c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

01 Maret 2024

14:35 WIB

BPS: Merosotnya Produksi Beras, Imbas Penurunan Luas Lahan Panen

Di 2023, total luas panen tercatat 10,21 juta ha, turun 0,24 juta ha atau 2,29% dibanding 2022 yang 10,45 juta ha. Penurunan luas di 2023 terjadi di sebagian besar pulau di Indonesia, terutama di Jawa

Penulis: Erlinda Puspita

BPS: Merosotnya Produksi Beras, Imbas Penurunan Luas Lahan Panen
BPS: Merosotnya Produksi Beras, Imbas Penurunan Luas Lahan Panen
Sejumlah petani duduk di pematang sawah sebelum menanam padi di daerah persawahan Desa Batujai, Keca matan Praya Barat, Praya, Lombok Tengah, NTB, Kamis (25/1/2024). Antara Foto/Ahmad Subaidi

JAKARTA – Mahalnya harga beras belakangan, terkait dengan pasokan beras di dalam negeri yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Nah jika ditarik lebih jauh, menurunnya pasokan juga sejatinya merupakan imbas dari penurunan produksi beras karena turunnya luas lahan panen.

Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) M Habibullah menyampaikan, berdasarkan hasil survei sementara Kerangka Sampel Area (KSA), luas panen periode Januari-April 2024 mengalami penurunan 16,48% atau sekitar 0,69 juta hektar (ha) dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Artinya dalam setahun, dari 4,21 juta ha luas lahan panen, berkurang menjadi 3,52 juta ha.

Lebih rinci, untuk potensi luas panen pada Januari-April 2024 yaitu masing-masing per bulan sebesar 0,29 juta ha, 0,48 juta ha, 1,16 juta ha, dan 1,59 juta ha. Dari data yang disampaikan Habibullah, tren penurunan luas panen telah terjadi sejak 2023.

Sepanjang 2023, total luas panen tercatat sebesar 10,21 juta ha. Luasan tersebut turun 0,24 juta ha atau 2,29% dibanding 2022 yang sebesar 10,45 juta ha. Ini terjadi menurut Habibullah karena dampak El Nino yang makin mempengaruhi di semester II-2023.

“Penurunan luas panen tersebut dipengaruhi fenomena El Nino yang menguat pada semester II-2023,” kata Habibullah dalam Rilis Berita Resmi Statistik, Jumat (1/3).

Habibullah melanjutkan, penurunan luas panen padi pada 2023 terjadi di sebagian besar pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Padahal, Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar terhadap panen nasional. Tercatat, luas panen di Pulau Jawa  sebesar 5,34 juta ha (52,30%), menurun 2,75% atau 0,15 juta ha. Kontribusi terbesar kedua selanjutnya disumbang oleh Pulau Sumatra seluas 2,18 juta ha (21,36%).

Kontributor lahan panen lainnya adalah Pulau Sulawesi dengan kontribusi lahan seluas 1,42 juta ha (13,92%), turun 5,17% atau 0,08 juta ha. Pulau penyumbang luas panen selanjutnya adalah Kalimantan seluas 0,60 juta ha (5,91%) yang juga turun 5,43% atau 0,03 juta ha.

Berikutnya Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang berkontribusi seluas 0,58 juta ha (5,69%) yang naik 2,89% atau 0,02 juta ha. Sementara luas panen terendah ada di Pulau Maluku dan Papua yang hanya berkontribusi 0,08 juta ha (0,82%) yang juga turun 2,24% atau 0,00 juta ha.

Sejalan dengan turunnya luas lahan panen padi, Habibullah juga menyampaikan, adanya penurunan produksi gabah kering giling (GKG). Pada 2023 lalu, lahan produksi padi juga menurun dibanding 2022, yaitu turun dari 54,75 ha menjadi 53,98 ha atau turun 0,77 ha (1,40%).

BPS juga mencatat produksi GKG pada 2023 sebesar 53,98 juta ton Jumlah ini mengalami penurunan 1,40% atau sekitar 770 ribu ton dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 54,75 juta ton GKG.

Penurunan produksi padi juga diprediksi terjadi dari survei KSA sementara untuk Januari-April 2024 dibandingkan Januari-April 2023. Turun dari 22,55 ha menjadi 18,59 ha atau berkurang 3,95 ha (17,54%).

Lebih lanjut, penurunan juga disampaikan Habibullah terjadi pada lahan produksi beras. Tahun 2023 juga telah mengalami penurunan produksi beras dibandingkan tahun 2022. Penurunan tercatat sebesar 0,44 ha atau 1,39% dari 31,54 ha menjadi 31,10 ha. Penurunan juga diperkirakan akan berlanjut di Januari-April 2024 dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, yaitu turun 2,28 ha atau 17,52% dari 12,98 ha.



Penurunan Masih Berlanjut
Untuk diketahui, penurunan produksi beras terus terjadi sejak tahun 2018 hingga tahun 2023 meskipun tahun 2022 sempat sedikit naik. Lengkapnya, pada 2018 sebanyak 33.942.865 ton, 2019 sebanyak 31.313.034 ton, 2020 sebanyak 31.496.747 ton dan 2021 sebanyak 31.356.017 ton. Pada 2022, sempat naik menjadi 31.540.522 ton, dan di 2023 kembali turun menjadi 31.101.285 ton atau turun 440 ribu ton atau 1,39%.

