22 Juni 2023
12:48 WIB
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memandang, menghadapi tantangan sektor pertanian yang semakin beragam, kebijakan swasembada dalam produksi beberapa komoditas pangan utama semakin tidak relevan untuk ketahanan pangan. Selain itu juga tidak akan dapat menjamin keterjangkauan pangan maupun mendorong diversifikasi pangan seperti yang diharapkan pemerintah
“Banyak faktor dalam produksi dan distribusi pangan domestik yang kurang efisien dan membuat harga pangan menjadi tinggi. Pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada menjadi tidak ideal karena mempertimbangkan banyak, misalnya saja dampak perubahan iklim dan cuaca yang semakin menantang untuk produksi pangan, sementara modernisasi pertanian di Indonesia masih berjalan lambat” ujar Peneliti CIPS Azizah Fauzi dalam keterangan resmi, Kamis (22/6).
Menurutnya, selama masa swasembada beras tersebut, produksi beras Indonesia memang berlebih berkat intensifikasi dan perluasan lahan.
Namun itu dicapai dengan upaya panjang dan pembiayaan besar. Penekanan pada kuantitas juga mengakibatkan rendahnya kualitas beras.
Untuk mencapai ketahanan pangan, ucap Azizah, ketersediaan pangan yang terjangkau juga dapat dicapai dengan kombinasi produksi domestik dan impor atau dengan meningkatkan pendapatan rakyat untuk mendorong daya beli.
"Impor pangan dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan antar masa panen atau ketika harga juga meningkat. Kebijakan perdagangan terbuka untuk pangan dengan demikian akan memungkinkan masyarakat memiliki akses kepada pangan bergizi dengan harga terjangkau," katanya.
Baca Juga: Kerja Sama Kunci Jaga Ketahanan Pangan Daerah Konsumsi
Lebih lanjut, penelitian CIPS menemukan, kesenjangan produktivitas antar wilayah juga belum mampu diatasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produktivitas padi yang dihasilkan di Pulau Jawa lebih tinggi 23 persen dari produktivitas padi di luar Jawa.
Adapun rata-rata produktivitas petani padi pada tahun 2019 di luar Jawa hanya mencapai 45,78 kuintal GKG per hektar, lebih rendah dari produktivitas petani padi di Pulau Jawa yang sebesar 56,42 kuintal GKG per hektar.
Akibatnya, walaupun luas panen padi di luar Jawa berkontribusi pada sekitar 50% dari total luas panen padi nasional yang mencapai 10,68 juta hektar di 2019, kontribusi petani luar Jawa terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 44%.
Kesenjangan produktivitas antara Jawa dan luar Jawa cenderung konsisten selama dua dekade terakhir. Dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional akan sangat signifikan kalau kesenjangan ini diatasi.
Kesenjangan produktivitas pada beberapa komoditas ini hanya contoh, Potensi peningkatan produktivitas dari luar Jawa dapat dipacu lewat penggunaan pupuk dan benih unggul, mekanisasi pertanian, dan juga peningkatan akses dan perbaikan jaringan irigasi.
Baca Juga: FAO: Di 2023, Biaya Impor Pangan Global Akan Naik Menjadi US$1,98 T
Biaya produksi bahan pangan utama lebih tinggi daripada di beberapa negara pengekspor komoditas yang sama, terutama karena mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia.
Menurut CIPS, tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi.
“Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi, dan kesemuanya berdampak pada harga,” ujar Azizah.
Swasembada pangan yang selama ini menjadi fokus pemerintah bukan hal yang mudah dicapai, terutama mengingat banyaknya faktor pada sektor pertanian Indonesia yang tidak mendukung tujuan tersebut.
Kebijakan swasembada pangan dinilai juga akan menghambat dorongan untuk mengonsumsi pangan yang beragam, yang sebenarnya juga merupakan salah satu jalan keluar untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap satu komoditas tertentu dan meningkatkan kecukupan nutrisi masyarakat.