02 September 2025
16:05 WIB
CSIS: Anggaran Program Prioritas Pemerintah Tidak Efektif
CSIS menegaskan dampak program prioritas pemerintah dengan anggaran besar seperti MBG maupun Koperasi Merah Putih hingga saat ini masih tidak efektif. Adapun perencanaannya tidak mendesak.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menegaskan, dampak program-program prioritas pemerintah dengan anggaran besar seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga saat ini masih tidak efektif. Adapun perencanaan maupun penyediaan anggarannya tidak mendesak.
"Program-program mahal prioritas pemerintah dan dampaknya hingga saat ini masih tidak efektif atau tidak mendesak, itu tetap dijalankan. Misalnya, MBG itu naik dari Rp107 triliun menjadi Rp335 triliun, dan dia (MBG) menguasai 44% dari anggaran pendidikan," ungkap Deni dalam media briefing di Jakarta, Selasa (2/9).
Baca Juga: Krisis Legitimasi Fiskal Picu Demo, CSIS: Pemerintah Terlihat Boros
Selain MBG, anggaran belanja untuk pertahanan, keamanan, dan ketertiban juga dinilai mengambil porsi besar. Pasalnya, anggaran ini menguasai sekitar Rp565 triliun atau hampir 19% dari belanja pemerintah. Padahal, kondisi saat ini tidak mendesak.
Deni mengatakan, permasalahan yang disorot saat ini adalah bagaimana anggaran itu dibelanjakan. Lantaran, pertanggungjawaban serta transaparansinya masih tidak jelas hingga kini.
"Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu untuk membeli alat-alat yang baik, yang prefer dalam modernisasi angkatan pertahanan atau kepolisian kita, atau malah itu menjadi alat untuk memukul rakyatnya sendiri," imbuhnya.

Selain itu, bantuan modal untuk Koperasi Desa Merah Putih yang anggarannya sekitar Rp3 miliar per unit untuk 80 ribu unit koperasi yang dibangun, tak lepas dari sorotannya. Hal itu dikarenakan hingga hari ini kejelasannya masih abu-abu, mencangkup lokasi tempat, anggota, dan lainnya.
Di tengah hal itu, Deni melanjutkan, gaji dan tunjangan pejabat DPR terus merangkak naik. Dia menggarisbawahi, anggaran gaji dan tunjangan pejabat DPR di 2024 sebesar Rp5,9 triliun, namun kemudian melonjak naik jadi Rp9,9 triliun di 2025-2026.
Sebagai contoh, Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) menyorot, alokasi gaji dan tunjangan anggota DPR RI berdasarkan DIPA 2025 mencapai lebih dari Rp1,6 triliun untuk 580 anggota.
Jika dirata-ratakan, setiap anggota menerima sekitar Rp2,8 miliar per tahun atau lebih dari Rp230 juta per bulan. Adapun, gaji dan tunjangan yang stabil di atas Rp1 triliun dalam tiga tahun terakhir menegaskan bahwa fungsi representasi DPR berubah menjadi beban fiskal rakyat.
Ironis, saat pemerintah melakukan efisiensi besar terhadap anggaran publik di 2024-2025, anggota DPR malah memperoleh tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan per orang.

TKD Melorot
Permasalahan berikutnya, Deni juga mencermati efek prioritas anggaran, yang menyebabkan anggaran Transfer Ke Daerah (TKD) jadi menyusut.
Baca Juga: Tak Sampai 20%, DPR Minta Perbaikan Distribusi Anggaran Pendidikan
Adapun, anggaran dana TKD dalam APBN 2025 sudah terpangkas sebesar Rp50,59 triliun akibat kebijakan efisiensi. Hal ini berlanjut di tahun depan, pemerintah mengusulkan alokasi TKD dalam RAPBN 2026 sebesar Rp650 triliun, atau turun 24,7% dibandingkan outlook TKD 2025 yang sebesar Rp864,1 triliun.
"Akibatnya dengan kapasitas fiskal yang terbatas di daerah, mau enggak mau pilihannya, misalnya pemerintah daerah menaikkan PBB, dan itu menjadi beban tambahan bagi masyarakat," tegas dia.

Di sisi lain, pemerintah justru berencana akan menaikkan iuran BPJS yang disinyalir makin memberatkan masyarakat. Secara keseluruhan, Deni menekankan, permasalahan yang saat ini masyarakat rasakan adalah keadilan dan tekanan hidup yang mengancam perekonomian dan demokrasi Indonesia.
Karena itu, menurutnya, pemerintah tidak perlu heran dengan gelombang protes yang terjadi belakangan, karena merupakan bentuk penolakan atas ketimpangan dan kontrak sosial yang makin timpan dan tak adil.
"Singkatnya, protes-protes ini merupakan akumulasi keresahan atas kesulitan hidup yang kian mencekik dan kekecewaan atas negara yang hari ini terasa kian abai. Rakyat merasa dikhianati karena elit politik tampil arogan dan tidak peka, tuli," tegasnya.