"Penurunan produksi beras merupakan konsekuensi dari penurunan luas panen padi dan produksi padi yang terdampak El Nino," ujarnya.

Sementara itu, untuk Januari-April 2024, Habibullah mengatakan jumlah produksi beras pada periode Januari-April 2023 mencapai 12,98 juta ton. Namun, prediksi BPS untuk produksi beras Januari-April 2024 hanya sebesar 10,71 juta ton atau turun 17,52%.

Habibullah merinci, potensi produksi beras di Januari sebanyak 0,86 juta ton. Kemudian, di Februari sebanyak 1,38 juta ton, Maret sebanyak 3,54 juta ton, dan April sebanyak 4,92 juta ton. Meski demikian, untuk periode Maret dan April menurut Habibullah masih berpotensi ada perubahan hasil produksi.

“Angka potensi yang disampaikan itu berdasarkan fase tumbuh. Namun kemungkinan bisa berubah tergantung dinamika dalam dua bulan ke depan. Misal ada kegagalan panen karena cuaca, aka potensi akan terkoreksi. Jadi kami melakukan amatan setiap akhir minggu di bulan berjalan,” kata Habibullah.

Produksi produksi sendiri mengalami penurunan di sebagian besar pulau, terutama Pulau Jawa. Berdasarkan wilayah, provinsi yang mengalami penurunan tertinggi antara lain Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh dan Banten. Namun demikian, terdapat beberapa provinsi yang mengalami kenaikan produksi beras antara lain Jawa Timur, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah dan Lampung.

Habibullah mengatakan, penurunan produksi gabah sendiri, diprediksi masih akan terjadi di periode Januari-April 2024. BPS mencatat potensi produksi pada Januari-April 2024 sebesar 18,59 juta ton GKG, sedangkan periode pada tahun sebelumnya 22,55 juta ton GKG.

Bapanas Yakin Harga Turun
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyatakan saat ini harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mulai berangsur turun menjadi Rp7.100 per kilogram (kg).

"Harga GKP sedang mengalami penurunan secara bertahap sejak minggu kedua Februari 2024. Hari ini harga gabah kering panen di tingkat petani sudah sekitar Rp 7.100 per kilogram,” kata Arief dalam CNBC Ekonomi Outlook 2024 di Jakarta, Kamis.

Dia meyakini apabila harga gabah tersebut sudah turun dari Rp 8.600 per kg ke Rp7.100 per kg dalam dua sampai tiga minggu ke depan, maka harga beras juga akan terkoreksi signifikan. 

"Kalau harga gabahnya Rp 8.000 per kg maka jangan heran harga berasnya Rp 16.000 per kg. Kalau mau harga berasnya Rp 14.000 per kg maka harga gabahnya kurang lebih Rp 7.000 per kg," katanya.

Menurut Arief, beras makin mahal lantaran harga GKP juga mengalami kenaikan. Biasanya, sambung Arief, cara simpel menghitung harga beras yaitu dua kali lipat harga GKP.

Arief menegaskan kondisi harga beras yang mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kenaikan ongkos input produksi seperti pupuk, benih, sewa lahan, upah pekerja, dan lainnya.

“Kenapa harga beras tinggi? Karena 8 bulan terakhir defisit antara produksi dan konsumsi. Kalau lihat tahun 2023 surplus hanya 340 ribu ton, sementara kebutuhan nasional itu 2,5-2,6 juta ton (per bulan). Pada saat produksi demikian persaingan mendapatkan GKP (Gabah Kering Panen) berebut di tingkat petani," ujar Arief.

Bapanas memprediksi harga beras akan mengalami pengoreksian signifikan dalam dua hingga tiga pekan ke depan mengacu pada harga GKP di tingkat petani yang sudah mengalami penurunan.

Arief menyebut berdasarkan data panel harga pangan Bapanas per 28 Februari 2024, rata-rata harga GKP tingkat petani berkisar Rp7.120 per kg, sedangkan harga rata-rata beras premium di tingkat konsumen berkisar Rp16.770 per kg, dan beras medium di tingkat konsumen berkisar Rp14.480 per kg.

Lebih lanjut, Arief menyampaikan Bapanas telah menetapkan stok beras minimal yang dikelola Perum Bulog di 1,2 juta ton. Bahkan Presiden Joko Widodo meminta stok terus diperkuat hingga mencapai 3 juta ton.

Dengan adanya stok Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) yang mumpuni, pemerintah akan leluasa dalam melaksanakan program intervensi demi stabilisasi pangan. Penguatan stok CPP tentunya tetap harus mengutamakan produksi dalam negeri.

Di tempat yang sama Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krishnamurti mengharapkan bahwa panen raya Maret 2024 dapat memberikan optimisme terhadap perbaikan stabilitas kondisi perberasan.

"Saat ini (beberapa wilayah) di Kendal, Sragen, Demak, Indramayu, dan OKU (Ogan Komering Ulu) di Sumatra Selatan sudah mulai panen dan barangnya (beras) mulai banyak. Indikasinya semakin kuat misalnya di Pasar Induk Johar di Karawang penuh dengan truk-truk berisi beras. Ini harga beras cenderung turun," kata Bayu.

Bayu menegaskan bahwa hal yang paling utama menjaga ketersediaan pangan di pasaran yakni dengan tetap menyediakan stok sehingga tidak terjadi kelangkaan pasokan, terutama dalam menghadapi Ramadan dan Idulfitri 1445 Hijriah.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar