14 Juni 2024
20:47 WIB
Clarion Etnika, Bangga Menjaja Karya Seni Tanah Borneo
Sederet jalan terjal menghadang Lidya Kristina untuk menduniakan kerajinan dari Tanah Borneo lewat Clarion Etnika.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
| Kerajinan tangan tas Rotan dari Clarion Etnika Borneo Ethnic, Kalimantan. Sumber: Instagram/clarion_ etnika |
JAKARTA – Wilayah Indonesia membentang dari Sabang hingga Merauke, terbagi dalam 38 provinsi dengan ciri khas dan keunikannya sendiri. Termasuk soal kebudayaan dan karya seni.
Tak heran, banyak jenis kerajinan tangan yang lekat dengan unsur budaya daerah masing-masing. Di antara yang dominan dan dikenal internasional adalah batik yang beberapa daerah memiliki elemen budaya ini. Ada batik dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon yang masing-masing memiliki kekhasan.
Kekayaan budaya ini bukan saja ada di Pulau Jawa. Kalimantan juga punya segudang kebudayaan yang perlahan tapi pasti mulai dieksploitasi untuk menghasilkan nilai ekonomi. Sayangnya, tak banyak produk kerajinan Kalimantan yang dipasarkan luas.
Hal itu mendorong Lidya Kristina (40) untuk menjadikan kerajinan berbau Tanah Borneo sebagai ladang penghasilannya, sekaligus memperkenalkan produk Kalimantan ke pasar yang lebih luas. Lidya mengaku, ada passion yang tumbuh dalam dirinya sedari dulu mengenai kebudayaan Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Dia mengungkapkan ada rasa bangga kala menggunakan aksesoris seperti kalung ataupun gelang bernuansa Pulau Kalimantan.
”Ke manapun saya pergi, selalu saya bawa (aksesoris), terutama dari Kalimantan Tengah. Jadi, saya merasa unik dan banyak juga yang tahu saya mencari keunikan dari kebudayaan,” ucapnya saat dihubungi Validnews dari Jakarta, Sabtu (8/6).
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bergerak di bidang kepariwisataan itu menceritakan awal mula komersialisasi kerajinan Kalimantan terjadi pada tahun 2013 silam. Kala itu, dia mendapat kesempatan membuka toko di salah satu destinasi pariwisata dengan tingkat kunjungan yang cukup ramai.
Bukan hanya aksesoris, seperti tas atau gelang dan kalung, dia juga menjual baju hingga kain daerah di toko tersebut. Pokoknya, sambung Lidya, ingin memperkenalkan kebudayaan Kalimantan yang dituangkan lewat beragam jenis produk.
”Saya berpikir tidak menjual aksesoris saja, tetapi juga saya campur dengan baju. Apapun lah yang cepat laku,” tambah Lidya.
Dirinya harus merogoh kocek cukup dalam untuk memulai bisnis yang kemudian diberi nama Clarion Etnika tersebut. Mulanya, dia mengambil pinjaman sebesar Rp25 juta. Namun setelah dilihat-lihat kurang cukup, dia kembali mengambil pinjaman Rp100 juta setelah tagihan pertama ia lunasi.
”Pas saya keluarkan ternyata kok sedikit sekali. Jadi setelah setahun pertama lunas, waktu itu saya coba lagi Rp100 juta,” terangnya.
Komersialisasi kesenian khas dari Borneo dilakukan mengingat ada ceruk pasar yang besar untuk produk kerajinan. Di sisi lain, belum banyak pengrajin atau pengusaha yang memanfaatkan ceruk pasar tersebut.
”Mungkin ada (pengrajin) yang berjualan tapi dari rumah ke rumah. Seperti musiman gitu, kadang ada dan kadang hilang,” kata Lidya.
Berdayakan Pengrajin
Meski punya ketertarikan dan passion yang kuat akan produk kerajinan dari Kalimantan, Lidya mengakui tak ada bakat untuk memproduksi beragam kerajinan itu seorang diri. Tak ayal, dia harus turun gunung mencari pengrajin di desa-desa yang biasa menggarap kerajinan tetapi belum punya akses untuk menjualnya. Salah satunya adalah batik tulis dari Kalimantan yang dia tampung dari seorang pengrajin yang tidak paham bagaimana memasarkan produknya.
"Secara spesifik memang saya mencari UKM-UKM, bukan usaha besar. Mereka industrinya misal batik tulis, rumahan, dan belum terkenal. Artinya produk mereka bagus, tetapi tidak banyak yang tahu,” tuturnya.
Dalam prosesnya, dia menawarkan para pengrajin untuk bekerja sama dengan memanfaatkan toko yang dibangun. Saat mengunjungi pengrajin itu, Lidya mengambil foto produk yang dihasilkan, lalu melakukan tawar menawar harga dengan yang bersangkutan.
”Jadi teman-teman yang punya produk tidak terkenal dan tidak tau cara memasarkan, tugas saya untuk memasarkan. Belakangan memang ada produk dari usaha besar juga yang bisa produksi massal. Meski begitu, saya kurang masuk ke situ karena saya carinya pengrajin kecil,” jabar Lidya.
Selain blusukan ke desa-desa, Lidya juga aktif menyambangi pameran ataupun expo UMKM. Kebetulan, pekerjaannya juga cukup erat berkaitan dengan pameran produk usaha cilik. Pun, ketika toko yang dibangun mulai dikenal, dia berniat aktif ikut pameran. Bahkan, Lidya tak sekadar ikut pameran di sekitar Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, tetapi juga melenggang ke Pulau Jawa.
Beberapa kesempatan untuk mejeng di pameran tak disia-siakan. Beberapa produknya turut diboyong ke Surabaya dan Jakarta untuk dipajang. Kesempatan tersebut juga dia manfaatkan untuk memperluas pasar lewat tukaran pin Messenger BlackBerry Messenger (BBM) dengan pengunjung yang tertarik akan produknya.
”Zaman dulu kan pakai BBM ya, mereka pesan lewat BBM, lalu saya kirim,” ungkap Lidya.

Tantangan
Meski ceruk pasar kerajinan cukup besar, Lidya tak menampik ada sejumlah tantangan yang dihadapinya. Salah satunya, ialah terkait standar kualitas produk yang dibuat oleh pengrajin.
Bagus tidaknya produk yang dihasilkan, para pengrajin tidak membedakan harga. Misalnya, harga dasar dipatok sebesar Rp100 ribu, setiap produk yang mereka hasilkan ditetapkan dengan harga sebesar itu meskipun ada yang kualitasnya kurang baik.
Di lain sisi, bahan baku rotan yang digunakan secara umum tumbuh di hutan dengan sendirinya. Jadi, sulit untuk menetapkan berapa harga yang pas untuk sebuah produk jadi.
"Serba salah juga, tricky juga, karena pasar saya pun bukan kelas atas, tapi menengah ke bawah gitu,” imbuhnya.
Kala produk yang diberikan cukup jelek, sulit bagi Clarion Etnika untuk menjualnya. Pasalnya, pembeli punya wawasan soal baik buruknya kualitas produk, tetapi para pengrajin tidak punya standar kualitas dalam memproduksi kerajinan.
”Kadang kita susah juga jualnya karena pembeli tahu ini kurang bagus. Kita susah juga karena soal standar, mereka (pengrajin) tidak ada standar kualitas,” papar Lidya.
Karena itu, Lidya meminta para pengrajinnya menjaga kualitas produk mereka. Dengan begitu, Clarion Etnika tak mengalami kesulitan untuk menjual produk-produk kerajinan tersebut.
”Tapi agak susah juga kalau kita omongin. Salah-salah nanti tersinggung atau apa, karena mereka pikir yang penting laku, tidak mikir dari sisi kualitas,” terang dia.
Sekadar informasi, saat ini Clarion Etnika memberdayakan sekitar 5-6 orang pengrajin untuk membuat produk kerajinan. Memang belum banyak, karena Lidya juga menemukan tantangan tersendiri dalam memberdayakan pengrajin.
Tantangan tersebut, ialah inkonsistensi para pengrajin. Dalam hal ini, beberapa pengrajin kerap menghilang begitu saja. Alasannya klasik, yakni jarak yang jauh antara lokasi pengrajin dengan titik kumpul Clarion Etnika.
Jalan terjal Lidya untuk sukses membesarkan Clarion Etnika juga datang dari sisi pembeli. Hingga saat ini, dia mengatakan konsumen hanya ingin membeli produk dengan satu kata, yakni murah.
Padahal, industri kerajinan Tanah Borneo belum terbangun sebesar Malioboro di Yogyakarta ataupun Pusat Oleh-Oleh Krisna di Bali. Lidya menyebutkan harga kerajinan Jawa dan Bali bisa bersaing karena ada ekosistem industri yang menjanjikan.
”Sedangkan kita di Kalimantan belum ada industri itu, jadi untuk harga memang tidak bisa diturunkan,” tambahnya.
Terdampak Pandemi
Toko kerajinan milik Lidya Kristina pun tak luput dari pukulan pandemi covid-19. Tak tanggung-tanggung, sejak pandemi menerjang hingga saat ini, toko fisiknya terpaksa tak beroperasi sementara waktu.
Untungnya, sesaat sebelum pandemi covid-19, Lidya sudah mulai merambah ke pasar digital. Tepatnya sekitar 2018-2019, dirinya sudah mulai masuk ke toko-toko online. Sejak itulah, dia meresmikan nama Clarion Etnika yang menjual produk kerajinan khas Kalimantan.
Sebagai gambaran besarnya pukulan pandemi covid-19, Lidya bercerita dahulu dia mampu meraup omzet hingga Rp500 juta per tahunnya. Tetapi sejak pembatasan mobilitas diterapkan pada 2020, tak ada kunjungan ke tempat wisata, praktis Lidya harus menutup tokonya.
”Waktu 2020 mati total tidak ada pembelian, hanya surviving. Lalu tahun 2021-2023 baru rebound lagi, mungkin omzet setahunnya Rp50 juta,” katanya.
Dia juga menceritakan saat ini sektor pariwisata di Kalimantan masih belum pulih seutuhnya seperti Bali ataupun Yogyakarta. Hal tersebut menjadi musabab toko fisiknya tak kunjung beroperasi kembali.
Maka dari itu, hingga kini Lidya mengandalkan toko online untuk membesarkan brand Clarion Etnika yang ia bangun. Beberapa pesanan pribadi juga ia terima dari sejumlah pelanggan tetap.
”Kalau orang lokal, maksudnya yang di tempat saya, itu biasanya mereka hubungi pribadi. Walau toko fisik tidak ada, mereka tetap cari saya,” tandas dia.
Produk Andalan
Saat ini, Clarion Etnika punya 20-30an jenis produk yang dijajakan. Mulai dari kalung manik, kalung batu, kalung rotan, dan lain-lain, termasuk kerajinan bermotif polos.
Biasanya, produk berbahan baku rotan menjadi yang paling diminati oleh konsumen. Sekaligus, produk tersebut menjadi yang paling mahal mengingat skill tinggi yang dimiliki pengrajin, serta jumlah pengrajin rotan yang masih sedikit.
”Produk laris lain itu aksesoris kepala, Lawung. Biasanya, itu ramai kalau ada acara adat, acara formal. Ada saat-saat tertentu juga harus dipakai baik oleh pejabat, PNS, atau orang-orang biasa,” jelas dia.
Lidya mengklaim, nyaris seluruh wilayah Indonesia pernah dijamah oleh Clarion Etnika, dari Papua hingga Sumatra Utara. Sayangnya, sampai saat ini Clarion Etnika belum sekalipun mendapat pesanan dari ujung barat Indonesia, yakni Aceh.
Begitu pun untuk ekspor, diakuinya sejatinya pasar ekspor terbuka lebar untuk produk kerajinan dari Indonesia. Sekali waktu, Lidya pernah mengikuti program ekspor yang diwadahi oleh salah satu platform e-commerce yang kini fitur tersebut sudah dibatasi oleh pemerintah karena satu dan lain hal.
Meski belum pernah rutin melakukan ekspor, beberapa produk Clarion Etnika ternyata sudah sampai ke luar negeri. Hal itu dikarenakan produk Clarion Etnika diboyong oleh keluarga ke luar negeri, mulai dari Uni Eropa hingga Amerika Serikat.
Mendapat informasi terkait besarnya pasar kerajinan Indonesia di negeri orang, semangat Lidya pun terpantik. Beberapa kelas ekspor dia ikuti dengan tekun untuk mempelajari seluk-beluk perdagangan internasional.
Sampai saat ini, dia mengaku kendala yang dihadapi untuk ekspor ialah minimnya wawasan hingga belum menemui peluang mengirim produk ke luar negeri.
”Jadi kadang-kadang ikut juga sih kelas-kelas ekspor yang gratis lewat Zoom Meeting. Tapi masih bingung juga karena kita penjual masih di level lokal. Kalaupun nasional itu kita beruntung karena ada digital ini,” pungkas Lidya Kristina.