c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

26 Februari 2025

18:51 WIB

BPKN: Dugaan Pengoplosan Pertamax Mencederai Hak Konsumen

Konsumen/ masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan class action, seperti diatur dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)

<p>BPKN: Dugaan Pengoplosan Pertamax Mencederai Hak Konsumen</p>
<p>BPKN: Dugaan Pengoplosan Pertamax Mencederai Hak Konsumen</p>

Ilustrasi. Pengendara roda dua mengisi bahan bakar minyak di SPBU MT Haryono, Jakarta, Rabu (3/4/2024). ValidNe wsID/Darryl Ramadhan

JAKARTA - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) Mufti Mubarok mengatakan bahwa jika dugaan pengoplosan minyak RON 90 Pertalite menjadi RON 92 Pertamax terbukti benar, hal tersebut melanggar Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasalnya perilaku tersebut menyebabkan hak konsumen terpinggirkan.

“Yang mana hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,” ujar Mufti di Jakarta, Rabu (26/2). 

Terkait kerugian yang dialami konsumen, dia menjelaskan, konsumen/masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Gugatan dapat diajukan secara bersama-sama (class action) karena konsumen mengalami kerugian yang sama.

Bahkan, secara UU, pemerintah/ instansi terkait pun dapat turut serta melakukan gugatan karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit. Karena itu, BPKN mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada para pelaku.

Pihaknya juga meminta Pertamina untuk bersikap transparan dalam memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada konsumen, mengenai kualitas produk bahan bakar yang dijual. Termasuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen akibat dugaan praktik pengoplosan.

Selain itu, juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan distribusi bahan bakar untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.

“BPKN siap membuka diri bagi konsumen yang ingin melaporkan atau berkonsultasi terkait masalah ini. Kami siap memberikan pendampingan dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya,” ujar Mufti.

Apabila dugaan kasus ini benar, lanjutnya, maka konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, tetapi malah mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah. 

“Selain itu juga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,” ujarnya.

Kemudian, apabila dugaan itu benar, maka konsumen telah memperoleh informasi yang palsu dan menyesatkan, karena label RON 92 pertamax yang dibayarkan, namun ternyata mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah.

Bentuk Tim
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan akan membentuk tim, untuk memberi kepastian spesifikasi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini sebagai respons dari keresahan masyarakat soal kualitas BBM Pertamax yang diduga hasil oplosan BBM jenis Pertalite.

“Kami akan menyusun tim dengan baik untuk memberikan kepastian agar masyarakat membeli minyak berdasarkan spesifikasi dan harganya,” ucap Bahlil ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (26/2). 

Terkait dengan pembelian RON 90 dan RON 92, Bahlil menyampaikan pentingnya perbaikan penataan terhadap izin-izin impor BBM. Saat ini, kata dia, Kementerian ESDM membenahinya dengan memberi izin impor BBM untuk 6 bulan, bukan satu tahun sekaligus.

“Makanya sekarang, izin-izin impor kami terhadap BBM tidak satu tahun sekaligus. Kami buat per enam bulan, supaya ada evaluasi per tiga bulan,” imbuhnya.

Selain itu, produksi minyak yang tadinya diekspor, Bahlil menyampaikan tidak akan lagi diizinkan untuk mengekspor agar minyak mentah yang diproduksi diolah di dalam negeri. 

“Nanti yang bagus, kami suruh blending. Nanti yang tadinya itu nggak bisa diolah di dalam negeri, sekarang kami minta harus diolah di dalam negeri,” ucap Bahlil.

Pernyataan tersebut merespons keresahan masyarakat akibat ramainya pemberitaan terkait BBM jenis Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax.

Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan, dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah. RON 90 tersebut kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

Kabar tersebut diungkap menyusul pengungkapan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Kasus tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

Bantahan Pertamina
Atas hal tersebut, PT Pertamina (Persero) membantah kabar adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dioplos dengan BBM jenis Pertalite. Pertamina memastikan Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

“Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” ucap Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso Fadjar di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (25/2).

Senada, Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo menyebutkan, penambahan zat aditif pada bahan bakar minyak (BBM) Pertamax atau RON 92 bersifat untuk meningkatkan performa.

"Penambahan-penambahan aditif tersebut adalah sifatnya untuk menambah value dari performansi produk-produk tersebut. Skema ini juga sama dengan badan usaha yang lain," ujar Ega di Jakarta, Rabu.

Penambahan zat aditif pada BBM umum dilakukan untuk meningkatkan performa mesin kendaraan, baik itu bensin maupun solar. Ega mengatakan, RON 92 yang dijual oleh Pertamina telah sesuai dengan spesifikasi. Penambahan zat ini, bertujuan sebagai antikarat, detergensi agar mesin menjadi lebih bersih dan membuat ringan kendaraan.

"Jadi tidak betul bahwa Pertamax ini adalah produk oplosan, karena kita tidak melakukan hal tersebut," tuturnya.

Dia juga menegaskan, terminal-terminal penyimpanan di Pertamina Patra Niga tidak memiliki fasilitas blending untuk produk gasoline. "Yang ada adalah fasilitas penambahan aditif dan pewarna. Nah, ini menjadi salah satu hal yang ingin kami konfirmasi," ucap Ega.

Lebih lanjut, kata Ega, Pertamina Patra Niaga dan badan usaha lainnya diawasi oleh pemerintah baik secara distribusi maupun kualitas. Selain itu, sampling dari BBM milik Pertamina Patra Niaga juga secara rutin dilakukan pemeriksaan oleh pihak independen.

Dia mengimbau kepada masyarakat untuk selalu membeli BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) resmi agar terjamin kualitasnya.

Sebelumnya diberitakan, Pertamina Patra Niaga menegaskan tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari memastikan kualitas Pertamax sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.

"Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Heppy melanjutkan perlakuan yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat.Selain itu, juga ada injeksi aditif, yang berfungsi untuk meningkatkan performa produk Pertamax.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar