09 September 2021
20:45 WIB
Penulis: Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,Khairul Kahfi,
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Belakangan, jagat maya negeri ini dihebohkan dengan kemunculan istilah childfree yang digaungkan salah satu influencer. Hal itu pun lantas menjadi topik pembahasan di kalangan milenial.
Childfree adalah keputusan yang diambil seseorang untuk tidak memiliki anak setelah mereka menikah. Alasannya pun beragam, mulai dari masalah finansial, masalah kesehatan, hingga yang tak biasa seperti untuk menekan overpopulasi.
Kondisi ini berkebalikan dengan negara-negara di Eropa yang justru tengah gencar menaikkan angka kelahiran. Dilansir BBC pada Oktober 2019 silam, misalnya, negara-negara seperti Finlandia, Estonia, dan Perancis justru memberikan tunjangan yang besar agar warganya mau memiliki anak.
Berbeda dengan Indonesia yang masih asing dengan istilah childfree, di negara-negara maju, pilihan hidup ini semakin populer. Mereka mengaku lebih senang memiliki atau memelihara hewan dibandingkan memiliki anak.
Banyak alasan masyarakat negara maju melakukannya. Salah satunya, jika memiliki anak, orang tua harus menyiapkan biaya tidak sedikit sejak anak masih di dalam kandungan hingga dewasa.
Untuk melahirkan memang tak murah. Badan Pusat Statistik atau BPS dalam publikasi Harga Konsumen Beberapa Barang & Jasa Kelompok Kesehatan, Transportasi, dan Pendidikan 90 Kota di Indonesia, menyebutkan ongkos bidan rata-rata di Jakarta mencapai Rp2,29 juta pada 2020.
Sementara itu, Lifepal yang mengutip data Alodokter, menyebutkan estimasi biaya melahirkan dengan persalinan normal di Rumah Sakit yang terletak di kota-kota besar, berkisar jutaan hingga puluhan juta rupiah.
RS Kartini Ciledug, misalnya, dipatok mulai dari Rp5 juta, RS Brawijaya Antasari mulai dari Rp13,6 juta, Siloam Hospitals Kebon Jeruk mulai dari Rp8,8 juta, SamMarie Basra mulai dari Rp8,39 juta, dan Mitra Keluarga Kemayoran mulai dari Rp13,5 juta.
Pascamelahirkan, orang tua pun harus menyiapkan biaya untuk new born baby 0-12 bulan. Sebagai gambaran, Endang S (51) merinci biaya membesarkan anaknya, Syifa (7) kepada Validnews, Kamis (9/9).
“Pertama, pakaian bayi seperti gurita, popok, baju dalam, jumpsuit, kaos kaki, kaos tangan, topi bayi totalnya sebesar Rp750 ribu. Pakaian bayi akan beli tiap tiga bulan karena bayi terus tumbuh dengan pesat,” kata Endang yang mengaku mengantongi uang bulanan puluhan juta dari suami yang bekerja di sebuah perusahaan pelat merah.
Semakin Bertambah
Untuk setahun pertama, perkiraan pengeluaran Endang untuk baju bayi mencapai Rp3 juta. Selain baju, ada pula perlengkapan bayi lain, seperti selimut, bantal, dan jaket, dengan total biaya sebesar Rp1 juta. Juga, biaya untuk membeli botol, baik untuk susu formula (sufor) atau asi dalam 1-3 tahun, diperkirakan sebesar Rp300 ribu.
Ada pula kebutuhan sehari-hari anak, seperti minyak telon, baby cream, sabun dan sampo Rp350 ribu tiap bulan. Kebutuhan sehari-hari ini berlangsung terus hingga usia anak menginjak 7 tahun.
Masuk usia 3 bulan, anaknya mulai memakai pamper dengan bujet Rp500 ribu per bulan. Saban hari, sang buah hati menggunakan 4 potong pamper.
Usia bertambah, begitu pula biaya yang harus dikeluarkan. Pada usia 6-12 bulan, ada biaya sufor sebesar Rp500 ribu per bulan. Anak juga mulai memerlukan MPASI atau makanan pendamping asi. Endang merogoh kocek Rp500 ribu per bulan untuk membeli sayur, daging, dan buah-buahan.
Usia anak 1-3 tahun, biaya masih berkisar untuk pakaian anak, termasuk untuk bepergian. Dalam setahun, budget untuk pakaian ini berkisar Rp2 juta.
Namun, untuk untuk sufor, pada anak berusia 1-3 tahun, Endang mengeluarkan Rp500-700 ribu per bulan. Ditambah camilan dengan budget Rp300 ribu per bulan. Serta, mainan Rp1 juta dalam tiga tahun.
Beralih ke usia 3-6 tahun, ada beberapa penambahan biaya, misalnya mainan Rp1,5 juta dalam tiga tahun. Lalu, biaya masuk PAUD sebesar Rp3-4 juta, belum termasuk buku-buku. Setelahnya, si kecil mulai masuk TK dengan biaya Rp1,5 juta.
Kebutuhan pakaian ikut bertambah. Untuk pergi ke PAUD dan TK, anak mengenakan pakaian sekolah bebas dengan bujet Rp1-2 juta. Sementara itu, camilan turut bertambah menjadi Rp400 ribu per bulan.
Memasuki usia lebih besar, yakni 7 tahun atau usia masuk SD, biaya makan dan camilan mencapai sekitar Rp2 juta per bulan. Biaya itu untuk makan sehari-hari Rp1,5 juta per bulan, dengan bujet Rp50 ribu sehari. Ditambah camilan atau jajanan Rp500 ribu sebulan.
Untuk kebutuhan sekolah, dia menyiapkan dana hingga Rp1,5 juta per bulan. Besaran anggaran ini untuk transport Rp500 ribu per bulan, SPP Rp200 ribu per bulan, les pelajaran Rp350-500 ribu per bulan, serta les ngaji Rp150-200 ribu per bulan.
Bujet tersebut di luar seragam sekolah dua tahun sekali sebesar Rp1,5 juta dan biaya kegiatan sekolah Rp500 ribu per semester.
Ada pula kebutuhan lainnya, mulai dari pakaian dalam sehari-hari dan pakaian rumah, masing-masing Rp250 ribu dan Rp1 juta per tahun.
Lalu, pakaian untuk pergi Rp1,5 juta per dua tahun. Serta, jaket, pakaian hangat, topi, kaos kaki, tas yang juga dianggarkan dua tahun sekali sebesar Rp1,5 juta.
Ratusan Juta
Untuk susu sebulan turun menjadi Rp80 ribu, namun terdapat kebutuhan vitamin anak Rp400 ribu per bulan.
"Jika ditotal semua dari setelah lahir hingga sekarang masuk SD, biaya membesarkan Syifa bisalah sampai Rp147,65 juta,"urainya.
Guna mendapat gambaran biaya membesarkan anak yang cukup lengkap hingga bangku kuliah, Validnews mencoba berbincang dengan orang tua yang anaknya sudah memasuki usia kuliah.
Seorang graphic designer bernama Soerachmad (60) menyebutkan, total biaya pendidikan anak sampai lulus kuliah untuk kurun waktu tahun 2000-2021 diperkirakan mencapai Rp84,21 juta. Meliputi biaya SPP dan uang saku jenjang TK, SD, SMP, SMA, dan Universitas, serta abonemen antar jemput semasa TK dan SD.
Perhitungan tersebut belum termasuk komponen biaya seragam, tas, sepatu, buku, dan les. Apalagi dana tugas, praktik, serta ekstrakurikuler pada jenjang SMP sampai universitas yang juga cukup menguras biaya.
“Belum termasuk juga biaya hiburan seperti berlibur, beli mainan, lalu gadget. Harga pakaian dan uang yang dikeluarkan untuk makan-minum juga saya sudah lupa. Mau dikira-kira pun nggak sanggup, khawatir salah,” ujar ayah tiga anak itu kepada Validnews, Rabu (8/9).
Terhadap biaya ini, Validnews juga menghitung berdasarkan data BPS. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2020 untuk DKI Jakarta sebesar Rp2.257.991, maka per tahun berjumlah Rp27.095.892.
