10 Juli 2023
18:01 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ketua Umum Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Jateng-DIY) Gunadi Broto Sudarmo menyampaikan keluh kesahnya kepada Komisi VII DPR terkait kerugian yang dialami oleh pemilik maupun pengusaha Pertashop.
Kerugian itu, kata Gunadi, pertama kali disebabkan oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan melonjaknya harga minyak mentah dunia. Hal itu ia sebut berdampak pada disparitas harga antara BBM jenis Pertamax dan Pertalite.
Dengan disparitas harga itu, omzet pengusaha Pertashop di Jawa Tengah dan DIY ia sebut mengalami penurunan drastis hingga 90%. Bahkan, ada 201 dari 448 Pertashop di Jateng dan DIY yang merugi.
"Pertashop yang tutup juga merasa terancam untuk disita asetnya karena tidak sanggup untuk angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan," tutur Gunadi dalam Audiensi bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (10/7).
Baca Juga: Cegah Kelangkaan BBM Di Pelosok, ESDM Minta Pertashop Diperbanyak
Gunadi menceritakan pada Januari-Maret 2022 lalu, penjualan rata-rata Pertashop di Jateng dan DIY berkisar dari 30 ribu-38 ribu liter per bulan ketika harga Pertamax masih Rp9.000. Namun saat disparitas harga dengan Pertalite semain melebar, rata-rata penjualan bulanan anjlok hingga 16 ribu liter per bulan.
"Di harga Rp12.500, omzet (penjualan) hanya 16 ribu liter per bulan. Berlanjut ada fluktuasi harga ke Rp14.500, Rp13.900, sampai saat ini omzet Pertashop belum bisa kembali seperti saat harga Pertamax Rp9.000," sambungnya.
Pada akhir 2022, jumlah Pertashop dengan penjualan kurang dari 200 liter per hari pun mencapai 47%. Artinya, Pertashop yang penjualannya tidak mencapai 200 liter per hari, dia sebut merugi karena kebutuhan operasional.
Dia mencontohkan jika penjualan 200 liter per hari, per bulan tercapai hanya 6 ribu liter. Dengan margin Rp850, laba kotor Pertashop hanya Rp5,1 juta, sedangkan ada kebutuhan gaji operator Rp4 juta untuk dua orang, iuran BPJS, dan lain sebagainya.
"Itu belum untuk kewajiban ke bank. Belum lagi, disparitas harga membuat peluang atau dimanfaatkan oleh sekelompok orang lain, kami menyoroti penjualan Pertalite di pengecer atau pertamini," kata dia.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Peribahasa itu agaknya cocok untuk menggambarkan kondisi bisnis Pertashop dewasa ini. Gunadi menegaskan bahwa kehadiran pengecer Pertalite sangat mengganggu pebisnis Pertashop di desa-desa.
Bagaimana tidak, mereka (pengecer) berani untuk mematok margin di kisaran Rp2.000-Rp2.500 per liter Pertalite yang dijual. Apalagi, pengecer tidak punya kewajiban lain layaknya lembaga penyalur legal yang marginnya hanya Rp850 per liter Pertamax.
"Dapat untung lebih kecil, tapi semua kewajiban resmi seperti pajak dan pungutan legal lain tetap jadi kewajiban kami. Ironis memang pengecer bisa tegak berdiri di depan Pertashop," tutur Gunadi sambil menayangkan foto pengecer Pertalite di depan Pertashop miliknya.
Jenis Pertashop
Asal tahu saja, Pertashop terdiri atas tiga jenis, yakni Gold, Platinum, dan Diamond. Untuk Pertashop Gold, pengusaha harus membeli paket seharga Rp250 juta dengan margin penjualan Rp850 per liter, Pertashop Platinum Rp417 juta dengan margin Rp600 per liter, dan Pertashop Diamond sekitar Rp570 juta dengan margin Rp435 per liter.
"Tapi secara keseluruhan, modal untuk Pertashop Gold itu bisa Rp600 juta dan bukan murni modal sendiri. Kebanyakan pendiri atau pemilik menggunakan fasilitas KUR dari bank-bank BUMN ataupun BUMD," tambah Gunadi.
Baca Juga: Pertamini Bukan Pertamina
Gunadi pun memohon agar Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM segera disahkan guna memantau penyaluran Pertalite di tingkat pengcer atau pertamini.
Pasalnya, hingga kini belum ada ketentuan khusus yang mengatur soal penyaluran Pertalite secara detil. Bedanya dengan Biosolar, BBM jenis tersebut sudah tertata dan jelas peruntukannya.
"Biosolar itu sudah pasti di sana konsumennya siapa saja sudah tertata. Tapi untuk Pertalite, masih banyak pelat merah, BUMN, BUMD, hingga TNI/Polri yang ternyata masih menggunakan BBM jenis Pertalite," pungkas dia.