29 April 2021
21:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - CIPS menilai Indonesia berpeluang meningkatkan daya saing industri mamin serta kontribusinya pada penerimaan ekspor, melalui pengendalian kebijakan non-tarif impor.
Penelitian CIPS memperlihatkan industri mamin dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 38,01% pada kuartal IV/2020, masih bergantung kepada impor bahan baku, karena produksi dalam negeri sering kurang secara mutu dan jumlah.
Kepala Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, penerapan kebijakan non-tarif di Indonesia serta adanya pembatasan akses perusahaan ke pasar global dapat mengurangi produktivitas dan daya saing industri mamin.
Kebijakan non-tarif merupakan kebijakan selain tarif yang diterapkan pada perdagangan untuk membatasi aliran barang masuk. Kebijakan tersebut juga akan berdampak pada harga.
"Berhubung pasar pangan internasional adalah salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia, kebijakan non-tarif menjadi salah satu kontributor dari harga pangan yang tinggi,” jelas Felippa dalam webinar, Jakarta, Kamis (29/4).
Pada 2020, setidaknya ada 466 kebijakan non-tarif atas komoditas pangan dan pertanian. Felippa menilai, ketentuan tersebut jelas mempengaruhi industri mamin.
Pihaknya mengakui, kebijakan non-tarif bahan pangan mentah dan pertanian keperluan industri, dimaksudkan untuk memprioritaskan produksi dalam negeri sekaligus meningkatkan nilai tambah.
"Namun, kebijakan proteksionis ini justru tidak efektif dan menghambat pertumbuhan industri," ujarnya.
BPS mencatat, industri mamin merupakan salah satu industri yang tetap tumbuh positif selama pandemi 2020, dengan angka pertumbuhan mencapai 1,66%. Sementara, Kemenperin memperlihatkan industri ini mampu menyerap 4,82 juta pekerja atau 27,6% dari angkatan kerja bidang manufaktur di Indonesia.
Perkuat Posisi Mamin Indonesia
Karenanya, Felippa merekomendasikan penggunaan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor, dalam memperkuat posisi industri mamin Indonesia dalam rantai pasok global.
Penggunaan sistem ini akan menyederhanakan proses impor yang masih berbelit-belit dan tidak transparan. Sejalan dengan penciptaan fleksibilitas yang dibutuhkan importir merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia.
"Selain itu, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan," paparnya.
Rekomendasi selanjutnya, adalah melakukan asesmen pada dampak kebijakan non-tarif atau regulatory impact assessment/RIA. Penelitian CIPS menemukan, perhitungan biaya yang timbul oleh kebijakan non-tarif sulit dilakukan mengingat kompleksitas dan sering tersembunyi di balik detil.
Kementerian teknis di bidang perdagangan, pertanian, dan perindustrian harus melakukan tinjauan komprehensif kebijakan non-tarif yang ada melalui kerangka kerja RIA. Langkah ini dengan melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi dan yang paling terdampak. Hasilnya harus digunakan untuk merampingkan kebijakan non-tarif yang ada.
"Jika kebijakan tersebut ternyata menimbulkan biaya yang lebih besar dan sedikit manfaat, maka kebijakan tersebut harus dihapus. RIA juga harus dilakukan untuk implementasi kebijakan serupa yang akan ada di masa mendatang,” tegas Felippa.
Langkah ini dipercaya akan dapat memastikan akuntabilitas pemerintah atas rancangan kebijakannya dan mendukung proses regulasi yang lebih baik.
“Melalui RIA juga, kebijakan non-tarif masa depan dapat dirancang dengan efek distorsi perdagangan paling kecil pada kuantitas atau harga,” pungkasnya.