28 April 2022
20:30 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Wiwie Heriyani
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Foto jalan-jalan atau staycation demi healing, makan di kafe atau resto mewah, koleksi branded item terbaru, kerap berseliweran di medsos. Bahkan, tambahan deretan angka di buku rekening tak segan dipamerkan, demi dikenal sebagai si tajir mlintir alias crazy rich.
Alih-alih sebal dan nyinyir, ada pihak yang justru happy menanggapi aksi pamer kekinian alias flexing. Adalah Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Maklum, pamer harta dan kemampuan beli jadi amunisi jajaran Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk menelisik kepatuhan membayar pajak.
“Makanya kita senang kalau di medsos itu kemaren ada yang umuk (sombong.red) mengenai ‘account number saya yang paling gede’. Begitu ada yang pamer punya berapa miliar, nanti salah satu petugas pajak kita siap. Ya kita nanti datengin-lah,” demikian pernyataan Sri Mulyani pada saat menghadiri pertemuan dengan wajib pajak prominen di Hotel Tentrem Semarang (Rabu,10/3), dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak.
Sri Mulyani mengakui, akun media sosial Instagram DJP @DitjenPajakRI sangat aktif memantau aksi flexing.
“Jadi memang di Indonesia kan ada yang crazy rich, ada yang memang dia mendapatkan fasilitas dari perusahaannya luar biasa besar. Itulah yang seperti itu dimasukkan dalam perhitungan perpajakan. Itu yang disebut aspek keadilan,” papar Bendahara Negara itu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Neilmadrin Noor menyebutkan, pajak menjadi salah satu elemen penting dalam pembangunan bangsa. Upaya agar Wajib Pajak (WP) untuk membayar kewajibannya gencar dilakukan, termasuk mengintip pihak-pihak yang gemar flexing.
"Berapapun besarannya, setiap kontribusi masyarakat merupakan sumbangsih yang berharga bagi pembangunan Indonesia," ucap Neilmadrin kepada Validnews di Jakarta, Selasa (26/2).
Neilmadrin menjelaskan total jumlah WP saat ini mencapai 45 juta. Sebanyak 19 juta di antaranya wajib melaporkan SPT PPh Tahunannya. Sebagai target, penyampaian SPT Tahunan PPh tahun ini dipatok sebanyak 15 juta SPT.
"Hingga saat ini, persentase penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan telah melampaui 80% dari target. Target kepatuhan ini adalah dalam kurun waktu satu tahun, yakni sampai Desember 2022," tambahnya.
Keunggulan ‘Si Kaya’
Penerimaan negara pun menjadi lebih besar ketika masyarakat kalangan atas patuh terhadap kewajiban mereka. Orang-orang kaya atau high wealth individuals (HWI) menjadi WP yang memiliki keunggulan dalam kekayaan dan penghasilan, maupun aktivitas yang ruang lingkupnya mengglobal.
Pengaruh pajak dari 'orang kaya' pun punya keunggulan hubungan sosial yang lebih baik, mulai dari akses ke politik. Biasanya, mereka juga punya akses ke penasihat atau konsultan pajak yang bisa memberikan nasihat perpajakan, ketimbang masyarakat kelas menengah ataupun kelas bawah.
Namun, Partner of Fischal Research & Advisory Bawono Kristiaji mengatakan jumlah WP dari kalangan HWI di Indonesia tak diketahui secara pasti. Untuk mengidentifikasinya, Bawono menyebut pemerintah perlu menetapkan kriteria dari siapa yang disebut sebagai 'Si Orang Kaya' itu.
"Di setiap negara, kriteria yang dipergunakan bisa berbeda-beda, semisal dari nilai aset, penghasilan, jabatan tertentu, status kepemilikan usaha, dan sebagainya. Kita juga perlu memahami adanya kemungkinan status HWI yang timbul akibat akumulasi kekayaan antargenerasi," paparnya saat berbincang dengan Validnews via telepon dari Jakarta, Rabu (27/4).
Kalangan HWI pun punya karakteristik yang berbeda dan cenderung kompleks dibandingkan dengan segmentasi lain dalam hal perpajakan.
Tim Validnews berkesempatan untuk sedikit berdiskusi dengan salah satu HWI di Indonesia, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja, yang membenarkan penjelasan Bawono soal keunggulan HWI di dunia perpajakan.
Jahja Setiaatmadja mengaku segala macam urusan perpajakannya sudah diurus oleh konsultan. Ia tak perlu menghitung sendiri nominal pajak dari kekayaan yang dihasilkan. Namun, ia menyebut tarif pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkannya, hingga menyentuh 35% masih sangat layak. Dia mengaku income yang didapatkan juga besar.
