c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

13 Juli 2021

21:00 WIB

Berseminya Bisnis Alternatif Berbahan Alami

Salah satu bisnis yang ikut mencuat pada saat pandemi adalah produk herbal hasil fermentasi, yakni kombucha dan eco enzyme

Penulis: Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,Khairul Kahfi,

Editor: Fin Harini

Berseminya Bisnis Alternatif Berbahan Alami
Berseminya Bisnis Alternatif Berbahan Alami
Pembuatan eco enzyme di rumah, menggunakan sampah kulit buah naga dan wortel. Validnews/ Fin Harini

JAKARTA – Bukan kabar baru, banyak industri dan bisnis yang berjalan terseok-seok akibat pandemi, sejak pengumuman resmi covid-19 masuk ke Indonesia pada penghujung kuartal pertama 2020.

Sejak itu juga permintaan masyarakat maupun kinerja bisnis tergerus, hanyut terseret banjir virus corona.

Berbagai kebijakan pembatasan menjadi salah satu alasan kuat mengapa bisnis konvensional terkoreksi. Tak butuh waktu terlalu lama, sejumlah bisnis harus terhenti bahkan patah arang tak bisa lagi berjalan.

Lebih dari setahun berlangsung, kelesuan yang sempat membaik, nyatanya harus kembali dirasakan, seiring degan hantaman gelombang kedua covid-19 yang lebih ganas.

Buat mereka yang tak bisa berpangku tangan, mengharapkan belas kasihan dan bantuan, banting setir pun jadi pilihan. Tengok saja, tak sedikit pengusaha dan warga terdampak yang mencoba mencari peruntungan di bisnis yang baru. Bisnis herbal, suplemen dan disinfektan alami misalnya.

Saat ini, tatkala lonjakan kasus covid-19 terjadi, obat, vitamin dan alat kesehatan lainnya pun menjadi barang yang paling diincar banyak orang. Pengobatan dan upaya pencegahan penyakit ini, memang membuat permintaan berbagai obat dan pendongkrak imun menguat.

Bahkan, pada pekan pertama pelaksanaan PPKM Darurat yang dimulai 3 Juli 2021, harga obat dan alkes melesat.  

Tak jarang, barang-barang yang diburu seperti barang gaib, susah didapatkan. Dugaan adanya oknum yang melakukan penimbunan dan permainan harga pun menyeruak.

Dari pantauan tujuh kantor wilayah kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya, terdapat tiga daerah kanwil yang mengalami kenaikan harga kebutuhan barang penunjang covid-19 begitu signifikan. Kenaikan tersebut terjadi pada kanwil III di Bandung, kanwil VI di Makassar dan kanwil VII di Yogyakarta.

Pada 7 Juli 2021, Wakil Ketua KPPU Guntur S Saragih bahkan sampai harus memutuskan untuk meningkatkan hasil pengawasan, masuk ke dalam ranah penegakan hukum. Pihaknya juga tidak segan meminta keterangan lebih lanjut kepada pihak-pihak terkait.

Harus diakui, pada masa sulit seperti ini sensitivitas membaca peluang menjadi kemampuan yang berharga. Kesulitan mencari obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan, tak hanya menghasilkan ide untuk mencari alternatif obat alami.

Namun juga memunculkan bisnis-bisnis baru yang memanfaatkan peluang.

Salah satunya, penjualan produk herbal. Saat ini, upaya pencegahan dari penyakit dengan bahan alami, tampaknya memang sudah menjadi semboyan yang semakin eksis untuk masyarakat di tengah keadaan genting.

Apalagi, Indonesia dianugerahi keluasan potensi sumber hayati yang berasal dari sekitar 40.000 jenis tumbuhan. Terdiri dari 5.000 jenis jamur, 400 jenis tanaman penghasil buah, 370 jenis tanaman penghasil sayuran, 70 jenis tanaman berumbi, 60 jenis tanaman penyegar dan 55 jenis tanaman rempah.

Renstra Kementan 2015 sendiri mencatat, salah satu pemanfaatan keanekaragaman hayati adalah melalui tanaman obat, termasuk sebagai suplemen. Serius, kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada negeri ini memang potensinya gak kaleng-kaleng.

Terhadap PDB, tanaman obat berperan cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi PDB tanaman obat sebesar 5,39% atau sebesar Rp6.174 miliar pada 2012. Bahkan, laju pertumbuhan PDB 2012 di sektor tanaman obat dan tanaman hias menjadi yang terbesar mencapai 21,99%. 

