c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

09 Mei 2025

14:48 WIB

CELIOS: Peta Jalan Pensiun PLTU Bermasalah dan Minim Partisipasi

CELIOS memaparkan sejumlah alasan yang menilai peta jalan pemensiunan PLTU dianggap minim partisipasi dan transparansi.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">CELIOS: Peta Jalan Pensiun PLTU Bermasalah dan Minim Partisipasi</p>
<p id="isPasted">CELIOS: Peta Jalan Pensiun PLTU Bermasalah dan Minim Partisipasi</p>

Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten, Rabu (31/7/2024). Antara Foto/Galih Pradipta  

JAKARTA - Peneliti Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhamad Saleh mengatakan, peta jalan pemensiunan PLTU yang termuat dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 tahun 2025 sejatinya bermasalah, lantaran sangat minim partisipasi dan transparansi.

Berdasarkan survei nasional CELIOS di tahun 2023, ada beberapa elemen yang penting untuk dilibatkan dalam proses penyusunan peta jalan, yaitu BUMN, PEMDA, CSO lingkungan, akademisi, perusahaan, masyarakat, dan sektor perbankan.

"Namun, ternyata proses ini tidak sama sekali melibatkan beberapa aktor yang disebutkan termasuk PEMDA, CSO lingkungan, kemudian masyarakat, sektor perbankan juga tidak pernah diajak untuk bicara penyusunan peta jalan ini. Tiba-tiba dokumennya terbit dan langsung diluncurkan pada tanggal 10 April 2025," ujar Saleh, dalam diskusi studi secara daring, Jumat (9/5).

Baca Juga: IESR Desak Indonesia Harus Suntik Mati 18 PLTU Sampai 2030

Saleh juga mengungkap, sejak lama, sejatinya kalangan masyarakat sipil yang fokus pada isu transisi energi kerap membuka dan mendiskusikan mengenai rencana peta jalan yang dimaksud, bahkan ingin terlibat dalam proses perumusannya.

Sebab itu, setelah melakukan pendalaman terhadap kebijakan yang sudah terbit, Saleh mengaku pihaknya menemukan beberapa permasalahan, terutama mengenai aturan dan mekanisme penutupan PLTU batu bara yang dinilai bermasalah secara logika teknis dan finansial.

Cenderung Menunda Pemensiunan PLTU
Sedikit mengingatkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, yang diklaim sebagai upaya mempercepat Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik demi mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Berangkat dari peraturan tersebut, Saleh mengatakan peta jalan program pemensiunan dini PLTU seharusnya bisa mengakselerasi kebijakan penutupan PLTU secara lebih progresif, dengan mengatur detail waktu dan berbagai mekanismenya.

Namun nyatanya, kriteria yang ditetapkan sebagai bahan pertimbangan memensiunkan PLTU dalam peta jalan yang terbit justru dinilai bertolak belakang dan cenderung berpotensi memperlambat, bahkan membatalkan pemensiunan PLTU dan target transisi energi.

Salah satu kriteria yang paling diperhitungkan dalam peta jalan adalah mengenai fakta bahwa PLTU baru akan dipensiunkan jika ada ketersediaan dukungan pendanaan.

"Sehingga dalam hal ini apabila tidak ada semacam pembiayaan yang bisa dijamin oleh pemerintah terhadap proses penutupan PLTU, maka penutupan PLTU itu tidak akan pernah dilakukan," ujar Saleh.

Baca Juga: Pengamat: Belum Ada Kejelasan Soal Suntik Mati PLTU

Sekadar informasi, setidaknya ada 10 kriteria dan metodologi yang ditetapkan pemerintah dalam memilih PLTU yang akan dipensiunkan secara dini.

Mengkritisi kriteria tersebut, dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah seharusnya tidak perlu menunggu kesediaan dana untuk bisa mempensiunkan PLTU, khususnya terhadap PLTU yang memang sudah berusia tua.

"PLTU-PLTU yang sudah beroperasi sekarang, yang usia-nya sudah sangat tua sebenarnya itu kan nggak perlu menunggu ketersediaan dana, itu nggak perlu menunggu adanya kerjasama internasional, tidak perlu menggunakan APBN," imbuhnya.

Bhima menilai, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kriteria penutupan PLTU bukan berdasarkan pendanaan, melainkan mempertimbangkan kerugian ekonomi yang timbul akibat kerusakan lingkungan dan biaya kesehatan.

"Kerusakan lingkungan biaya kesehatan, ini kelihatannya nggak pernah dihitung menjadi pedoman dalam penyusunan peta jalan, kriteria ini yang seharusnya dipertimbangkan untuk menutup PLTU-PLTU yang sudah jadi beban, terutama dalam transmisi energi di Jawa-Bali," pungkas Bhima.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar