c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

17 Maret 2023

08:00 WIB

Bos BI Beberkan Penyebab Kejatuhan SVB

BI menyebutkan terdapat tiga risiko utama yang jadi penyebab kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) dan dua bank lainnya.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Bos BI Beberkan Penyebab Kejatuhan SVB
Bos BI Beberkan Penyebab Kejatuhan SVB
Ilustrasi logo Silicon Valley Bank di kantor pusat bank komersial berteknologi tinggi di San Francis co Selatan. Shutterstock/Michael Vi

JAKARTA - Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kejatuhan tiga bank menengah di AS yakni Silvergate Bank, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank terjadi akibat funding atau pendanaan serta aset yang dikelola memiliki risiko cukup tinggi saat ini. 

Perry menekankan, dari sisi funding model bisnis ketiga bank ini tergolong tidak stabil dan sangat rentan. Pasalnya, deposit funding-nya terkonsentrasi pada deposan besar yang sekitar 93%-nya berada dalam klaster yang sama, yaitu startup maupun financial technology.  

Padahal, seperti diketahui, perusahaan rintisan maupun financial technology pada umumnya tengah menghadapi badai teknologi besar.

“Deposan besar (dengan) karakteristik yang sama ini rentan terhadap funding,” jelasnya menjawab pertanyaan wartawan, Jakarta, Kamis (16/3).

Sementara dari sisi aset, lanjutnya, ketiga bank ini sebagian besar menempatkan dananya dalam surat-surat berharga, khususnya yang diterbitkan pemerintah. Memang, Perry akui, risiko kredit atau default risk memegang surat berharga cukup rendah.

Hanya saja yang menjadi isu, ia tekankan, valuasi surat berharga yang dipegang oleh ketiga bank ini menjadi berisiko karena sebagian besarnya merupakan available for sale (AFS). Akibatnya, surat berharga yang dimiliki terkena mark to market valuasinya.

Baca Juga: LPS: Perbankan RI Tak Ada yang Miliki Karakteristik Seperti SVB

Adapun ketiga bank ini disinyalir hanya memiliki sangat sedikit surat-surat berharga dengan kategori hold to maturity (HTM). Pada gilirannya, ketiga bank ini mengalami kerugian (lost) pada securities valutation-nya akibat suku bunga The Fed dan yield US Treasury yang sedang naik.

“Kemudian harganya turun, sehingga terjadi negatif valuasi dari surat-surat berharganya,” terangnya. 

Tidak berhenti di situ, valuasi negatif ini terpaksa menggerogoti modal ketiga bank ini. Kerugian di sisi modal, membuat ketiga bank ini, khususnya Silicon Valley Bank berencana untuk menambah dana segar via IPO.

Singkat cerita, Perry menyebut, strategi penawaran saham ini gagal dan membuat tanda tanya besar kepada deposan. Deposan yang terkonsentrasi tersebut merespons negatif hal ini dan dengan cepat dengan menarik dananya alias bank run.

Kejadian krisis yang terjadi pada akhir pekan lalu, membuat pemerintah federal AS lewat Treasury, The Fed dan FDIC bergerak cepat. Pada akhirnya, bank yang terletak di Provinsi California ini diambil alih dan ditempuh penyelamatan bank oleh pemerintah federal.

“Pembacaan kami, langkah-langkah yang diambil pemerintah federal ini bisa men-contain dari permasalahan tiga bank ini,” sebutnya.

Dirinya meringkas, terdapat tiga risiko utama yang jadi penyebab kejatuhan ketiga bank besar ini. Pertama, deposan yang terkonsentrasi. Kedua, situasi mark to market menyebabkan lost dari securities. Ketiga, ketidakseimbangan aset liabilitas memunculkan fenomena bank run.

“(Semua) ini perlu kita pelajari, supaya kita bisa melihat asesmennya di Indonesia,” ujarnya. 


Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mendengarkan pertanyaan media dalam konferensi pers di Ka ntor Pusat BI, Jakarta, Kamis (19/1/2023). Antara Foto/Sigid Kurniawan 

 


Bagaimana Dengan Perbankan Indonesia?
Sebaliknya, Perry cukup optimistis krisis itu tidak akan menjalar ke perbankan Indonesia. Hal itu terlihat dari deposit funding perbankan di Indonesia yang masih cukup terdiversifikasi. 

Umumnya, rata-rata konsentrasi deposan yang termasuk dalam jajaran top 10 berbanding keseluruhan dana pihak ketiga (DPK) pada perbankan hanya berkisar 10-15%. Hanya ada satu sampai dua perbankan saja yang rerata deposan terkonsentrasinya tidak lebih dari 35-40%. 

“Sehingga deposit funding itu cukup diversifikasi, (hal) itu memperkuat ketahanan funding-nya dari bank,” jelasnya.

Selanjutnya, Perry menyebutkan, risiko langsung ketiga bank AS itu menjalar ke valuasi perbankan Indonesia hampir menyentuh nol. Karena sebagian besar bank-bank di Indonesia tidak menanamkan dana maupun menjadi deposan dari ketiga bank yang tengah bermasalah ini.

“Apalagi, bank-bank Indonesia itu jarang juga (berinvestasi) pada obligasi valasnya Amerika. (Investasi) US Treasury itu enggak terlalu besar,” sebutnya.

Tak berhenti di situ, BI juga mulai melakukan stress test aset SBN perbankan Indonesia untuk menguji kekuatan. Hal ini ditujukan untuk mencari tahu posisi pegang bank terhadap SBN-nya pada posisi AFS atau HTM.

Baca Juga: Ini 3 Poin Utama Dampak Kolapsnya SVB Pada Ekonomi Indonesia

Per tahun lalu, sebutnya, bank-bank Indonesia mulai menggeser posisi SBN-nya menuju HTM. Hasilnya ada perbankan yang menggeser SBN-nya ke posisi HTM sebesar 30-40%, bahkan di antaranya ada yang mencapai 50%. Meski beberapa di antaranya juga masih ada bank yang harus meningkatkan porsi HTM-nya.

“Sehingga kami lakukan stress test dampak tahun lalu terhadap kenaikan yield SBN terhadap portofolio bank itu seperti apa. Untuk Indonesia, kenaikan yield SBN kan tidak tinggi banget ya, karena Menteri Keuangan menjaga kenaikan yield SBN-nya itu tidak terlalu tinggi,” sebutnya. 

Selanjutnya, bank-bank yang ditengarai memiliki valuasi negatif terhadap SBN sudah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Sehingga, rasio kecukupan modalnya (Capital Adequacy Ratio/CAR) terbilang cukup tinggi dan dapat menjadi bantalan risiko yang muncul.

Perry menyampaikan, saat ini tingkat CAR perbankan di Indonesia mencapai 25,88%. Dengan demikian, asesmen stress test yang dijalankan menunjukkan, bahwa kondisi perbankan di Indonesia cukup berdaya tahan terhadap dampak krisis ini.

“Hasil simulasi stress test kita menimbulkan itu, stabilitas sistem keuangan Indonesia berdaya tahan dalam menghadapi gejolak global, termasuk dampak dari tiga bank tadi dengan pertimbangan-pertimbangan,” sebutnya.


Ilustrasi logo Bank Silicon Valley pada layar ponsel dan monitor. Shutterstock/Poetra.RH 

 


Tetap Waspada
Kendati masih terbilang aman, Perry mengonfirmasi, semua pihak yang mengelola sistem keuangan Indonesia tidak akan mengendurkan tingkat kewaspadaan terhadap situasi global. Kewaspadan ini mesti dibuka pada sisi ekspektasi yang perlu diredam, seperti kejadian persepsi global terhadap Credit Suisse.

Persepsi yang tidak diantisipasi juga dapat memunculkan sentimen negatif kepada investor global. Entah dalam bentuk outflow seperti yang terjadi pada Maret ini sehingga menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar.

Nah persepsi-persepsi yang muncul ini, yang harus kita kelola,” urainya.

Ia memaparkan, pengelolaan persepsi tersebut tertuju pada langkah stabilisasi nilai tukar rupiah lewat upaya intervensi. Harapannya, nilai tukar yang stabil akan menciptakan persepsi positif.

“Maka dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan, bahwa secara fundamental ketahanan stabilitas keuangan Indonesia itu kuat dengan alasan-alasan tadi. BI terus mengelola persepsi ini dengan menstabilkan kurs,” paparnya.

”Dan kami melakukan koordinasi dengan Bu Menteri Keuangan, Pak Mahendra (OJK), dan Pak Purbaya (LPS), masing-masing memastikan itu semuanya dalam kondisi yang (dapat) kita kendalikan. Kami terus berkomunikasi secara langsung, tentu saja kita terus memastikan kita aman dan terkendali,” pungkasnya. 

Baca Juga: IFSOC: Kolapsnya SVB Jadi Early Warning Sektor Fintech

Nilai Tukar Rupiah Terjaga
 
Saat ini, BI menilai, nilai tukar Rupiah terjaga sejalan dengan langkah stabilisasi Bank Indonesia di tengah kembali meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. 

Sejalan dengan pelemahan hampir seluruh mata uang dunia akibat peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global, nilai tukar Rupiah per 15 Maret 2023 sedikit terdepresiasi sebesar 0,75% secara point-to-point dibandingkan dengan level akhir Februari 2023. 

Secara year-to-date, nilai tukar Rupiah pada 15 Maret 2023 menguat 1,32% dari level akhir Desember 2022. Capaian ini lebih baik dibandingkan dengan apresiasi Rupee India sebesar 0,16%, serta depresiasi Baht Thailand dan Ringgit Malaysia masing-masing sebesar -0,04% dan -1,80%. 

Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi domestik yang tinggi, inflasi yang rendah, surplus transaksi berjalan, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik. 

Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global terhadap nilai tukar Rupiah. 

Kebijakan tersebut diperkuat dengan pengelolaan devisa hasil ekspor melalui implementasi TD valas DHE sesuai dengan mekanisme pasar.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar