menjadi pengiklan atau streamer.
"Untuk menjadi sebuah profesi memang tergantung orangnya, banyak anak muda yang sudah paham pola, mereka jadi content creator freelance. Mereka terima endorse, bantu proyek bisnis yang promosi atau marketingnya perlu konten," kata Aditya.
Apa yang dilakoni para kreator konten tak bisa dipandang sebelah mata. Goldman Sachs Research mengamatinya.
Individu yang memiliki merek dan audiens online mereka sendiri telah muncul sebagai salah satu perkembangan terbesar di era digital. Ekosistem ini berkembang karena sejumlah alasan, termasuk peningkatan konsumsi media digital dan munculnya teknologi yang telah menurunkan hambatan terhadap pembuatan konten, tulis Eric Sheridan, analis riset ekuitas senior yang meliput sektor Internet AS, dalam laporan tim.
Platform baru seperti TikTok telah bermunculan, sementara platform lama seperti Facebook dan YouTube juga telah memperkenalkan format baru untuk berbagi video pendek, saluran streaming langsung, dan bentuk konten buatan pengguna lainnya.
Sheridan mengatakan, seiring pertumbuhan ekosistem, total pasar ekonomi kreator yang dapat ditangani akan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun ke depan menjadi US$480 miliar pada tahun 2027 dari US$250 miliar saat ini. Pertumbuhan tersebut kira-kira sejalan dengan perkiraan tim mengenai pertumbuhan belanja iklan digital global selama periode tersebut.
Para analis memperkirakan pengeluaran untuk pemasaran influencer dan pembayaran platform yang didorong oleh monetisasi platform video pendek melalui iklan akan menjadi pendorong pertumbuhan utama ekonomi kreator.
Goldman Sachs Research memperkirakan 50 juta kreator global akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 10-20% selama lima tahun ke depan. Kreator memperoleh penghasilan terutama melalui kesepakatan branding langsung untuk mempromosikan produk sebagai pemberi pengaruh; melalui pembagian pendapatan iklan dengan platform host; dan melalui langganan, donasi, dan bentuk pembayaran langsung lainnya dari pengikut. Kesepakatan merek adalah sumber pendapatan utama sekitar 70%, menurut data survei.
Hanya sekitar 4% pembuat konten global yang dianggap profesional, yang berarti mereka menghasilkan lebih dari US$100.000 per tahun. Goldman Sachs Research memperkirakan pangsa mereka di dunia pencipta akan tetap stabil bahkan ketika ekosistem secara keseluruhan berkembang.
Di satu sisi, Piter menegaskan, kreator konten tidak menimbulkan gonjang-ganjing terhadap ekonomi domestik. Orang-orang yang menggeluti bidang kreatif digital atau kreator konten, bukanlah jenis pekerjaan informal yang ingin diberantas pemerintah. Seharusnya, ini sektor yang didukung pemerintah.
"Banyak pekerja muda kita yang informal, itu yang kita sebut gig workers. Ini beda ya dengan pekerjaan informal yang ingin dikurangi pemerintah," tuturnya.
Laporan datareportal.com mendukung premis Piter. Pengguna aktif media sosial di Indonesia pada awal 2024 mencapai 139 juta orang. Itu sudah hampir setengah populasi RI yang sebanyak 270 juta jiwa. Kemudian, platform digital yang paling banyak penggunanya, yaitu YouTube (139 juta orang), TikTok (126,8 juta orang), Facebook (117,6 juta orang), serta Instagram (100,9 juta orang).
Perbaiki Sektor Primer
Meski kemajuan zaman membuka lapangan kerja yang diciptakan individu, pemerintah selayaknya tak tidak berpangku tangan. Pemerintah juga perlu menggenjot perbaikan di sektor formal sekaligus primer. Miris nantinya apabila dua sektor itu malah ditinggalkan karena tidak ada perbaikan, sedangkan SDM-nya beralih jadi kreator konten semua. Ini terpapar dari sekumpulan petani paruh baya asal Sukabumi, Jawa Barat, yang viral saat bikin konten joget Sadbor atau joget ayam patuk. Dari live TikTok itu, mereka bisa meraup penghasilan Rp400.000-Rp700.000.
Piter beranggapan, pekerjaan sampingan seperti ini bukan salah petani ataupun TikTokers-nya. Menurutnya, atraksi di platform digital tersebut bagian dari gig economy yang dilakukan gig workers, yang kebetulan petani di Jawa.
Ia mengatakan, petani kerja sampingan bikin konten di TikTok itu sah-sah saja, asalkan pekerjaan tetapnya bertani. .
Jenda Mclover sendiri, yang sudah mencicipi pahit manis jadi content creator, enggan untuk bergeser ke sektor formal atau kerja kantoran. Ia tetap ingin aktif di dunia kreatif digital hingga entertainment. Di sisi lain, ia mengingatkan, freelancer dan kreator konten omzetnya tidak tetap. Selain itu, pengeluaran individual juga terkadang besar karena dipakai sebagai modal.
Belum lagi kehabisan ide bisa bikin frustrasi. Lalu, karya harus otentik, agar menggaet banyak penonton sehingga bisa dimonetisasi dari segi viewers. Namun, jangan takut untuk bersaing, walau pemain di bidang ini tumpah ruah.
Oleh karena itu, Jenda menilai, tidak bisa setengah hati mengejar cita-cita menjadi full time content creator. Ia menyarankan agar masyarakat yang mau beralih menjajaki industri kreatif perlu mempertimbangkan dengan matang. Karena tentunya dua lini pekerjaan tersebut punya tantangan masing-masing.
Sementara itu, AKKIndo menegaskan kesiapan membantu para kreator konten Tanah Air. Meski baru berdiri dua tahun, AKKIndo merupakan wadah yang berisikan orang-orang profesional di bidang digital, seperti digital content, copy writer, dan desainer.
Tantangan
Namun, tantangannya, para kreator konten harus mampu menampilkan keunikan, agar nantinya konten bisa bernilai jual atau dikomersialisasikan. Tantangan lainnya, karena tidak ada pengawasan langsung, kreator konten dituntut untuk bertanggung jawab penuh.
Sebab, konten yang ditampilkan di media sosial tentu akan mencerminkan kualitas dan bobot si kreator pula.
Jenda menyarankan, kreator konten juga selayaknya paham betul produk yang mau diiklankan. Misalnya, harus mengerti aturan dari lembaga negara seperti BPOM jika mau membuat konten produk kosmetik, alat kesehatan, dan kecantikan.
Untuk mewujudkan tatanan profesi content creator yang baik, Asosiasi Konten Kreator Indonesia menilai, pentingnya regulasi dari pemerintah. Aditya ternyata sedikit berbeda pandangan dengan Pengamat Ekonomi. Menurutnya, tidak perlu buru-buru mengeluarkan aturan. Ia hanya berharap ada beberapa aspek yang diatur ke depannya, seperti perizinan dan standar bagi SDM kreator konten Indonesia, serta pedoman dan edukasi sebelum menyebarluaskan konten melalui saluran publik.
Di satu sisi, ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Pertama, pentingnya mendata masyarakat yang beralih ke sektor informal atau self-employee. Kedua, mengembangkan daya saing SDM industri kreatif, termasuk para freelancer dan kreator konten.
Namun, sampai artikel ini diturunkan, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas, Amich Alhumami, tidak menjawab arah kebijakan dan prioritas pembangunan SDM RI ke depannya. Utamanya, strategi untuk menangani fenomena shifting pekerja ke sektor informal, dan upaya untuk mendongkrak daya saing SDM digital.
Selain itu, Amich juga tidak menjawab alokasi pagu yang disiapkan Kementerian PPN/Bappenas untuk pengembangan SDM generasi muda di sektor kreatif dan digital.