17 Januari 2024
20:36 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta menyampaikan, perubahan perilaku jadi salah satu pendorong kenaikan tren transaksi lokapasar atau e-commerce saat ini. Selama 2023, nominal transaksi e-commerce nasional mencapai Rp453,75 triliun.
Sementara itu, volume transaksi e-commerce mencapai 3,71 miliar transaksi. “Nah, jadi ini trennya memang meningkat terus (transaksi e-commerce), karena memang ada perubahan behavior daripada masyarakat,” terangnya usai Konferensi Pers RDG-BI Edisi Januari 2023, Jakarta, Rabu (17/1).
Dalam Pertemuan Tahunan BI 2023, otoritas memproyeksi transaksi e-commerce akan terus tumbuh sebesar 2,8% menjadi Rp487 triliun pada 2024 dan 3,3% menjadi Rp503 triliun pada 2025.
Pada kesempatan sama, Fili juga menyampaikan, implementasi QRIS cross border dengan Malaysia, Singapura dan Thailand menunjukkan capaian positif sejauh ini. Capaian tersebut terlihat transaksi QRIS masuk (inbound) dan keluar (outbond) yang bertumbuh.
Khusus Singapura setelah meluncur resmi di pertengahan November 2023, pertumbuhan transaksi inbound QRIS sudah mencapai 261% (mtm), sementara secara nominal tumbuh 342% (mtm).
“Artinya, turis Singapura banyak (transaksi) menggunakan QRIS, utamanya di Batam, Bintan dan Jakarta; (dengan) Malaysia juga iya,” ungkapnya.
Baca Juga: Dari 98% UMKM di e-Commerce, Hanya 6% yang Menjual Produk Sendiri
Untuk selanjutnya, BI sudah bersiap menjajaki skema QRIS yang sama dengan Uni Arab Emirat (UAE). Kendati pengimplementasiannya di lapangan butuh waktu dan pemenuhan beragam prosedur terlebih dulu.
Hal yang sama juga berlaku pada penjajakan skema QRIS dengan Korea Selatan, yang sejauh ini sudah ada pembicaraan gubernur bank sentral dari kedua negara, dan sedang didalami pihak Korea. Sementara, pembicaraan juga sudah mulai dilaksanakan dengan pihak China.
“Jadi tidak bisa serta-merta setelah tanda tangan. Karena ini (prosesnya) akan dimulai dengan penandatanganan MoU billateral cooperation structure antara dua negara tentang kebanksentaralan di dalamnya ada moneter, makroprudensial dan SPI, berikutnya ada mou turunan terkait misal QRIS cross border,” terangnya.
Meski sudah penandatanganan MoU antar bank sentral, semua pihak mesti meneken perjanjian sama antar industri mencakup ASPI dan switching, pengembangan interlinking, uji coba sandbox, baru setelahnya implementasi.
“Mudah-mudahan kita di tahun 2024 ini bisa implementasi untuk hal-hal tersebut,” ujarnya.
Pentingnya Akselerasi Digital
Menanggapi itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menerangkan, akselerasi digital perlu dilakukan saat ini dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi saat ini dan masa depan. Jika penduduk milenial Indonesia naik 2% setiap tahun, maka dalam lima tahun mendatang penduduk milenial akan mendominasi populasi.
Selain itu, otoritas juga begitu menyadari kecenderungan milenial atas digital begitu tinggi atau digital savvy. Kesemua ini jadi beberapa latar belakang Bank Indonesia terus mendorong transaksi digitalisasi sistem pembayaran.
Baca Juga: Quo Vadis Penerapan HPP Di E-Commerce
“Untuk memfasilitasi para masyarakat milenial atas transaksi ekonomi dan keuangan, tapi juga tetap cepat dan sesuai kaidah prinsip-prinsip perlindungan konsumen dan lainnya,” ujarnya.
Upaya ini juga dilakukan dengan berkolaborasi dengan pemerintah mengenai transaksi keuangan pemerintah. Terpenting, BI menyadari, digitalisasi transaksi pembayaran, termasuk perluasan QRIS maupun BI FAST, selain meningkatkan transaksi e-commerce ternyata punya andil menurunkan inflasi.
Terlebih dalam menjaga level inflasi inti. Perry menjelaskan, digitalisasi transaksi ekonomi dan keuangan menyebakan kompetisi harga antara perdagangan besar maupun ritel dalam platform digital. Kompetisi harga ini terus menurunkan inflasi, khususnya inflasi inti.
“Digitalisasi sistem pembayaran memenuhi kebutuhan masyarakat, mengembangkan bisnis, dan menurunkan inflasi,” jelasnya.