c

Selamat

Kamis, 18 April 2024

EKONOMI

25 November 2021

21:00 WIB

CIPS Minta Pemerintah Hilangkan Hambatan Non-Tarif Industri Mamin

Hambatan non-tarif (NTM) melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman Indonesia.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

CIPS Minta Pemerintah Hilangkan Hambatan Non-Tarif Industri Mamin
CIPS Minta Pemerintah Hilangkan Hambatan Non-Tarif Industri Mamin
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di sebuah industri rumahan kawasan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (4/8/2021). ANTARAFOTO/M Risyal Hidayat

JAKARTA – Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta menilai, hambatan non-tarif (NTM) melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman Indonesia. Karena, menimbulkan berbagai biaya tambahan serta menyebabkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.

Hitungannya, hambatan non-tarif untuk produk makanan dan minuman diperkirakan setara dengan tarif sebesar 49%. 

"Dalam survei International Trade Centre, importir juga mengeluhkan maraknya pungutan liar dalam prosedur impor akibat adanya macam-macam hambatan non-tarif,” terang Felippa lewat pernyataan pers, Jakarta, Kamis (25/11).

NTM mensyaratkan dipenuhinya berbagai ketentuan. Seperti label, pengemasan, sertifikasi, serta inspeksi pra-pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga memunculkan keterlambatan impor. 

Dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia yang sekitar lima hari, jauh di atas 1,5 hari di Singapura dan dua hari di Malaysia.

Ketika sedang ramai, proses administrasi, pengecekan, dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Keterlambatan waktu ini memakan biaya, sehingga merugikan importir serta industri.

"Dampak hambatan non-tarif lainnya seperti sistem kuota yang diputuskan melalui rekomendasi Kemenperin dan izin Kemendag, adalah terbatasnya akses kepada bahan baku dari pasar global," terangnya. 

Bahkan, ucap Felippa, beberapa komoditas memiliki tambahan persyaratan. Seperti Permenperin 3/2021, yang membatasi impor bahan baku gula hanya bagi pabrik gula yang didirikan 2010 dan setelahnya, padahal kebanyakan pabrik gula di Indonesia berusia lebih dari 100 tahun.

CIPS mencatat, industri pengolahan makanan-minuman merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan. Industri pengolahan makanan yang menyumbang sekitar 30-40% dari total hasil produksi, mempekerjakan sekitar 20% dari pekerja sektor manufaktur. 

Sementara usaha mikro kecil pengolahan makanan menyediakan 75% dari lapangan pekerjaan industri terkait. 

Untuk investasi domestik pada industri pengolahan makanan terus meningkat, hingga menjadi sektor sekunder terbesar pada 2019. Sektor ini juga menjadi sektor sekunder terbesar ketiga dalam investasi asing (FDI), setelah kimia dan farmasi dan logam dasar.

Data BPS untuk kuartal III/2021 menunjukkan, industri mamin adalah salah satu penyumbang pertumbuhan terbesar di manufaktur, dengan 3,49% (yoy) dan 4,78% (qoq).

Perkuat Industri Pangan Olahan
CIPS juga merekomendasikan penguatan posisi industri pengolahan pangan dengan mengganti sistem perizinan impor bahan baku eksisting, dengan sistem persetujuan otomatis (automatic import licensing system).

Skema perizinan disinyalir akan dapat menghapus keterbatasan akses bahan baku. Sekaligus menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir, untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia. 

"Sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan juga masih diperlukan," terangnya. 

Perlu diterapkan skema penilaian dampak peraturan (Regulatory Impact Assessment/RIA) yang dapat memberi informasi potensi keuntungan dan kerugian suatu kebijakan serta dampaknya pada industri, masyarakat dan ekonomi. Bersama tinjauan berkala atas seluruh kebijakan non-tarif, yang direncanakan maupun sudah berjalan.

"RIA dapat membantu Indonesia memutuskan kebijakan non-tarif mana yang pantas dilanjutkan dan mana yang perlu dihapus, bisa mencegah keluarnya kebijakan non-tarif baru yang semakin menghambat perdagangan, dan membantu perancangan kebijakan non-tarif yang lebih strategis," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar