21 Juni 2024
21:00 WIB
Bisnis Keramik Idealis Artisan Ala Jinjit Pottery
Berangkat dari niat hanya berjualan, Antin malah terpicu membuat kerajinan keramik handmade yang menunjukkan keselarasan seni dan hati.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Foto produk keramik dari Jinjit Pottery. Sumber: Instagram/jinjitpottery
JAKARTA - Dua puluh empat tahun adalah lamanya bisnis keramik Jinjit Pottery berdiri. Perjalanan bisnis Jinjit Pottery dimulai saat Antin Sambodo (55 tahun) mengikuti les khusus keramik pada tahun 1998, lalu mulai terjun ke dunia usaha kerajinan keramik pada 2000.
Antin banting setir dari pegawai swasta menjadi pemain keramik. Awalnya, bisnis besutannya tidak memiliki nama, lantaran dia hanya iseng-iseng berdagang di suatu pameran kedutaan pada awal tahun 2000-an. Tak sendirian, kala itu Antin bersama teman-teman satu kelas les keramik menjual pernak-pernik dari keramik hasil buatan tangan. Misalnya, aksesoris kalung, pajangan, pin, magnet dan pigura dari keramik.
Rupanya, banyak orang yang menggemari kerajinan keramik handmade. Dari situ, perlahan Antin meluaskan pengamatan. Dia sampai pada kesimpulan, pasar keramik di Indonesia sebenarnya sudah terbentuk. Kemudian, dia pun membulatkan tekad untuk mendirikan usaha dan memilih merek dagang sendiri, Jinjit Pottery.
"Saya dan teman-teman dulu jualan bareng buat have fun saja gitu. Ternyata, ada yang suka sama keramik-keramik kami. Waktu itu, kami jualan karya masing-masing, dan belum punya brand. Akhirnya, setelah tahun 2000 pada punya brand, saya, Jinjit Pottery," ujar Antin yang juga pendiri Jinjit Pottery kepada Validnews, Kamis (13/6).
Bukan sembarang memilih nama, Jinjit Pottery disebut memiliki makna kuat. Intinya adalah sebuah upaya untuk meraih atau menggapai sesuatu yang lebih tinggi. Kata jinjit atau berjinjit sendiri berasal dari bahasa Indonesia yang artinya berdiri menggunakan ujung kaki.
Untuk mengenalkan karya Jinjit Pottery secara lebih luas, dia mulai gencar mengikuti pameran kerajinan tangan, baik lokal, nasional, maupun internasional. Salah satunya, yaitu International Handicraft Trade Fair (Inacraft) besutan Kementerian Perdagangan.
Antin jarang absen mejeng di Inacraft sejak tahun 2001 sampai 2013. Kemudian, karya Jinjit Pottery juga masuk di beberapa pusat perbelanjaan, salah satunya Sarinah, Jakarta Pusat. Dari ketekunan ini, Jinjit Pottery kini punya studio sendiri di Jakarta Barat dan satu rumah produksi kecil di kawasan Bintaro.
Dia mengakui, kian lama Jinjit Pottery makin banyak dikenal orang. Penjualannya pun makin mantap, dan mencapai puncaknya pada 2009-2010. Namun setelah 2013, permintaan keramik handmade mulai menurun.
Tentu hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Antin yang berkecimpung di dunia keramik lebih dari satu dekade. Pendiri Jinjit Pottery itu merasa perlu waktu memikirkan konsep baru dan menyiapkan langkah lebih lanjut. Ikhtiar ini malah dilakukan dengan memutuskan rehat selama dua tahun.
"Saya istirahat dua tahun, 2014 sampai 2015 itu saya setop berkeramik. Kadang masih ikut pameran, tapi tidak produksi sekencang sebelumnya," terang Antin.
Hadapi Gejolak Perubahan Tren
Salah satu alasan Antin berhenti sejenak lantaran terjadi perubahan tren dan permintaan terhadap produk kerajinan keramik. Menurutnya, hal itu dipicu munculnya generasi baru yang mulai masuk sebagai pemain keramik di Indonesia.
Dia menuturkan, sebelum 2014, produk pernak-pernik dari keramik, seperti kalung, hiasan dinding, pigura atau frame itu sangat disukai konsumen. Namun ketika tren berubah, produk tersebut menjadi tidak laku. Miris. Sebaliknya, produk tableware atau perangkat makan dari keramik yang menjadi incaran para konsumen dan tren itu masih bertahan sampai sekarang.
"Tadinya kita banyak printilan kecil-kecil, lucu-lucu gitu, tiba-tiba berubah trennya. Itu jadi enggak laku lagi pada saat itu, dan semua beralih ke produk tableware," kenang Antin.
Seiring berjalannya waktu, tren bisa saja berubah. Begitu pula dengan minat, keinginan, dan permintaan konsumen. Menurut Antin, gejolak perubahan tersebut perlu ditangani dengan melahirkan inovasi. Dia tak mau gegabah. Akhirnya, dia mulai mempelajari lagi dari nol, mengenai tren tableware yang hits pada 2014. Dan cara menarik pelanggan kini dijajaki dengan memasarkan produk di media sosial Instagram, Facebook dan lainnya.
Saat itu, platform untuk promosi, termasuk karya kerajinan tangan, masih terbatas bagi pemain keramik, baru pameran saja yang menjadi wadah besar untuk menggaet buyer dan pelanggan setia. Maklum, dulu kan belum ada media sosial.
"Tahun 2015 menyesuaikan lagi, waktu itu, mau gak mau saya harus bikin tableware. Awalnya, karena melihat tren terbaru kan, tableware polos. Nah saya sempat ikut bikin yang polos-polos gitu, tapi kayaknya ini gak gue banget rasanya," kata Antin.
Terlepas dari sekadar bisnis, bagi Antin, produk Jinjit Pottery itu adalah karya seni yang harus memancarkan jiwa keramikusnya. Oleh karena itu, dia tidak puas hanya menyajikan tableware polosan yang notabene mengikuti tren, kepada pelanggan.
Antin pun memilih untuk menggambarkan karakter kucing imut di setiap keramik perangkat makan dan pendukungnya, seperti mug, piring, dan mangkok. Mayoritas, produk tableware Jinjit Pottery sampai sekarang ini dihiasi gambar kucing dan memiliki perpaduan warna biru dan putih.
"Akhirnya saya bikin sesuai yang saya inginkan, tetap ada motifnya, dulu dan sekarang ada yang gambar kucing, dan bermacam-macam. Jadi produk itu enggak hanya mengikuti tren, tapi tetap ada jiwanya, tunjukin jiwa saya tuh ada di situ, dan alhamdulillah ternyata memang ada juga pasarnya," ujarnya optimistis.
Dengan menyematkan gambar kucing, produk Jinjit Pottery saat ini memang mencerminkan isi hati seorang cat lover. Pasarnya pun membidik orang-orang pecinta kucing seperti sosok Antin. Di samping itu, pelanggan Jinjit Pottery sampai sekarang tidak terlalu berubah drastis, masih seputar masyarakat kalangan menengah ke atas, usia di atas 20 tahun, pekerja, dan penyuka barang-barang antik.
Dia menambahkan, saat pandemi Covid-19 melanda, Jinjit Pottery berupaya mengikuti tren. Diluncurkanlah produk tableware seri kucing memakai masker. Rasanya unik melihat kucing sampai ikutan pakai masker seperti manusia.
"Saat itu (2020) saya bikin seri tableware kucing yang pake masker loh. Ini kayak ada dua arti, bisa jadi benda memorable untuk mengingatkan cerita 'oh gue pernah hidup di era ini'. Lalu di satu sisi, mau ngingetin si kucing saja pakai masker, masa lo enggak, gitu," ucap Antin sambil tertawa kecil.
Modal Awal, Tantangan dan Cuan
Mempertahankan bisnis keramik hingga lebih dari dua dekade memang tidak gampang, tentu banyak suka dan dukanya. Saat memulai usaha mikro ini pada tahun 2000, Antin mengeluarkan modal sendiri sekitar Rp15 juta.
Modal awal itu dipakai untuk membeli oven khusus pembakaran keramik yang memiliki suhu di atas 1.200 derajat celcius. Kemudian, membeli meja putar keramik, serta memasok bahan baku yang dibutuhkan, seperti tanah, glasir atau pewarna kerajinan keramik, dan underglaze atau lapisan warna-warna pada keramik.
"Dulu modal paling gede itu untuk oven buat bakar keramik, terus beli meja putar, dan bahan baku, kalau ditotalin mungkin sekitar Rp15 juta," kata Antin.