Jahe, kunyit dan empon-empon lainnya, memang sudah akrab dengan masyarakat nusantara. Namun, tahukah Anda, di luar bahan-bahan herbal yang biasa untuk jamu dan disinfektan alami tersebut, ada dua ramuan yang ternyata tak kalah moncer dan sedang naik daun saat ini.

Kedua ramuan tersebut adalah eco enzyme dan kombucha. Apa sih sebenarnya barang ini?

Relawan Eco Enzyme Nusantara Bali Ferry Tanaya menjelaskan, eco enzyme atau EE merupakan larutan zat organik kompleks yang diproduksi dari hasil fermentasi limbah sisa dapur organik rumahan yang tak lagi digunakan. Bisa berupa kulit buah atau sayur, atau potongan sisa sayuran. Lantas dicampur air dan gula, dan difermentasikan selama 90 hari.

Cara memproduksinya pun terbilang mudah. Satu bagian gula alami, 3 bagian sisa bahan organik dan 10 bagian air dicampur untuk menghasilkan ramuan tersebut.

Joss, tanpa disadari, EE terbukti memiliki beragam manfaat. Dengan kandungan yang dimiliki, EE bisa membantu membersihkan lingkungan yang tercermar. Dr Joean Oon dari the Centre for Naturopathy and Protection of Families di Penang, Malaysia, menyebutkan enzyme yang dikandung di dalamnya, bahkan bisa membantu membersihkan sungai yang tercemar.

Selain untuk lingkungan, terang Ferry, produk yang sama juga bisa digunakan sebagai cairan pembersih serbaguna. Mulai dari keperluan beberes dan membersihkan rumah seperti mengepel lantai dan disinfektan ruangan, EE juga bisa digunakan untuk mencuci piring dan baju. 

Kemudian, berguna untuk tanaman sebagai bahan untuk pupuk dan pengusir hama. Ferry juga menyisipkan manfaat EE untuk perawatan dan memperbaiki kesehatan tubuh karena gatal-gatal, luka bakar, terkena sayatan, dan lainnya. 

“Tapi, kita tidak bisa bilang itu obat ya, soalnya belum ada uji klinis. Bisa dibilang, EE adalah terapi membantu memperbaiki kesehatan. Misal, orang susah tidur bisa coba detoks lewat rendam kaki, setelah itu tidurnya nyaman,” kata Ferry lewat sambungan telepon kepada Validnews, Sabtu (10/7).

Prinsipnya, komunitas yang sudah ada di 23 provinsi ini, sejatinya hanya berusaha untuk mengedukasi masyarakat lewat pemaksimalan sampah organik rumahan. Dengan tidak mengutamakan sisi komersial-ekonomis di dalamnya.  

Pertimbangannya, sang penemu, Dr Rosukan Poompanvong dari Thailand yang aktif meriset enzym selama lebih dari 30 tahun dan tak kunjung mematenkan hasil penelitiannya. Jadi penggunanya pun tidak perlu membayar royalti. 

“Karenanya) kami tidak menganjurkan diperjual-belikan. (Penjual) tanggung jawab masing-masing, itu di luar jangkauan dan kontrol kami,” pungkas Ferry. 

Berbeda dengan eco enzyme yang hanya terbatas diperuntukkan tubuh bagian luar, produk kombucha yang diperoleh dari hasil fermentasi, dikonsumsi sebagai minuman. Produk itu sendiri bisa dibuat dengan sangat sederhana, dengan mencampurkan teh manis dingin dengan starter kombucha, lalu mendiamkannya dalam wadah bersih berpenutup selama 1-2 pekan. 

Lebih lanjut, starter kombucha adalah lapisan gel berwarna putih, bisa juga disebut dengan SCOBY

akronim dari Symbiotic Culture Of Bacteria and Yeast. Nantinya, larutan teh kombucha yang sudah menjadi cuka; disebut dengan cuka kombucha.  

Minuman ini pun bercita rasa tajam, asam, beraroma mirip cuka dengan sensasi minuman berkarbonasi. Minuman ini jamak dikonsumsi di luar negeri sejak 2000 tahun lalu di China.

Sementara, di Indonesia, kombucha sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak 1930. Sayangnya sampai sekarang mayoritas masyarakat juga masih asing mendengarnya.

Peluang Bisnis
Seperti disebut di atas, meski awalnya pengetahuan membuat ramuan ini tidak mengutamakan sisi komersial-ekonomi, bukanlah hal yang haram jika komoditas ini diperdagangkan.

Pemilik Rumah Fermentasi Septy Haryanny mengakui, penjualan produk herbal miliknya mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir. Bahkan, dirinya mensinyalir pandemi menjadi pendorong utamanya untuk peningkatan kinerja penjualannya. 

Tidak lain dan bukan, produk kesehatan yang baik untuk meningkatkan imunitas tubuh, begitu dicari masyarakat di tengah pagebluk. Apalagi kombucha mengandung nutrisi seperti vitamin C, B kompleks, sembilan jenis asam dan enzim yang bermanfaat bagi tubuh. 

“Saat ini, range penjualan bersih sekitar Rp500.000 sampai Rp1 juta per hari. Tapi terkadang penjualan bisa naik-turun di kisaran ratusan ribu,” jelasnya ketika dihubungi Validnews, Senin (12/7).

Selain bentuk minuman, Septy juga menyediakan variasi produk kombucha untuk kecantikan, seperti sabun hingga perawatan kulit lainnya.

Pada akhirnya, peningkatan penjualan juga berdampak positif terhadap pemasukan keluarga, terlebih di tengah ketidakpastian akibat pandemi. 

Meski begitu, di luar usahanya mencari untung, dirinya juga tetap membuka diri berbagi ilmu secara gratis, untuk masyarakat yang tertarik mempelajari teknik fermentasi kombucha. Ke depan, Septy memprediksi prospek bisnis kombucha masih akan terus dalam tren positif. 

Pasalnya, sudah banyak orang yang secara langsung menerima manfaat kombucha. Mereka pun membagikan testimoni lewat media sosial dan review produk di e-commerce.

Karena itu, Septy menilai, teknologi digital juga berperan pada penetrasi pasar saat ini. 

“Jadi menurut saya prospeknya (masih) bagus banget (peluangnya), apalagi untuk usaha kecil dan skala rumahan seperti saya. Itu akan berkembang pastinya, akan jauh lebih maju untuk perekonomian,” terangnya. 

Senada, penjual eco enzyme di e-commerce Armand Dwiki menyampaikan, setahun terakhir penjualan eco enzyme buatannya sendiri, terus positif. Penjualannya pun dinilai cukup mudah karena memanfaatkan lokapasar (marketplace) untuk menjangkau pembeli. 

“Setiap bulan, rata-rata kita menjual sekitar 20 botol (eco enzyme) di semua marketplace,” serunya. dalam pesan singkat kepada Validnews, Senin (12/7).

Sebagai gambaran, Armand menjual EE ukuran 1 liter seharga Rp50.000 dan ukuran 500 ml seharga Rp30.000. Ia begitu percaya diri, karena produknya sama sekali tidak mendapat keluhan pembeli dan terus mendapat rating positif. 

Berdasarkan data transaksi penjualan tiga bulan terakhir, pembeli terbanyak berusia 35–44 tahun atau golongan usia produktif dan berkeluarga dari berbagai latar pekerjaan.

Menurutnya, customer yang membeli EE miliknya juga didominasi kalangan yang sudah mengetahui seluk-beluk manfaat produk terkait. 

“Selama ini mayoritas pembeli langsung melakukan order, tanpa bertanya mengenai tentang eco enzyme itu sendiri,” jelasnya. 

Ke depan, lanjutnya, ia yakin prospek bisnis produk ini masih begitu menjanjikan, terlebih jika sudah bisa dikelola secara profesional. Apalagi, masih banyak orang yang mengetahui manfaat dari EE.

“Peran komunitas pengguna EE setiap daerah untuk menyosialisasi ke masyarakat menjadi sangat penting, sehingga bisa menjanjikan ke depannya,” jelasnya.

Hanya saja, Armand juga menyadari, ada kendala di sisi supply, karena butuh waktu yang cukup lama untuk membuatnya. Belum lagi, persoalan menjaga stok produk agar tidak cepat mengalami kekurangan.


Tetap Kritis
Hanya saja, Chairman the Indonesia Health Economic Association Hasbullah Thabrany mewanti, semua pihak harusnya menyadari, prinsip layanan kesehatan berupa produk atau barang memiliki dua konsekuensi besar. 

