03 April 2024
13:10 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muhammad Aris Marfai menyampaikan, Kebijakan Satu Peta direncanakan dapat mulai dikomersialisasi pada 2026. Secara bertahap, komersialisasi atas peta skala besar RI ini akan semakin komprehensif untuk kebutuhan berbagai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Untuk tahun ini, BIG menargetkan akan menyelesaikan pemetaan di wilayah Sulawesi, diikuti tahun berikutnya di Sumatra, Kalimantan, dan seterusnya. Adapun, rampungnya pemetaan di satu wilayah dapat langsung dikomersialisasi.
“Saya sangat yakin, demand untuk komersialisasi (Kebijakan Satu Peta) itu nanti kebutuhan di Jawa pada skala 1:1000. Yang sekarang kita lakukan skala 1:5000 untuk menjawab kebutuhan RDTR,” terangnya kepada wartawan dalam Media Brifing Pelaksanaan One Map Policy (OMP) Summit 2024, Jakarta, Selasa (2/4).
Meski terkesan tidak langsung memenuhi permintaan, lanjutnya, fasilitasi peta skala 1:5000 ini tetap akan dapat mendukung kegiatan investasi yang membutuhkan finalisasi RDTR di tahap awal. Dengan begitu, secara perlahan perekonomian bisa terangkat.
Adapun, BIG pun siap untuk menghadirkan peta komprehensif skala 1:1000 untuk kota besar dan penting. Dibanding peta komersial saat ini, Aris meyakini, Kebijakan Satu Peta akan menghadirkan peta yang secara geometrik lebih terukur dan presisi
Meski, akunya, atribut atas informasi yang lebih informatif ada di beberapa peta sistem lain karena menggunakan pendekatan parsipatif masyarakat, contohnya dalam sistem peta Google Maps.
“Tapi, akurasi geometrik itu ada di kami untuk peta yang akan kami susun dan juga akurasi untuk batas wilayah hingga peruntukan, karena semua berdasarkan ofisial atau peta yang dikeluarkan oleh pemerintah. Singkat cerita, peta yang kita hasilkan lebih komprehensif, normatif, dan ofisial,” jelasnya
Kendati ada hitungan komersial, Kebijakan Satu Peta juga akan menyediakan informasi dasar tidak berbayar, yang aksesnya dilakukan dengan web service. Misalnya, peta untuk akses batas, jalan, fitur, rupa bumi, jaring sungai, hingga nama bangunan.
“Tapi fasilitas untuk analisis lebih semisal navigasi, overlaying, zonasi, dan buffering baru berbayar,” sebutnya.
Dirinya berharap, sektor swasta hingga perusahaan asing bisa berkolaborasi dengan BIG dengan menggunakan data Kebijakan Satu Peta. Oleh karena itu, dapat menumbuhkan industri yang berbasis navigasi, turisme, makanan-minuman, tata ruang, hingga konsultasi.
Nantinya, optimalisasi basis data Kebijakan Satu Peta bisa untuk memperkuat peta tematik sektor swasta di bidang transportasi barang, perikanan dan seterusnya. Bisa juga kolaborasi ini menekan biaya pemetaan RDTR yang akan dilakukan.
Ilustrasinya, dalam kegiatan konsultasi RDTR senilai Rp1-2 miliar, sekitar separuhnya dibayarkan untuk menyusun peta dasar. “Kalau peta dasarnya bisa kita akses, berapa efisiensi yang bisa kita hasilkan, karena tidak tumpang tindih tiap pemda untuk tujuan tertentu,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta Susiwijono Moegiarso menyebutkan percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy/OMP) merupakan upaya perwujudan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal.
Sehingga dapat menjadi acuan yang akurat dan akuntabel dalam pelaksanaan berbagai kegiatan dan perumusan kebijakan berbasis spasial. Sekaligus dapat dijadikan sebagai acuan bersama dalam penyusunan kebijakan terkait penataan dan pemanfaatan ruang.
“Pemanfaatan Kebijakan Satu Peta adalah dukungan untuk perbaikan kualitas rencana tata ruang, mendukung dalam percepatan penetapan batas daerah, serta mendukung dalam masterplan pengembangan beberapa kawasan di Indonesia,” ungkap Susiwijono di kesempatan sama.
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta melibatkan 24 Kementerian/Lembaga dan 34 Provinsi serta mencakup 158 Peta Tematik yang mencakup Informasi Geospasial Tematik (IGT) Perencanaan Ruang, Status, Potensi, Perekonomian, Keuangan, Kebencanaan, Perizinan Pertanahan, dan Kemaritiman.
Hingga Maret 2024, seluruh IGT telah terkompilasi, kemudian sebanyak 141 IGT telah terintegrasi, sedangkan 16 IGT dalam proses verifikasi perbaikan, dan sebesar 86% Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT telah tersinkronisasi.
Tambah Akses Masyarakat
Pemerintah juga memutuskan untuk menambah ‘masyarakat’ selaku pemegang akses Kebijakan Satu Peta yang terdiri dari orang-perseorangan, Badan Hukum dan Badan Usaha. Sebelumnya, pemegang akses data dan informasi geospasial berdasarkan Keppres 28/2023 hanya diperuntukkan terbatas.
Terdiri atas Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, Menteri atau Pimpinan Lembaga, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota
“Walaupun sekarang akses ke publik belum dibuka, nanti setelah peluncuran Geoportal 2.0 akan dibuka. Namun tetap akan diatur tentang aksesnya karena ada juga hal-hal yang tidak bisa di-share. Nanti peta yang ditampilkan di Geoportal akan jadi referensi tunggal untuk pembuatan program/kebijakan yang butuh data spasial,” ucapnya.
Hingga kini, produk peta tematik Percepatan Kebijakan Satu Peta juga telah dimanfaatkan dalam mendukung berbagai program atau kebijakan berbasis spasial, seperti Reforma Agraria, Peta Tutupan Kelapa Sawit, Strategi Nasional-Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (Stranas-PK) KPK, dan Penyelesaian Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang.
Kemudian, Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan, Masterplan Pengembangan Kawasan Batam-Bintan-Karimun (BBK), Perbaikan Kualitas Rencana Tata Ruang, Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) untuk Percepatan Perizinan Berusaha, Delineasi Wilayah Area Of Interest (AOI) untuk IKN dan Program Ketahanan Pangan Nasional (Food Estate), serta sistem OSS.
Powered by Froala Editor