Untuk pasokan bahan baku, sekarang lebih mudah didapatkan meski harganya lebih tinggi dibandingkan awal merintis usaha. Antin membeli tanah dari Sukabumi, glasir berasal dari supplier di Bandung yang barangnya impor. Sementara, underglaze sampai kini belum ada di Indonesia, sehingga harus impor.
Tidak lama memulai bisnis seorang diri, Jinjit Pottery pun menaungi beberapa karyawan perempuan, terlebih lagi saat sering ikut pameran. Untuk sekarang ini, hanya ada dua orang yang menjalankan usaha Jinjit, Antin dan seorang karyawan perempuan yang membuat keramik.
Antin mengutarakan banyaknya tantangan di bisnis ini. Kendala yang sering dihadapi adalah tingginya biaya sewa untuk peserta pameran, dan bahan baku kerajinan keramik di Indonesia tidak selengkap di luar negeri.
"Tantangannya itu, mau ikut pameran besar sangat mahal sewanya, terus bahan-bahan pottery tidak lengkap kayak di luar negeri, glasir, plat pembakaran, karena di luar negeri itu ada toko sendiri, sedangkan di Indonesia enggak ada," tuturnya mengenang dua puluh empat tahun silam.
Hal yang juga paling diingat adalah ketika mau kembali menjalankan bisnis dan memproduksi keramik usai rehat dua tahun. Dia mengaku terpukul saat itu. Bayangkan, kala itu tren pasar berubah drastis, sehingga karya dan pernak-pernik Jinjit Pottery sebelumnya pun menjadi tidak laku di pameran atau bazar.
"Bikin down banget itu, ketika saya mulai lagi setelah istirahat dua tahun. Pas ikut bazar, loh kok barang saya enggak laku, kayak kembali dari nol lagi, untuk tau pasar saya mau produk seperti apa, saya kayak meraba-raba lagi," tuturnya.
Untunglah Jinjit Pottery berhasil comeback. Produk tableware dengan karakter kucing menjadi hal yang kembali menarik para konsumen. Tentu ini menjadi momen yang memuaskan bagi Jinjit karena pelanggan berdatangan dan omzet pun terdongkrak.
Meski demikian, Antin mengaku omzet Jinjit Pottery tidak menentu tiap bulannya. Jika sepi pelanggan, bahkan bisa nol rupiah sebulan. Tapi ketika ikut pameran omzetnya bisa melonjak menjadi Rp30 juta sebulan. Drastis bukan? Begitulah omzet Jinjit selama 5 tahun terakhir ini.
Antin menyampaikan, sebelum covid-19 ia bisa meraup omzet sampai Rp15-Rp16 juta per bulan. Ketika pandemi pada 2020, pada saat perusahaan gonjang-ganjing, justru bisnis kerajinan keramik tidak berhenti produksi. Bahkan, ada tableware dengan karakter kucing memakai masker dari Jinjit Pottery.
"Omzet itu fluktuatif banget. Kalau tidak ikut pameran bisa nol rupiah, tapi saat ikut beberapa pameran bisa bagus sampai Rp30 juta sebulan. Nah tahun 2020 saya kencang jualan tableware seri kucing pakai masker, per bulannya bisa sampai Rp10 juta," ujarnya.
Laris manis produk keramik handmade Jinjit Pottery terasa pada 2020. Sekarang ini usaha mikro itu bisa meraup omzet sekitar Rp7-8 juta per bulan. Antin menilainya sebagai capaian yang bagus, mengingat saat ini Jinjit fokus memproduksi dan menjual tableware seri karakter kucing, tableware motif splash dan beberapa merchandise boyband Korea Selatan BTS.
Ada pula tableware dan magnet dengan motif kesenian Jakarta, seperti ondel-ondel dan tugu Monas yang ternyata disukai buyer luar negeri. Jinjit menggaet para pembeli itu lantaran rajin ikut bazar British Women Association dan The Australian and New Zealand Association (ANZA).
"Kucing itu yang paling laku saat ini. Terus setahun belakangan ini mulai ikut bazar British Women Association dan ANZA, dan bule-bule itu suka seri budaya Jakarta, jadi aku bikin suvenirnya," kata Antin.
Mini Ekspor dan Boom Transaksi
Meski sudah mendapatkan pembeli luar negeri, Jinjit Pottery belum mengekspor produknya secara masif. Sedikitnya, baru dua kali dia melakukan pengiriman ke luar negeri.
Kali pertama, bertransaksi dengan pembeli asal Amerika Serikat yang kecantol sama Jinjit lewat pameran Inacraft. Kemudian tahun ini, ada konsumen dari Jepang yang memesan empat set tableware seri splash untuk dipamerkan dalam ajang di Takashimaya, Jepang.
Di samping menjalankan bisnis produk keramik Jinjit Pottery, Antin juga aktif menggambar dan membuat seni keramik. Bedanya, karya tersebut tidak dijual melalui Jinjit Pottery, melainkan untuk diikutsertakan dalam pameran atau galeri.
Soal modal menjalankan usaha, Antin mengaku hanya satu kali memperoleh pendanaan. Itu dari Perusahaan Gas Negara (PGN) saat menjadi UMKM binaan, dan mendapatkan sokongan dana sekitar Rp10-15 juta. Setelah itu, jiwa bebas Jinjit Pottery tidak bergantung pada pemodal.
"Dulu ini kayak program CSR mereka (PGN), tapi kalau investor perorangan itu enggak ada. Saya juga kayaknya model yang menghindari investor karena ingin bebas. Kalau ada investor kita akan terpaku sama apa yang mereka mau," katanya.
Justru yang membuat dia senang saat diajak pameran ke luar negeri. Saat menjadi binaan PGN, Jinjit Pottery membawa karya keramiknya sampai ke Malaysia. Kemudian saat digandeng Pemda DKI Jakarta, Jinjit bisa mejeng di Moscow, Rusia. Selain dua itu, Jinjit juga pernah ikut pameran di Melbourne, Australia dan Berlin, Jerman.
Di antara semua sukacita berkeramik selama dua dekade, hal yang paling membuat Antin bahagia justru saat merintis Jinjit Pottery. Dia pernah memamerkan produknya di pasar seni ITB, Bandung sekitar tahun 2006. Boom! Ternyata hampir setiap detik ada transaksi.
Padahal saat itu, produk keramik buatannya berupa pernak-pernik dan aksesoris dan harganya pun masih berkisar Rp10.000 ke atas. Namun omzet yang diraup saat itu bisa mencapai Rp25-27 juta dalam sehari. Benar-benar momen tidak terlupakan buat Antin.
"Paling bahagia dan gak akan lupa, dulu ikut pasar seni ITB yang dibuka jam 06.00 sampai 18.00, dan tiap detik ada transaksi. Padahal pernak-pernik hanya jual kalung, pin, itu bisa raup Rp25-27 juta sehari. Itu amazing banget, dan belum terulang sampai sekarang momennya, di mana tiap detik ada transaksi," ucap Antin.
Terhadap mereka yang ingin berbisnis di industri ini, Antin juga mengingatkan bahwa perajin keramik harus bisa membaca tren dan mengikutinya dengan cara berinovasi. Selain inovasi, satu hal yang tidak kalah penting baginya, membubuhkan jiwa di setiap karya buatannya.
Memang terdengar agak abstrak, tapi baginya jiwa seniman itu tidak boleh padam, dan perlu tertuang dan terpancar melalui karya seni buatannya, termasuk keramik yang dibentuk oleh tangan-tangan keramikus. Menurutnya serangkaian aspek tersebut membuat usaha 'tidak sengaja' Antin ini jadi berumur panjang.
"Jadi si produk itu tidak hanya mengikuti tren, tapi tetap ada jiwanya," tegas Antin sekali lagi.
Dia juga berharap para keramikus, terutama teman-teman seperjuangannya, bisa tetap saling support. Seperti yang sudah dilakukan selama ini, dari merintis, melewati masa pandemi, hingga bertahan sama-sama di bisnis kerajinan keramik ini.
Kini, Jinjit Pottery menargetkan untuk bisa menciptakan produk baru. Namun, Antin sendiri belum membocorkan konsep inovasi, desain terbaru dan waktu peluncurannya. Dia juga berharap bisa menggaet lebih banyak buyer luar negeri.
Selain itu, Antin berencana membidik Etsy, platform marketplace asing, untuk menjadi wadah mempromosikan sekaligus menjual karya-karya Jinjit Pottery. Menurutnya, masuk ke marketplace khusus para artisan berpotensi besar mendongkrak pemesanan dan penjualan.