Dengan demikian, secara kasar, rata-rata untuk anak yang lahir tahun 2020, diperlukan biaya sebesar Rp569.013.732 hingga umur 21 tahun, tanpa menghitung inflasi.
Adapun, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan tersebut sudah meliputi kelompok makanan dan bukan makanan. Kelompok komoditas makanan, antara lain padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/cumi/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan kelapa, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, serta makanan dan minuman jadi.
Sementara itu, kelompok bukan makanan, di antaranya perumahan dan fasilitas rumah tangga; aneka komoditas dan jasa; pakaian, alas kaki, dan tutup kepala; komoditas tahan lama/durable goods; pajak, pungutan, dan asuransi; serta keperluan pesta dan upacara/kenduri.
Belum Bersiap
Biaya pendidikan menjadi salah satu yang tak boleh luput dari perhatian para orang tua dalam membesarkan anak. Namun sayang, Perencana Keuangan dan Edukator Finansial dari Lifepal, Aulia Akbar, mengungkapkan tidak sedikit orang tua yang belum memperhitungkannya secara matang. Mereka juga kurang mempertimbangkan kenaikan biaya pendidikan, alokasi, serta di mana harus menempatkan dana tersebut.
Sebenarnya, ada banyak penyebab dana pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satunya adanya faktor inflasi. Menurut data BPS, inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai 3,77% per tahun pada 2019.
Dengan mempertimbangkan inflasi, berapa biaya yang harus dikeluarkan dari bayi hingga anak kelak bisa mandiri?
Lebih lanjut, Akbar memaparkan simulasi perhitungan biaya pendidikan untuk anak dengan biaya tahunan 2020-2021 dan menggunakan asumsi inflasi 10% per tahun. Rinciannya, TK A-B totalnya Rp14,26 juta, SD 1-6 Rp171,14 juta, SMP 1-3 Rp329,05 juta, SMA 1-3 Rp848,51 juta, dan universitas semester I-VIII adalah Rp841,57 juta.
“Dengan demikian, jika menggunakan asumsi inflasi sebesar 10% per tahun, maka total biaya yang harus dikumpulkan seseorang untuk biaya pendidikan anak dalam 22 tahun, mulai dari TK hingga universitas semester VIII, bisa mencapai Rp2,2 miliar,” terang Akbar kepada Validnews, Senin (6/9).
Biaya-biaya tersebut disebutnya sudah termasuk uang pangkal, biaya tahunan, SPP sebulan yang disetahunkan, seragam, serta buku untuk sekolah TK hingga SMA. Untuk mempermudah melakukan pengelompokan biaya, uang pangkal yang dibayar pertama kali masuk ke dalam biaya tahunan pada tahun pertama. Sementara itu, untuk seragam, biaya ekstrakurikuler, dan buku, masuk ke biaya lain-lain.
Pada tahun kedua, untuk jenjang SMP dan SMA, sebagian sekolah juga tidak memberlakukan adanya pembayaran biaya tahunan, namun ada kenaikan SPP. Jadi, total biaya yang dihitung berdasarkan nilai inflasi adalah biaya SPP dan lainnya yang dihitung tahunan.
Sementara itu, untuk biaya kuliah, uang pangkal bisa dimasukkan ke dalam komponen biaya operasional gedung tahunan di tahun pertama. Untuk biaya kartu rencana studi (KRS), praktikum, unit kegiatan mahasiswa, dapat dimasukkan ke biaya lain-lain dengan asumsi 20 SKS atau lebih.
Biaya pendidikan yang tinggi, terutama swasta, disebut pengamat pendidikan Ina Liem lantaran sekolah harus mendanai gaji guru, maintenance gedung, perawatan, dan lain-lain.
Kondisi dunia pendidikan disebut Ina berbeda dengan dulu, saat banyak sekolah didirikan oleh lembaga-lembaga dengan misi bukan profit, seperti NU, Muhammadiyah, sekolah katolik, sekolah kristen. Ina menilai dalam 15-20 tahun belakangan bermunculan sekolah swasta baru yang didirikan oleh individu maupun korporasi dan diperlakukan sebagai bisnis.
Terkait biaya, Ina memperkirakan keluarga kelas menengah sudah memiliki asuransi pendidikan. “Jadi memperlakukan sekolah ini sebuah bisnis yang memang bisa sangat menguntungkan kalau berhasil karena uang sekolah masuk terus. Bahkan, krisis moneter dulu terus berjalan. Satu-satunya menurun ya saat pandemi ini,” tuturnya kepada Validnews, Senin (6/9).
Strategi Khusus
Mengingat biaya besar yang diperlukan untuk membesarkan sekaligus menyiapkan bekal agar anak bisa mandiri, Lead Financial Trainer QM Financial, Ligwina Hananto menegaskan waktu terbaik menyiapkan kebutuhan anak adalah sesegera mungkin.
Akan tetapi, kenyataannya, ada prioritas dalam hidup yang mungkin akan menyebabkan tertundanya persiapan anak tersebut. Misalnya, untuk pasangan baru menikah, prioritas utama adalah soal tempat tinggal. Mulai dari pilihan tinggal dengan orang tua, indekos, kontrak, atau beli rumah sendiri, semuanya membutuhkan biaya.
"Sehingga, biasanya persiapan anak dilakukan saat sudah hamil. Menurut perhitungan, masih bisa asalkan terjadi disiplin dan kebiasaan keuangan yang baik alias rajin menyisihkan," kata Ligwina melalui pesan singkat kepada Validnews, Selasa (7/9).
Pernyataan Akbar dan Ligwina diperkuat dengan fakta lapangan yang Validnews temukan. Mayoritas orang tua dengan anak yang masih belia, mengaku belum bisa menghitung berapa biaya yang dibutuhkan anak-anaknya sampai lulus kuliah.
Delapan orang tua yang Validnews wawancara juga mengaku belum menghitung dan merencanakan biaya membesarkan anak hingga bangku perguruan tinggi, termasuk biaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang dan pangan.
”Saya tidak pakai hitungan ya, mengalir aja gitu. Bahkan, nggak punya perencanaan apa-apa,” ujar salah satu narasumber Validnews, Astri (33) yang memiliki penghasilan bulanan di atas Rp10 juta bersama suami.
Senada, seorang aparatur negara bernama Ratna (32) yang memiliki anak usia 1 tahun juga mengaku belum menghitung biaya yang dibutuhkan anaknya hingga lulus kuliah. Dia juga belum mempersiapkan porsi untuk itu, dari penghasilan gabungannya dengan pasangan yang mencapai hampir Rp30 juta per bulan.
”Anak saya usianya aja belum sampe 2 tahun. Ya baru mau direncanakan lah,” imbuh Ratna kepada Validnews, Selasa (7/9).
Mahalnya biaya membesarkan anak, khususnya untuk pendidikan, menuntut orang tua tak hanya harus pandai berhemat.
Aulia Akbar memberi beberapa strategi soal ini. Pertama, cari tahu biaya sekolah yang dituju. Kedua, hitung perubahan biaya pendidikan sesuai dengan asumsi inflasi tahunan.
Ketiga, hitung ulang kebutuhan dana berdasarkan jangka waktu investasi. Keempat, pilih instrumen investasi sesuai profil risiko dan jangka waktu investasi. Kelima, memastikan uang pertanggungan asuransi jiwa bisa meliputi biaya pendidikan.
“Pada intinya, menabung dana pendidikan memang penting. Namun agar lebih mudah pencapaiannya, Anda harus mengalokasikan dana tabungan ke instrumen investasi. Jangan lupa pula bahwa selain menabung, proteksi berupa asuransi jiwa juga harus menjadi prioritas Anda sebagai pencari nafkah,” ujar Akbar.
Sedang menurut Ligwina, para orang tua untuk membagi pos pengeluaran dengan rumus cepat 4-3-2-1. Dengan rincian, 40% pengeluaran rutin termasuk pengeluaran kebutuhan anak, 30% maksimal cicilan utang, 20% maksimal gaya hidup, dan 10% minimal menabung atau investasi termasuk upaya berinvestasi untuk pendidikan anak.
"Pos-pos ini tentu saja bervariasi dan tidak melulu harus dengan rumus 4-3-2-1. Akan tetapi, bisa membantu kita untuk menjadi panduan awal," ucap Ligwina.