30 Mei 2023
21:00 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Gegap gempita pesta demokrasi mulai menghampiri Tanah Air. Meski gelaran puncak acara pada 14 Februari 2024, keriaannya sudah dimulai. Simaklah pemberitaan di beragam platform media massa, atau media sosial. Semuanya pasti ada mengetengahkan soal calon presiden dan calon wakilnya.
Pesta itu akan semakin semarak karena pemilihan umum atau pemilu secara serempak akan digelar untuk mengganti presiden, kepala daerah hingga legislator dengan yang baru.
Selain tensi panas yang diprediksi menyertai, entah antarparpol maupun pendukung, segala aktivitas diyakini juga akan berdampak pada ekonomi domestik.
Semarak pesta demokrasi diperkirakan akan mendongkrak perekonomian, hingga sasaran pertumbuhan ekonomi, pemerintah di kisaran 5,3-5,7% dapat terwujud pada tahun depan.
Bank Indonesia cukup optimistis, penyelenggaraan pemilu akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, utamanya lewat peningkatan konsumsi masyarakat dan belanja kampanye.
KPU sendiri telah menetapkan masa kampanye Pemilu selama 75 hari, yakni 28 November 2023-10 Februari 2024.
“Mungkin awal tahun depan, dampak ekspansi dari pengeluaran Pemilu terhadap khususnya konsumsi, baru kita lihat (hasilnya),” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam RDG-BI, Jakarta, Kamis (25/5).
Namun, Perry menjelaskan, umumnya tahun politik juga memberikan tekanan negatif pada sisi investasi. Hal ini terlihat dari kecenderungan investor yang menahan untuk ekspansi bisnis dan wait and see , seperti dalam penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya.
Sejauh ini, dia akan terus memantau perkembangan pertumbuhan investasi bangunan yang masih rendah. Sebaliknya, investasi non-bangunan berada pada posisi positif.
Pertumbuhan investasi bangunan yang rendah ini akan berpengaruh pada capaian pertumbuhan ekonomi keseluruhan 2023.
“Investasi keseluruhan bagus, tapi jika dipecah, non-bangunan bagus dan yang bangunan rendah. Ini yang akan kita pantau,” sebutnya.
Perry pun belum akan memberi proyeksi apapun soal pertumbuhan ekonomi terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang. Pasalnya, dorongan signifikan ini baru akan terasa dan bergantung pada seberapa besar spending yang digelontorkan entitas politik selama masa kampanye.
Gelontoran dana kampanye ini akan menaikkan kuantitas jumlah alat pembayaran atau uang beredar yang mencerminkan kenaikan transaksi ekonomi.
“Biasa seperti di lebaran pun jumlah uang beredar (naik), karena kebutuhan untuk transaksi juga naik,” paparnya.
Baca juga: Peta Suara Pemilih Muda Pemilu 2024

Ketum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengamini, kegiatan pemilu berdampak positif pada peningkatan bisnis di tingkat ritel. Terlihat dari peredaran uang yang kencang untuk membeli kaos kampanye, percetakan spanduk, hingga makanan-minuman.
Dia menyamakan kondisi ini tak ubahnya momen Lebaran Idulfitri maupun Natal dan tahun baru yang meningkatkan transaksi belanja di toko-toko ritel.
“(Seperti) lebaran, nataru, dan liburan sekolah, pemilu itu pasti akan ada perputaran uang yang ujungnya akan timbul transaksi pembelian penjualan di pedagang ritel,” ungkap Budihardjo kepada Validnews, Sabtu (27/5).
Budihardjo menyebutkan, Hippindo akan membuat promosi khusus untuk menyambut dan memanfaatkan peluang bisnis pasca mencoblos nantinya. Promosi, strategi pemasaran, dan penyiapan stok barang ritel di mal atau pusat belanja lainnya akan dipersiapkan 2-3 bulan sebelumnya.
Dia berharap, kondisi penjualan dapat mentereng di momen Pemilu 2024. Apalagi, proyeksi ini ditargetkan dapat menutupi kerugian yang menimpa industri ritel karena diadang pandemi covid-19 selama 2020-2022.
Salah satu optimisme yang terlihat menyambut ini adalah lewat penambahan karyawan hingga pembukaan mal-mal di daerah.
“Yang kami garisbawahi, jangan ada pesta demokrasi yang (diwarnai) berkelahi. Jadinya juga ekonomi jelek. Ya kita harus jagalah pesta demokrasi ini, yang penting ekonomi kita maju,” ucap Budihardjo.
Hippindo berharap, pesta demokrasi ini dapat menjadi gong untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi ke level selanjutnya. Mereka berharap, semua pihak dapat bekerja sama untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian yang lesu akibat pagebluk yang lalu
“Kita semua bersatu meningkatkan ekonomi. Tahun depan sangat strategis untuk kenaikan ekonomi bangsa, bila (Pemilu) berakhir damai, tapi bila ada sesuatu (negatif) momentum itu bisa jadi hilang,” paparnya.