Asal tahu saja, BCA melaporkan sepanjang 2021, perusahaan merogoh Rp440,39 miliar dalam bentuk tantiem kepada dewan direksi dan komisaris perusahaan. Angka ini tercatat menurun dibanding tahun sebelumnya, yakni Rp445,18 miliar.
Dengan jumlah direksi yang berjumlah 12 orang dan lima orang yang duduk di kursi dewan komisaris, bisa dibilang secara rata-rata pimpinan tertinggi Bank BCA meraup pendapatan Rp25,9 miliar per tahun atau Rp2,16 miliar per bulan dalam bentuk bonus, di luar gaji dan tunjangan.
"Semuanya (pajak) diurus konsultan, terima beres. Saya harus dukung pemerataan karena sudah selayaknya income besar maka pajak lebih besar. Kita harus ikuti ketentuan negara," imbuhnya.

Lapisan Perpajakan
Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah mengubah beberapa ketentuan terkait tarif pajak orang pribadi. Dalam aturan teranyar, terdapat lima lapisan tarif PPh Orang Pribadi (OP) yang sebelumnya hanya empat lapisan saja.
Lapisan pertama, wajib pajak yang berpenghasilan Rp60 juta setahun dikenakan tarif pajak 5%. Sebelumnya, pada lapisan pertama beleid terdahulu, tarif 5% dikenakan kepada wajib pajak yang berpenghasilan Rp50 juta setahun.
Kemudian pada lapisan kedua, meliputi wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp60 juta sampai dengan Rp250 juta setahun. Mereka dikenakan tarif pajak 15%. Sebelumnya, tarif 15% ini dibebankan kepada WP yang berpenghasilan Rp50 juta hingga Rp250 juta.
Sementara pada lapisan ketiga, mencakup wajib pajak yang berpenghasilan di atas Rp250 hingga Rp500 juta setahun dengan beban tarif 25%. Khusus lapisan ini, tak ada perubahan pada tarif pajak.
Lalu keempat, wajib pajak yang berpenghasilan di atas Rp500 hingga Rp5 miliar setahun dikenakan tarif 30%. Sebelumnya, lapisan ini tidak mengatur batas atas penghasilan per tahun. Terakhir, lapisan kelima atau lapisan tambahan, yakni wajib pajak yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar kenakan tarif 35%.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan hadirnya lapisan-lapisan tersebut sudah mencerminkan keadilan di dunia perpajakan Indonesia. Menurutnya, penambahan layer akan menjadikan struktur tarif pajak menjadi lebih berkeadilan.
"Meski begitu, pemerintah punya pekerjaan rumah. Penghasilan dari instrumen keuangan (seharusnya) dikenakan PPh Final, jadi tak terpengaruh tarif progresif," ungkap Fajry kepada Validnews, Selasa (26/4).
Belum Patuh
Fajry tak menampik anggapan bahwa dari kelima lapisan tersebut, kontributor terbesar dalam penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi ialah dua layer dengan tarif tertinggi. Namun demikian, bukan berarti kalangan orang kaya sudah sepenuhnya patuh terhadap kewajiban mereka.
"Kepatuhan dapat terlihat dari data Panama Papers yang menyebut masih banyak orang Indonesia belum melaporkan seluruh asetnya," katanya.
Panama Papers atau Dokumen Panama sendiri adalah bocoran data 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca. Dokumen ini berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri yang kebanyakan berupa perusahaan cangkang yang menyamarkan identitas pemilik, pemegang saham dan direkturnya.
Perusahaan-perusahaan itu tidak terdaftar sebagai wajib pajak di negara asal. Ada beberapa nama dari Indonesia terbeber di dokumen yang dibocorkan Wikileaks itu.
Selain itu, data automatic exchange of Information (AEOI) atau pertukaran informasi lintas yurisdiksi, juga menyebut masih banyak harta orang kaya Indonesia yang belum dilaporkan ke pemerintah. Hal inilah yang menjadi pemantik pemerintah untuk meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
"Makanya, pemerintah mengeluarkan PPS. Jadi, mengakomodasi bagi orang kaya untuk patuh dan masuk ke dalam sistem," imbuh Fajry.
Soal kepatuhan, bisa tercermin dari upaya pemerintah dengan tax amnesty. Terkait PPS yang kerap disebut sebagai tax amnesty jilid II itu, Neilmadrin Noor memaparkan per 26 April 2022, tercatat nilai harta bersih yang telah dilaporkan mencapai Rp72,5 triliun. Mayoritas berupa uang tunai.
Tetapi, Fajry secara pribadi enggan menghakimi mereka yang berada di layer tarif atas dan kurang patuh terhadap pajak. Masyarakat kelas menengah ke bawah pun sebagian besar tak melaporkan hartanya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

Tingkatkan Kepatuhan
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meyakini bahwa keberadaan 'Si Orang Kaya' sebetulnya mudah terdeteksi. Ada beragam upaya guna memperoleh pajak yang pas dari mereka. Yang utama, meningkatkan literasi terhadap perpajakan. Menurut dia, banyak orang-orang kaya yang ingin membayar pajak sebagian justru tidak tahu cara perhitungannya.
"Termasuk misalnya keringanan atau hak yang mereka dapatkan seperti sekarang ada tax amnesty dan sebagainya. jadi intinya yang pertama adalah literasi terhadap pengetahuan tentang perpajakan," tegas Tauhid.
Langkah berikutnya ialah pembenahan sistem teknologi. Penggunaan teknologi di dunia perpajakan semestinya mudah diakses dan tidak memberatkan atau menyulitkan para wajib pajak.
"Karena kalau saya perhatikan, kalau bukan orang pajak yang mengisi itu sulit untuk menghitung dan sebagainya. Saya rasa, teknologi yang user friendly itu perlu," ujarnya.
Kemudian, tingkat kepatuhan juga seyogianya terkoneksi dengan pusat PPATK. Dengan begitu, transaksi keuangan akan terlihat secara transparan, mulai dari sumbernya, kelayakan dikenai pajak, termasuk memperkuat peran perbankan lewat catatan dengan perpajakan.
Cara terakhir menurut Tauhid ialah melalui pendekatan atau trust. Tauhid meyakini bahwa ada segelintir orang-orang kaya dengan kekayaan yang tak masuk akal membutuhkan pendekatan yang berbeda, misalnya secara persuasi dan lain sebagainya.
Optimalisasi
Upaya optimalisasi pajak dari kelompok orang kaya atau HWI pada dasarnya selaras dengan rekomendasi dari berbagai organisasi internasional, termasuk pada era konsolidasi fiskal seperti saat ini.
Terkait hal tersebut, Bawono Kristiaji menjabarkan progresifitas PPh wajib ditingkatkan agar orang kaya bisa berpartisipasi lebih banyak pada pertumbuhan ekonomi pascapandemi yang lebih inklusif.
Bawono pun melayangkan apresiasi atas strategi pemerintah yang menetapkan tarif tertinggi PPh orang pribadi sebesar 35% bagi lapisan perpajakan kelima, yakni kelompok berpenghasilan di atas Rp5 miliar. Kebijakan ini menurutnya jadi salah satu cara mengoptimalisasi pajak dari kelompok orang kaya.
Padahal merujuk pada laporan Kementerian Keuangan, Bawono mengatakan jumlah wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp5 miliar sesungguhnya sangat kecil. Mereka hanya berkisar 0,1% dari total wajib pajak.
"Namun, potensi yang bisa disumbangkan bisa belasan triliun. Jadi, akan ada kenaikan penerimaan pajak dari HWI," tandasnya.
Di sisi lain, ia mengimbau agar pemerintah concern terhadap passive income yang diraup oleh orang-orang kaya, seperti sewa, dividen, royalty, bunga, hingga penghasilan saham. Bawono yakin semakin kaya seseorang, ada kecenderungan passive income tersebut juga semakin besar proporsinya.
Dia menyayangkan pengenaan pajak pada passive income biasanya tak mengacu pada PPh OP yang berlaku secara umum, tetapi justru diatur dalam rezim yang terpisah (schedular tax system) dengan tarif yang berbeda atau khusus.
"Sebagai contoh, di Indonesia hampir seluruh jenis penghasilan pasif dikenakan pajak yang bersifat final dan tidak mengikuti tarif progresif yang saat ini diubah," tuturnya.
Sebagai jalan tengah, dia mengusulkan strategi pengenaan pajak berbasis kekayaan, seperti net wealth tax, pajak warisan, hingga pajak capital gains.
Bawono mengatakan, harus ada terobosan administrasi yang memungkinkan unit khusus penanganan pajak orang kaya yang memiliki integrasi data HWI, perusahaan yang dikelola, informasi pemilik manfaat, hingga seluruh aliran penghasilan. Lalu yang terakhir, ialah membangun cooperative compliance.
Menurut studi OECD, beberapa negara berhasil membuktikan relasi antara otoritas pajak dan kalangan orang kaya yang berbasis kerja sama, keterbukaan, dan transparansi untuk meningkatkan rasa kepercayaan HWI.
"Hingga pada akhirnya, cooperative compliance ini dapat berevolusi menjadi kepatuhan sukarela jangka panjang dari orang kaya," pungkas Bawono Kristiaji.