25 September 2023
20:22 WIB
Editor: Fin Harini
YOGYAKARTA- Mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak lengkap rasanya apabila pulang dengan tangan kosong. Hampir semua orang membawa oleh-oleh selepas mengunjungi kota yang berpredikat ’istimewa’ itu. Pakaian, makanan, aksesoris, gantungan kunci, hingga makanan, dan lain sebagainya adalah hal lumrah yang dibawa pelancong dari sana.
Biasanya, orang menjadikan bakpia, gudeg, baju lurik, dan celana panjang batik sepulang dari Kota Pelajar. Namun, Hasan Agus Wiratomo (32) mencoba menciptakan opsi buah tangan lain yang bisa dibeli di Yogyakarta.
Mengandalkan skill yang dipelajari semasa kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Hasan menciptakan boneka dari kayu berbentuk bulat. Boneka itu dia lukis dengan motif custom sesuai permintaan konsumen. Ya, mulanya Hasan menjalankan bisnis boneka itu sesuai dengan orderan dari pelanggan, bukan menyediakan produk yang ready stock.
Hasan sendiri fokus menekuni teknik perpatungan saat berkuliah di ISI. Dia mengajak rekannya yang fokus mempelajari seni lukis untuk melukis di media boneka kayu. Akhirnya, berdirilah Modus pada tahun 2016.
”Kami diskusi untuk bikin usaha apa yang pas dikerjakan berdua. Setelah cari-cari di Pinterest, boneka Jepang yang dari kayu lalu dilukis. Wah, ini bisa dicontoh,” ujar Hasan saat berbincang dengan Validnews lewat sambungan telepon, Jumat (22/9).
Pasar yang dia incar pun dari wisuda hingga pernikahan. Beberapa kali, dia menjajakan boneka ciptaannya pada ajang wisuda di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
”Kita jual di UGM, UNY, saat wisuda. Kalau di ISI tidak jualan karena mereka (mahasiswa) yang bikin sendiri souvenir-nya,” candanya.
Modal mendirikan Modus pun tak membuat dompetnya menangis. Kala itu Hasan hanya merogoh Rp50 ribu untuk memulai bisnis. Wajar saja, dia hanya membeli limbah kayu yang masih layak pakai untuk diolah menjadi boneka, lalu dicat dengan peralatan yang sudah dimiliki sebelumnya.
"Cat-nya kita sudah ada modal duluan, sudah punya karena kita melukis juga. Jadi, modalnya skill aja," tutur dia.
Sayang seribu sayang, Hasan yang tidak pernah menekuni ilmu perbisnisan mendapat kendala yang amat berat, yakni pada faktor pemasaran. Dia mengakui bahwa kedua pendiri Modus ialah 'orang produksi', yang notabene hanya fokus pada skill menciptakan produk, bukan menjual produk.
"Kesulitannya lebih ke penjualan dan pemasaran gitu karena keduanya orang produksi," kata Hasan.
Rebranding
Tak sampai kendala pada faktor pemasaran, hadirnya pandemi covid-19 di Indonesia tahun 2020 lalu membuat Hasan dan temannya menyudahi perjalanan Modus, jenama yang baru menapaki langkah di dunia perbuahtanganan Yogyakarta.
Modus sudah usai, tetapi perjalanan bisnis Hasan Agus Wiratomo tak bisa dihentikan oleh pandemi. Pada 2020 itu, dia melakukan rebranding Modus dengan nama Citramata dan produk yang tidak berbeda jauh. Hanya saja kali ini, dia menggunakan motif pakaian adat Indonesia untuk dilukis di boneka kayu.
"Produknya sama, tapi kalau Modus lebih ke custom untuk wisuda, pernikahan, dan belum ada produk yang ready stock," imbuhnya.
Belajar dari pengalaman, Citramata, dia bangun dengan perlahan tapi pasti. Setahun pertama, Hasan tak meletakkan fokusnya untuk menjual produk dengan brand Citramata, melainkan fokus belajar dengan mengikuti kursus atau webinar soal bisnis.
Dia mengakui bahwa sekalipun sudah menggunakan media sosial sebagai alat promosi dan penjualan sejak 2016, masih banyak yang harus dia kulik lebih jauh agar pemasaran bisa dilakukan secara efektif dan membuahkan hasil nyata.
Hasan yang belum sekalipun mengantongi bekal ilmu berbisnis akhirnya memutuskan untuk ikut kelas-kelas online maupun webinar terkait bisnis. Di situ, dia belajar pemasaran, iklan, hingga karakteristik platform e-commerce.
"Sebelum 2020 hanya modal skill, lalu saat pandemi jadi nganggur dan punya banyak waktu untuk belajar bisnis," ucap dia.
Tak hanya mengikuti kursus bisnis, dia juga meletakkan fokus pada tahun pertamanya untuk memperkenalkan brand Citramata dengan mengikuti sederet pameran, hingga bergabung pada komunitas-komunitas UMKM.
Adapun total modal yang dirogohnya untuk melakukan rebranding Modus menjadi Citramata ada di kisaran Rp10 juta.
"Kurang lebih setahun saya ikut webinar, pameran, dan komunitas gitu. Saya gak punya ilmu bisnis karena di kampus diajarkan berkarya bukan untuk berbisnis," ungkap Hasan.

Proses Produksi
Produksi boneka yang dilakukan Hasan dimulai dari pembubutan kayu bekas industri untuk dibentuk sesuai produk yang dijual, yakni bulat. Setelah dibubut, sketsa dibuat, barulah boneka itu dilukis.
"Satu boneka bisa sehari jadi, tapi tidak mungkin hanya satu sehari. Jadi misalnya sehari bisa 10 boneka," tambahnya.
Soal ukuran, umumnya Hasan menjual produk boneka kayu kecil dengan ukuran yang sama. Akan tetapi, beberapa kali dia menggarap boneka dengan ukuran yang sedikit lebih besar.
Namun demikian, ukuran bukanlah faktor yang mempengaruhi proses produksi. Pembuatan boneka kayu dia sebut justru lebih memakan waktu pada proses melukis mengingat butuh tingkat ketelitian yang tinggi.
"Harus dilukis satu-satu, teliti, dan detail. Paling lama ya itu proses lukisnya," jelas Hasan.
Hanya saja, Hasan beberapa kali menemui kendala produksi dari bahan kayu. Kendala itu, dia temukan ketika kondisi kayu yang masih basah akan mengeluarkan getah atau flek coklat pascaproses pelukisan.
Soal pasokan bahan, Citramata sudah bekerja sama dengan industri bubut yang menyuplai kayu untuk industri mebel. Dalam kerja sama itu, Citramata mendapat suplai kayu sisa produksi yang masih layak dipakai dan diolah untuk dijadikan boneka.
"Memang pakainya limbah kayu sisa mebel, tapi dipilih yang masih bagus, bisa dipakai. Industri bubut untuk mebel itu kan untuk kerajinan yang besar-besar, nah sisanya yang kecil itu dipakai untuk boneka ini," terangnya.
Berbuah Manis
Setelah melewati lika-liku dan pasang surut perjalanan bisnis, dia mulai bisa merasakan sedikit pil manis. Dari hanya mengincar pasar wisuda atau suvenir pernikahan, Hasan saat ini mulai mengarahkan produknya sebagai buah tangan dari Yogyakarta.
Dari yang awalnya sulit melakukan pemasaran ataupun penjualan, kini Hasan mampu mengantungi omzet di kisaran Rp10 juta-Rp15 juta dalam sebulan.
Bahkan, kini Hasan juga menggaet dua orang mahasiswa ISI Yogyakarta sebagai freelance di Citramata. Menyerap tenaga kerja lepas itu dia lakukan sejak 2021, saat Citramata sudah fokus melakukan produksi setelah mengenalkan brand lewat pameran-pameran dan komunitas.
Taktik dan strategi tentu didapatkan dari ketekunan mengikuti kursus bisnis semasa pandemi. Meski belum memiliki toko fisik sendiri, Hasan saat ini menjajakan produknya dengan 'nebeng' di beberapa titik toko oleh-oleh.
"Pasar kami saat ini nasional dan internasional juga sih karena bernuansa budaya, jadi menarik marketnya itu turis yang datang berwisata ke Indonesia," kata Hasan.
Pengiriman boneka yang dilakukan Citramata pun sudah menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Untuk luar negeri, perjalanan boneka-boneka cilik yang dibuatnya, dibeli oleh wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia.
"Saya ambil dari kampus saya juga karena susah kalau cari orang di luar seni, butuh waktu lama untuk ngajarin melukis. Saya kuliah saja butuh waktu tujuh tahun, kalau ngajarin orang butuh berapa tahun lagi," tuturnya.
Hasan juga mengamini bahwa berbisnis sektor kerajinan, termasuk membuat boneka, masih sangat menjanjikan. Apalagi, bagi anak-anak muda saat ini yang 'katanya' punya jiwa enterpreneur yang tinggi.
"Tapi kuncinya jelas harus berinovasi mengikuti jaman, trennya apa ikuti, jadi tidak ketinggalan. Produk kerajinan handmade ini peluangnya besar ke luar negeri," pungkasnya