20 Juni 2022
16:11 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan kebijakan penerapan pajak karbon memperkuat komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
"Kebijakan ini akan memberikan dampak pada perilaku pihak industri dan masyarakat untuk menghasilkan dan mengonsumsi produk dengan emisi gas rumah kaca yang rendah," kata Kepala Organisasi Hayati dan Lingkungan BRIN Iman Hidayat dalam Webinar Pajak Karbon, Menuju Era Inovasi dan Investasi Hijau yang diikuti secara virtual di Jakarta, Senin (20/6).
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada aktivitas ekonomi yang mengeluarkan emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup.
Iman menuturkan penerapan pajak karbon dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga makin memperkuat komitmen Indonesia untuk menargetkan emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060 atau lebih awal.
UU HPP akan menjadi landasan bagi penerapan pajak karbon di Indonesia selain peraturan lain yang mengatur pajak karbon sebagai aturan turunan UU HPP.
"Kita perlu mendukung kebijakan ini (pajak karbon) karena ini merupakan kebijakan pemerintah yang memang berorientasi lingkungan," ujarnya.
Dengan penerapan pajak karbon, pelaku usaha di Indonesia akan menjadi lebih berhati-hati dalam mengelola bisnis agar lebih mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengusung ekonomi hijau di dalam mengembangkan industrinya.
Ekonomi hijau sebagai suatu gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara global.
"Dan pada akhirnya kita ingin bahwa lingkungan itu tetap terjaga, kerusakannya bisa kita reduksi," tutur Iman.
Iman berharap penerapan UU HPP akan mampu mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Itu dapat terwujud jika aktivitas industri dan bisnis dapat memberikan dampak signifikan kepada lingkungan dengan mendorong para pelaku industri dan masyarakat untuk seminimal mungkin menghasilkan dan mengkonsumsi produk dengan emisi gas rumah kaca yang rendah.
Selain itu, Iman menuturkan pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang mendorong perkembangan inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Menurut dia, penerapan pajak karbon dan UU HPP juga menjadi kunci untuk mewujudkan ruang hidup yang berkualitas bagi manusia.
"Ruang hidup yang berkualitas ini tidak hanya untuk manusia di Indonesia, namun manusia secara global, mengingat Indonesia memiliki posisi penting dalam pasar karbon dunia," tuturnya.
Diberlakukan 1 Juli
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan pihaknya tengah menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon yang rencananya akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan menerapkan pajak karbon saat regulasi dan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon lebih siap. Rencana semula, pajak karbon akan diterapkan pada 1 April 2022.
“Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal sehingga pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini,” ujarnya lewat rilisnya, Jumat (01/04).
Aturan teknis pelaksanaan pajak karbon dimaksud seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara, aturan teknis lainnya, seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021, antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim,” kata Febrio.