c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

08 Desember 2022

19:35 WIB

CIPS: Hambatan Non-Tarif Batasi Potensi Industri Mamin Nasional

Pertumbuhan industri makanan-minuman perlu didorong dengan kebijakan yang supportive dan fokus pada ketersediaan bahan baku

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

CIPS: Hambatan Non-Tarif Batasi Potensi Industri Mamin Nasional
CIPS: Hambatan Non-Tarif Batasi Potensi Industri Mamin Nasional
Petugas menggunakan alat berat untuk memindahkan gula pasir impor dalam karung. Shutterstock /Mr. Kosal

JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai, penerapan berbagai hambatan non-tarif atau non-tariff measures dapat membatasi potensi pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) Indonesia.

“Pertumbuhan industri makanan-minuman perlu didorong dengan kebijakan yang supportive dan fokus pada ketersediaan bahan baku,” terangnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (8/12).

Sebagai catatan, pertumbuhan industri mamin di kuartal III/2022 mencapai 3,57%, atau lebih tinggi dari periode yang sama di 2021 yang tercatat 3,49%. Pada kuartal ketiga 2022, industri makanan dan minuman telah berkontribusi sebesar 37,82% terhadap PDB industri pengolahan non-migas, serta menjadi subsektor dengan kontribusi PDB terbesar Indonesia.

Hasran menjabarkan, ada beragam jenis kebijakan non-tarif, seperti kuota impor, sanitary and phytosanitary, persyaratan teknis, inspeksi pra-pengiriman, atau karantina. Selama 2015-2021, jumlah kebijakan non-tarif telah bertambah sebanyak 26%. 

Produk makanan dan minuman paling banyak diatur oleh kebijakan non-tarif dibanding produk lainnya. Penelitian CIPS menyebutkan, hambatan non-tarif telah melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman nasional.

Hal ini disebabkan biaya bahan baku yang menjadi lebih mahal karena menambah biaya pemenuhan persyaratan, seperti ketentuan label, pengemasan, atau sertifikasi. Selain itu, hambatan non-tarif juga meningkatkan biaya prosedur, termasuk karena keharusan inspeksi pra pengiriman di pelabuhan asal. 

“Selain biaya langsung, hambatan non-tarif juga memperlambat proses impor. Hambatan non-tarif sering memakan waktu dan memunculkan keterlambatan impor,” sebutnya.

Asal tahu, dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia bisa mencapai sekitar lima hari, terhitung lebih lama 1,5 hari dibandingkan Singapura dan 2 hari di Malaysia.

Ketika sedang ramai, Hasran melanjutkan, proses administrasi, pengecekan dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Keterlambatan waktu ini memakan biaya, dan jelas merugikan importir serta industri.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpres 32/2022 tentang Neraca Komoditas yang mengatur ketentuan impor 24 komoditas. Termasuk enam komoditas di antaranya berkaitan dengan industri mamin, yaitu gula, garam, daging lembu, beras, perikanan, dan jagung.

Dalam Neraca Komoditas, perusahaan wajib mengajukan kebutuhan impor selama setahun melalui portal data yang sudah ditentukan paling lambat pada September tiap tahunnya. Data seluruh kebutuhan impor akan disesuaikan dengan produksi dalam negeri.

“Kalau produksi dalam negeri mencukupi, maka tidak akan ada impor sama sekali. Bahkan kuota impor yang disetujui, belum tentu sama dengan jumlah yang diajukan oleh perusahaan,” ungkapnya. “Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai transparansi pembagian alokasi tiap perusahaan, dan sering mendapatkan pertanyaan dari pihak perusahaan,” bebernya.

Dirasa Belum Adil
 
Di luar komoditas yang diatur dalam Neraca Komoditas, proses impornya menggunakan ketentuan lama yaitu menggunakan sistem kuota dan rekomendasi dari Kemenperin serta izin Kemendag. Proses ini pun membutuhkan waktu yang lebih lama dan transparansi yang lebih minim dibandingkan sistem Neraca Komoditas. 

Beberapa komoditas bahkan memiliki tambahan persyaratan. Contohnya, dalam Permenperin 3/2021, disebutkan impor bahan baku gula hanya diberikan untuk pabrik gula baru yang didirikan pada 2010 dan tahun-tahun berikutnya.

“Kenyataannya, kebanyakan pabrik gula di Indonesia sudah berusia lebih dari 100 tahun. Sehingga tidak dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dan menjadi kesulitan bahan baku,” ungkapnya.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan proses tinjauan penilaian dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment/RIA) dan tinjauan berkala terhadap seluruh kebijakan non-tarif, baik yang direncanakan maupun yang sudah berjalan. Menurut Hasran, langkah ini juga sudah sesuai dengan pedoman komitmen ASEAN terhadap kebijakan non-tarif. 

RIA dapat memberi informasi potensi keuntungan dan kerugian dari suatu kebijakan, serta potensi dampaknya pada industri, masyarakat, dan ekonomi. Penilaian dengan metode ini juga dirasa dapat membantu Indonesia memutuskan kebijakan non-tarif mana yang pantas dilanjutkan begitu pun yang perlu dihapus.

“RIA juga bisa mencegah keluarnya kebijakan non-tarif baru yang semakin menghambat perdagangan dan membantu perancangan kebijakan non-tarif yang lebih strategis,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar