29 Maret 2023
20:18 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pemerintah melalui kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel berkeinginan untuk mengembangkan industri hilir komoditas tersebut, supaya bisa mendapat nilai tambah berkali-kali lipat.
Hal itu terlihat dari capaian ekspor komoditas nikel pada 2017 yang hanya US$3 miliar berhasil meroket menjadi US$29 miliar tahun 2022, dan saat ini sudah melampaui US$30 miliar. Deputi Bidang Hilirisasi Investasi Strategis Kementerian Investasi/BKPM Heldy Satrya Putera mengatakan peningkatan ekspor itu menjadi cerminan keberhasilan hilirisasi di Indonesia.
"Artinya (peningkatan) sudah lebih dari 10 kali lipat dari hasil usaha hilirisasi. Ini adalah bukti atau data empiris yang kita gunakan," ucap Heldy dalam sesi diskusi daring di Jakarta, Rabu (29/3).
Khusus untuk komoditas nikel, pemerintah mendasari hilirisasi berdasarkan nilai tambah yang diberikan, khususnya pada produk stainless steel dan baterai kendaraan listrik. Kemudian, kandungan komoditas yang terdapat pada produk jadi juga menjadi pertimbangan dalam hilirisasi nikel.
"Soal kandungan, kita pilih mana produk yang paling banyak karena ini tentu akan berpengaruh terhadap penyerapan dari komoditas yang ada sehingga kalau kita lakukan pelarangan (ekspor) pasti akan terserap," sebutnya.
Sebagai informasi, kajian dari Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan nilai tambah hilirisasi nikel menjadi stainless steel mencapai 9,5 kali dengan demand global pada tahun 2045 yang sebesar US$365 miliar.
Kemudian untuk hilirisasi nikel menjadi battery pack kendaraan listrik, nilai tambahnya menjadi 67 kali dengan demand global sebesar US$5,91 triliun pada 2045 mendatang.
Secara keseluruhan, nilai investasi hilirisasi nikel tahun 2023-2040 mencapai US$127,9 juta, proyeksi PDB 2040 dari hilirisasi mendapai US$43,2 miliar, nilai ekspor tahun 2040 US$81 miliar, serta mampu menyerap hingga 357 ribu tenaga kerja.
Menurut Heldy, Indonesia seharusnya bisa mengoptimalkan peluang-peluang itu mengingat Nusantara merupakan sumber nikel nomor satu di dunia. Sayangnya, rantai pasok industri nikel global belum menunjukkan Indonesia sebagai salah satu pemain ekspor utama, baik itu sulphate, precursor, battery cells, maupun battery pack untuk EV.
"Eksportirnya masih negara lain, padahal Indonesia adalah negara yang punya cadangan nikel terbesar," kata dia.
Untuk itu, aturan pelarangan ekspor bijih nikel menurutnya akan memacu hasil smelter nikel yang lebih optimal. Ia mengatakan jika negara lain saja bisa menjadi eksportir hilirisasi nikel, semestinya Indonesia yang punya cadangan besar juga harus menjadi pemain besar.