Plt Deputi I Kemenko Ekonomi Ferry Irawan menguraikan dampak rangkaian kegiatan pemilu mulai dari kampanye sampai tahapan setelahnya bagi perekonomian. Dari beragam tahap, kegiatan kampanye menjadi yang dominan mendorong.
“Dampak dari belanja kampanye tentu secara langsung maupun tidak langsung akan dirasakan oleh masyarakat,” sebut Ferry kepada Validnews, Sabtu (27/5).
Berdasarkan pengamatannya, masa kampanye akan memberi peluang munculnya usaha-usaha mikro baru di bidang usaha konveksi, dan percetakan.
Selain itu, sektor jasa hiburan juga akan bergerak. Ini logis, karena maraknya aktivitas kampanye biasanya menghadirkan panggung-panggung rakyat hingga ke pelosok daerah.
Dia berharap, fenomena itu akan mendorong perputaran uang di masyarakat, sehingga terjadi peningkatan Konsumsi Rumah Tangga, Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT), serta investasi UMKM.
Dengan demikian, pemilu dapat menopang prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi 2024.
“Apalagi dalam sejarah pemilu modern di Indonesia, (pesta politik) selalu berlangsung dengan aman dan terkendali,” urainya dengan nada optimis.
Baca juga: Ramai-ramai Merayu Pemilih Muda
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira juga berpersepsi senada. Di hitungannya, pemilu akan mendorong sektor konsumsi rumah tangga, begitu pula belanja pemerintah. Dampak tidak langsung ini muncul dari aktivitas partai maupun caleg dan capres-cawapres untuk merebut simpati dan mendulang suara rakyat.
Bukan rahasia umum, masa pemilu akan dipergunakan kandidat untuk tampil bak sinterklas. Mereka akan gemar berbagi, mulai dari kaos, sembako hingga rokok. Tak heran, konsumsi bahan kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng bisa ikut naik karena event pemilu.
“Kemudian belanja pemerintah biasanya cenderung populis, bansos diperbesar, infrastruktur dipercepat realisasinya, untuk menarik suara,” katanya kepada Validnews, Jumat (26/5).
Dampak pemilu paling terasa positif kepada lapangan usaha di sektor perhotelan, jasa transportasi, infokom, industri makanan-minuman, pakaian jadi hingga jasa periklanan.
Namun, sumbangan langsung Pemilu-yang berasal dari maraknya pengeluaran jasa dalam tahapan pemilu-kepada pertumbuhan ekonomi atau PDB di sepanjang tahun minimal saja. Salah satunya, sumbangan LNPRT pada pertumbuhan ekonomi tak signifikan.
Per kuartal I/2023, pertumbuhan LNPRT mencapai 6,17% (yoy). Adapun, kontribusi kumulatif LNPRT selama 2020-2022 terhadap distribusi PDB ADHK secara berurutan hanya berkisar 1,30%, 1,22%, dan 1,17%.
“Setiap jelang pemilu memang LNPRT naik cukup tinggi. Tapi sayangnya kontribusi LNPRT terhadap PDB cuma 1,17%, kecil sekali,” sebut Bhima.
Dampak Pemilu ini bisa dilihat secara historis di tahun pelaksanaannya. Pada 2014, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,01%, dengan sektor konsumsi rumah tangga naik 5,14% dan LNPRT tumbuh 12,4% (yoy).
Sementara pada 2019, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02%, dengan konsumsi tumbuh 5,04% dan LNPRT naik 10,6% (yoy).
Sementara itu, senada Perry, Bhima menyebutkan investor akan mempertimbangkan masak-masak untuk mengekspansi bisnis terhadap kondisi ekonomi di tahun politik.
“Jadi lebih wait and see, dan cenderung tumbuh lebih rendah,” paparnya.
Dia memproyeksi pertumbuhan investasi dan konsumsi pada 2024, masing-masing akan mencapai 5%.
Mengacu riset LPEM-FEUI pada 2014, besarnya biaya politik tiap tahun, menuntut calon legislator dan presiden menambah dana kampanye.
Adapun dana kampanye yang dikeluarkan calon anggota dewan sebesar Rp750 juta-4 milliar untuk tingkat DPR RI, sementara sebesar Rp250-500 juta untuk tingkat DPRD Provinsi.
Uang yang keluar itu belum ditambah dana kampanye presiden, bantuan pemilu dari alokasi APBN dan APBD sehingga akan berpengaruh pada perekonomian.
Suntikan dana kampanye yang diperkirakan mencapai Rp115 triliun itu langsung berdampak kepada sektor usaha.
Alokasi dana kampanye tersebut langsung diarahkan ke industri kertas dan percetakan sebesar 17,99%; industri tekstil dan pakaian (12,45%); industri transportasi dan telekomunikasi (17,5%); industri manufaktur (12,1%); hotel dan restoran (13,18%); dan jasa, swasta, dan iklan (6%).
Dampak ikutannya, dana kampanye selama Pemilu 2014 akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam perekonomian sebesar Rp89 triliun. Oleh karena itu, secara agregat, dampak langsung dan tidak langsung dari Pemilu 2014 mencapai Rp205 triliun.
Baca juga: Bawaslu: Jangan Takut Laporkan Politik Uang

Lantas, bagaimana pengusaha melihatnya? Kalangan pengusaha pun menilai sumbangan pemilu bakal minimal saja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, di seluruh edisi penyelenggaraan, kegiatan Pemilu pada era reformasi hingga terakhir pada 2019 tak berpengaruh signifikan kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tren pertumbuhan nasional tetap normal.
“Nah, itu menunjukkan bahwa tren pertumbuhan tetap saja naik saja gitu, tidak ada pengaruh besar (Pemilu),” terang Hariyadi kepada Validnews, Jumat (26/5).
Hanya saja, Hariyadi berpendapat, perubahan teknis dan dinamika pada pelaksanaan Pemilu itu sendiri berpotensi meredam kontribusi belanja politik hingga konsumsi kepada perekonomian.
Dia menggarisbawahi, kondisi itu berkaitan erat dengan pelaksanaan Pemilu proporsional tertutup atau terbuka yang saat ini masih dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kegiatan untuk tata cara perhitungan suara dengan proporsional tertutup, kalau itu dikabulkan oleh MK, maka kemungkinan kontribusinya (ekonomis) tidak sebesar sistem terbuka,” sebut Ketum Apindo.
Sebaliknya, terangnya, sistem Pemilu terbuka akan cenderung membuat belanja kampanye calon legislatif atau caleg berkontribusi lebih besar. Mau bagaimana pun, para caleg ini harus aktif memperkenalkan dirinya lewat interaksi dengan masyarakat.
Sekilas saja, sejak 2004, Indonesia menerapkan sistem Pemilu proporsional terbuka. Hal ini berlandaskan UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Karena itu, dia mensinyalir, caleg dengan daya pilih yang lebih kecil akan kalah bersaing dengan anggota DPR-DPRD yang sudah eksis saat ini. Ujungnya, caleg baru akan cenderung mengurangi belanja kampanye.
“Jadi kalau tertutup nanti akan lebih jauh rendah kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga terhadap belanja masyarakatnya akan berkurang,” sebutnya lagi dalam sambungan telepon.
Meski demikian, Hariyadi mengaku cukup optimistis penyelenggaraan Pemilu serentak pada 2024 akan berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi nantinya.
“Hanya catatannya, kalau sistem tertutup dia belanja politiknya lebih sedikit, karena calegnya sudah tidak mau kompetisi lagi. Otomatis peluang ekonomi juga lebih kecil, di data juga enggak banyak,” sebutnya.
Baca juga:
Terlepas dari pemilu, di momen bersamaan, Indonesia juga patut mewaspadai beragam tantangan yang hadir di tingkat domestik dan global.
Mulai dari kelanjutan tren kenaikan suku bunga yang masih akan berlanjut di tahun depan dan tantangan iklim berupa El-Niño yang dapat menyebabkan inflasi pangan di Nusantara.
“Begitu juga (masalah) berkurangnya likuiditas global, penurunan tajam ekspor komoditas, hingga memburuknya geopolitik terutama AS-China,” jabar Bhima.
Risiko pertumbuhan ekonomi yang berasal dari kondisi global juga diakui pemerintah. Pemerintah meyakini, downside risk juga masih cukup kuat dipicu oleh ketegangan geopolitik yang tak kunjung mereda seperti perang Rusia-Ukraina yang persisten dan terus terekskalasi.
“Lalu, kondisi keuangan global yang lebih ketat dan meningkatkan tekanan utang, inflasi persisten tinggi, risiko pemulihan Tiongkok yang terhambat, dan fragmentasi geopolitik. Semua ini menjadi resiko dominan yang mempengaruhi prospek pemulihan global,” ungkap Ferry.
Namun, Ferry mengatakan, saat ini ekonomi global juga masih prospektif sehingga bisa mendorong pertumbuhan ke atas. Akibat risiko pandemi yang sudah jauh berkurang, dorongan pent-up demand atau permintaan yang tertahan pasca pandemi, dan disinflasi yang lebih cepat.
Pemerintah justru cukup optimistis akan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan melihat realisasi ekonomi per Mei 2023. Seiring makin kondusifnya pandemi di negara-negara Asia yang kuat mengalami pemulihan, serta restriksi ekonomi China yang telah memasuki fase relaksasi.
Banyak pula yang dilakukan untuk mendukung optimisme, termasuk mencari pasar baru ekspor.
“Selain itu, berbagai potensi new growth driver berupa digital dan green economy juga terus berkembang pesat dan memberikan prospek baik,” sebutnya.
“Terakhir, pemerintah juga terus melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk relokasi IKN untuk menciptakan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Progres fisik pembangunan infrastruktur IKN per 26 April 2023 mencapai 27,07% terhadap proporsional keseluruhan rencana 2020- 2023,” tutup Ferry.