Ada begitu banyak barang yang dikonsumsi dan punya konsekuensi, dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, buah, akar dan sebagainya. Pertama, meningkatkan dan memperbaiki kesehatan. Kedua, bisa sebaliknya, lebih buruk hingga malah merusak kesehatan. 

Karenanya, kebermanfaatan beragam produk itu mesti dibuktikan oleh fakta dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. 

“Bahwa sebuah daun bisa meningkatkan kesehatan, apa buktinya? Daun yang sama juga bisa menurunkan kesehatan dan bisa jadi racun, apa buktinya?” cetusnya.

Menurutnya, sejauh ini memang lazim terdengar, jika campuran beragam macam produk herbal dengan sebutan enzim herbal atau jamu, klaimnya berefek bagus bagi kesehatan. Padahal, lanjutnya, produk-produk ini umumnya belum mengantongi bukti ilmiah. 

Hasbullah sendiri tidak berani untuk mengonsumsi produk dengan klaim kesehatan, yang minim fakta. Dirinya pun menggarisbawahi perihal testimoni yang selalu menjadi bukti sahih sebuah produk.  Padahal, bukti keampuhan itu mesti dijajaki sejumlah proses legal.

“Bukti harus sistematis, tertulis, lewat (banyak) perbandingan; antara yang menggunakan dan tidak; sakit dan tidak sakit; persentase kesembuhan dan justru tambah sakit. Itu semua harus ada datanya,” terangnya. 

Sementara, obat-obatan modern biasanya sudah melalui proses ketat. Bahkan, jauh sebelum BPOM memberi izin, lengkap dengan bukti spesifik untuk penyakit apa. 

Ia menegaskan, tidak ada obat yang bersifat sapu jagat mampu menyembuhkan banyak penyakit. Sebaliknya, klaim super heboh ini malah mengindikasikan fakta yang berseberangan. 

Dirinya pun menyayangkan kebiasaan orang Indonesia yang mudah terbuai oleh informasi keliru terkait kesehatan, dengan data minimal.

Ia juga mengimbau, kemudahan yang ada sekarang dimaksimalkan untuk mendapat informasi formal yang sudah dibuktikan di banyak belahan dunia. 

Meskipun, dirinya menyadari jalur formal ini juga tidak bisa menggaransi 100% pasien sembuh. Ada

bagian-bagian yang bisa disembuhkan dan tidak, berefek samping dan tidak, begitu seterusnya. 

“Jadi saya mengimbau, masyarakat jangan gampang percaya dengan (sekadar) testimoni, omongan, dan informasi sosmed yang banyak sekali terjadi di sekitar kita,” tuturnya.

Namun sejatinya, pada Februari 2020, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Lukito mengungkapkan, pihaknya akan terus berupaya mengembangkan obat berbahan herbal. Hal ini dilakukan pihaknya, demi meningkatkan daya saing ramuan herbal nusantara dan menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan secara formal di Indonesia. 

Upaya tersebut sejalan dengan percepatan hilirisasi untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal. Sejauh ini, BPOM telah melakukan pendampingan penelitian uji klinik. Mulai dari penyusunan protokol, memperoleh pendanaan penelitian oleh Kementerian Riset dan Teknologi, hingga pelaksanaan uji klinik.

Pada 2019, sudah berjalan 8 penelitian yang terdiri dari 5 uji pra klinik dan 3 uji klinik. Selain itu terdapat 19 riset obat herbal yang sedang didampingi BPOM hingga produk mendapat izin edar. 

Tak hanya itu, Indonesia juga telah memiliki 23 produk fitofarmaka yang berasal dari bahan alam, baik tumbuhan maupun hewan. Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang telah memiliki bukti ilmiah melalui proses uji klinik.

BPOM, kata Penny, berkomitmen untuk meningkatkan daya saing obat tradisional, tercermin dengan adanya percepatan pelayanan perizinan, pendampingan dan pembinaan UMKM. Termasuk program Bapak Angkat Jamu, pendampingan UMKM Jamu Gendong, inisiasi pengembangan Café Jamu, pengembangan obat tradisional atau jamu tematik, serta membuka dan akses pasar ekspor internasional.

Jadi, bagaimana? Masih punya minat berbisnis herbal atau sekadar berdagang EE dan kombucha? Pilihan semua kembali ke Anda. Hal yang terpenting, berusahalah dengan hati dan tidak membahayakan konsumen dengan produk yang terjamin higienitasnya. Oh, iya, jika sukses, jangan ikut-ikutan menimbun dan mempermainkan harga juga ya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar