16 Maret 2022
20:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – CIPS ingatkan pemerintah peningkatan besaran Domestic Market Obligation (DMO) dari 20% menjadi 30% bakal memengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Identitas Indonesia sebagai negara dagang kredibel bisa dipertanyakan mitra dagang lain.
Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, kebijakan ini akan mendistorsi pasar global dan membawa implikasi pada hubungan Indonesia dengan mitra dagangnya.
“Kebijakan ini juga berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang, dan akan memengaruhi kestabilan harga komoditas kelapa sawit di pasar internasional,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (16/3).
Ia melanjutkan, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmennya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan antara produsen kelapa sawit dengan pembeli.
Bertambahnya kewajiban untuk memenuhi ketersediaan crude palm oil (CPO) pada pasar domestik dikhawatirkan dapat membuat komitmen tersebut tidak tercapai.
Jika banyak komitmen ekspor atau perdagangan tidak terpenuhi, Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan.
"Padahal, saat ini Indonesia sebagai tuan rumah G20 punya posisi kuat untuk memimpin koordinasi dan kerjasama internasional, demi pemulihan ekonomi global," sebutnya.
Kebijakan dan posisi Indonesia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kerja sama dan komitmen antarnegara, untuk menjaga kelancaran perdagangan yang sangat dibutuhkan untuk memitigasi krisis harga pangan dunia.
Felippa bilang, seharusnya Indonesia bisa membuktikan komitmennya untuk menjaga terus berjalannya kerja sama tersebut. Ia memaparkan, tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng.
Sementara itu, Permendag 8/2022 yang memperluas kebijakan DMO untuk 60 HS akan berdampak pada turunan kelapa sawit yang tidak memiliki hubungan dengan minyak goreng seperti oleochemical, ikut terkena dampak kenaikan DMO.
“Pelarangan ekspor bikin supplier palm oil menyuplai industri oleochemical dan biodisel. Makanya industri lain ikutan kena (dampak),” urainya.
Kesulitan bagi swasta untuk memenuhi kenaikan besaran DMO juga diperparah oleh adanya Harga Eceran Tertinggi (HET), karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin sulit untuk turun ke tingkat normal.
Felippa menjelaskan, HET akan sulit dicabut karena hal itu akan membuat harga naik dan menguntungkan spekulan. Meski begitu, jika HET dibuka dan spekulan melepas minyak goreng, seharusnya harga akan turun secara sendirinya; meski kemungkinan masih di atas HET, apalagi jika benar CPO di pasar sudah melimpah.
Adapun opsi menambah bea keluar bisa jadi solusi yang lebih kecil distorsi pasarnya daripada DMO ataupun pelarangan ekspor, meskipun tidak ideal. Hasil pengenaan bea keluar tersebut dapat digunakan untuk menyubsidi masyarakat secara langsung.
“Pengenaan bea keluar memang pilihan yang tidak mudah di saat seperti sekarang ini. Tetapi, Indonesia dapat tetap menjaga kinerja perdagangannya sembari turut memastikan pasokan CPO yang dibutuhkan industri minyak goreng tetap terjaga,” tandas Felippa.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan adanya penambahan batas wajib pasok kebutuhan dalam negeri atau DMOb sebesar 30%.
Sebelumnya, kebijakan DMO untuk minyak goreng hanya sebesar 20%.
Pantauan PIHPS, selama 1 Februari-16 Maret 2022, harga minyak goreng di semua provinsi di Indonesia bergerak di kisaran 19.200/kg hingga Rp19.550/kg.
Rata-rata harga minyak goreng pekanan di Februari 2022 sempat mengalami tren penurunan dari Rp18.900/kg menjadi Rp18.500/kg. Namun, di pekan awal Maret 2022, harga minyak goreng rata-rata kembali naik Rp19.150/kg.