31 Januari 2024
16:19 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) mematok suku bunga tinggi untuk menekan inflasi. Akibatnya, tren suku bunga tinggi terjadi sepanjang tahun 2023.
Kendati demikian, bergantinya tahun, banyak pihak memprediksi era suku bunga tinggi bakal berakhir.
Salah satunya Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI (BBRI) Sunarso yang memprediksi pada akhir kuartal II/2024 The Fed bakal menurunkan suku bunganya.
Seiring dengan hal itu, Sunarso juga berharap bahwa Bank Indonesia (BI) bisa ikut menurunkan suku bunganya.
"Kemarin kita selama satu tahun dihantui dengan istilah higher for longer. Nah, for longer-nya tuh sampai kapan? Kita harap jangan terlalu longer lagi. Kemudian diprediksikan bahwa kira-kira sampai akhir quarter II/2024, kemungkinan kita berharap pada penurunan Fed Rate," ungkap Sunarso dalam konferensi pers virtual, Rabu (31/1).
Baca Juga: BRI Targetkan Penyaluran KUR Rp165 T Rampung Pada September 2024
Dengan demikian, bila benar penurunan suku bunga akan terjadi setelah kuartal II/2024, Sunarso mengatakan, Indonesia akan kembali ke era suku bunga rendah dan normal.
"Pasti untuk first half 2024 ini kita masih akan bicara dengan likuiditas yang masih menantang dan kemudian suku bunga yang masih tinggi. Tapi, harapan kita adalah bahwa nanti setelah lewat satu semester mudah-mudahan kita bisa mulai memasuki ke era suku bunga rendah atau normal kembali," sebut Sunarso.
Oleh karena itu, ke depan BRI akan terus membuka ruang penyesuaian suku bunga, baik pinjaman maupun simpanan. Tentunya, hal itu dengan mempertimbangkan banyak faktor. Mulai dari biaya dana, persaingan antarbank, hingga kondisi perekonomian.
Cost of Fund
Selain itu, cost of fund BRI pada tahun 2024 juga diproyeksikan masih akan meningkat. Hal itu seiring dengan kenaikan benchmark rate dan ketatnya likuiditas pada periode tahun sebelumnya.
"Cost of fund ini masih akan kita kelola dengan baik dan secara konsisten kita menerapkan strategi just right liquidity untuk menjaga likuiditas di level yang optimal. Artinya, tidak kelebihan likuiditas karena likuiditas lagi mahal. Tapi, juga tidak kekurangan likuiditas untuk tetap bisa mendorong pertumbuhan, terutama pertumbuhan kredit," jelasnya.
Sunarso memberikan contoh selama masa pandemi covid-19, likuiditas tersebut berlebih di pasar. Walaupun begitu, BRI mampu mengoptimalkannya dengan mengubah struktur penataan yang berfokus pada rasio dana murah atau Current Account Saving Account (CASA).
Baca Juga: Buka 2024, BI Pertahankan BI Rate 6,00%
Pada saat itu, beberapa deposito-deposito yang mahal perseroan tinggalkan. Kemudian hasilnya CASA BRI meningkat dan cost of fund menjadi lebih baik.
"Jadi dalam situasi seperti apapun BRI akan menerapkan secara konsisten strategi yang kita sebut just right liquidity. Artinya kita tidak akan menumpuk likuiditas yang berlebihan yang kita tidak bisa menyalurkan, tapi juga kita tidak akan membiarkan kita kekurangan likuiditas supaya kita bisa tetap terus tumbuh secara optimal," pungkas Sunarso.