c

Selamat

Kamis, 9 Mei 2024

EKONOMI

09 Juni 2023

20:30 WIB

Berbisnis Sembari Memberdayakan Ala Shibiru

Sempat terhalang pandemi, Shibiru mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Bagaimana bisnis UMKM ini mampu bertahan?

Editor: Fin Harini

Berbisnis Sembari Memberdayakan Ala Shibiru
Berbisnis Sembari Memberdayakan Ala Shibiru
Pemilik UMKM Shibiru Fatah Syaifur Rochman menunjukkan pewarna alam dari tanaman "strobilanthes cusia". Sumber: Instagram/shibirufat

SOLO – Aneka produk bernuansa biru tertata rapi di sebuah stand gelaran Solo Art Market. Ada aneka pakaian rapi tergantung di rak. Mulai dari outer, kemeja, rok hingga celana panjang. Dari polos atau dihiasi motif jumputan dan shibori.

Di rak sebelahnya, tergantung aneka tas yang terbuat dari aneka bahan. Ada tote bag dari kain katun, ada pula yang dibuat menggunakan teknik rajutan atau crochet

Berbagai barang lain dipajang di atas meja, aneka boneka rajutan atau amigurumi, dompet kecil hingga sabun mandi. Semua berwarna biru.

“Ini adalah produk turunan dari Shibiru,” sebut penjaga stand saat Validnews mampir, Minggu (7/5) lalu. “Jadi produk utama Shibiru adalah pasta pewarna alami. Ini aneka produk UMKM yang diwarnai menggunakan pasta kita,” imbuhnya.

Fatah Syaifur Rochman, pemilik Shibiru, menjelaskan aneka produk tersebut merupakan pengembangan dari usaha pasta pewarna alami indigo yang serius ditekuni sejak 2019.

Shibiru, lanjut pria yang kerap disapa Fatah Ipung ini, kerap menggelar pelatihan mewarnai kain menggunakan pewarna indigo, untuk mendukung pemasaran produknya.

Para peserta pelatihan kemudian menanyakan contoh produk akhir dari kain atau benang yang dicelup pewarna biru. Ada yang penasaran dengan bentuknya, ada pula yang ingin menenteng pulang produk tersebut sebagai oleh-oleh.

“Jadi setiap mengadakan pelatihan, ada yang menanyakan produk jadinya,” sebut Fatah saat berbincang dengan Validnews di sela SAM, beberapa waktu lalu.

Karena itu, Fatah lantas menggandeng UMKM yang ada di Temanggung dan sekitarnya, tempat Shibiru berdomisili, untuk memproduksi aneka kerajinan dengan menggunakan pasta indigo.

Produk-produk UMKM itu lantas ikut dipasarkan Shibiru dengan brand Cusia by Shibiru. Kerja sama Shibiru dengan UMKM lain ini menghasilkan keuntungan bersama. 

Calon konsumen bisa melihat kualitas pewarna Shibiru lewat produk Cusia, para UMKM pun bisa mendapatkan peluang untuk berkembang.

“Ada sarjana yang sejak lulus belum mendapat pekerjaan. Saya tanya, bisa bikin kerajinan apa? Ternyata bisa merajut. Lalu dia merajut memakai benang yang sudah dicelup menggunakan pewarna kami dan laku bahkan menjadi best seller. Jadi, sekarang tiap hari dia hanya merajut di rumah,” paparnya.

Tinggalkan Bisnis Lama Beralih Ke Shibiru
Sebelum berkembang hingga memiliki produk turunan Cusia by Shibiru, Fatah banting setir dari bisnis gagang sekop yang sudah dijalani sejak 2008.

Fatah sendiri mulai mengenal pewarna alami ini sejak 2015. Kala itu, dia mencoba menanam Indigofera tinctoria. Setahun mempelajari pewarna alami, dia berkenalan dengan Strobilanthes cusia dan jatuh hati pada kemampuan tanaman ini menghasilkan pigmen biru.

Dari terus mempelajari karakteristik tanaman dan melalukan berbagai uji coba untuk memproduksi pasta, Fatah meyakini usaha pasta indigo ini lebih prospektif ketimbang gagang sekop.

Tak banyak rupiah yang dia rogoh sebagai modal awal menjalankan Shibiru. Hanya ember besar untuk merendam daun, kapur untuk memproses daun dengan kisaran harga Rp10.000, dia pun mantap melahirkan Shibiru.

“Tapi memang lucu, saat itu sudah bisa memproduksi, tapi enggak bisa pakai, enggak bisa jual,” seloroh Fatah.

Dengan pengetahuan dan pengalaman pemasaran pasta indigo yang masih nol, Fatah mulai merintis jalan memperkenalkan Shibiru ke pasar. Satu per satu produsen batik di Pekalongan hingga Yogyakarta ia datangi.

“Saya bikin 100 kg, lalu saya kemas per 1 kg, lalu saya bagi-bagikan. Saya bilang, saya produksi ini tolong dicoba. Kalau bagus ya lanjut, kalau enggak ya nggak papa. Saat ditanya harga, saya bilang dicoba dulu. Jadi saya tidak mengeluarkan harga dan meminta mereka mencoba dulu. Dengan cara itu, mereka tertarik,” katanya.

Fatah sengaja tak memasang harga dan membiarkan calon konsumen mencoba dulu. Cara ini juga disebut memantik rasa penasaran dari konsumen.

Beberapa waktu berselang, cara pemasaran ini pun membuahkan hasil. Seorang pengusaha batik besar dari Yogyakarta. Winoto Sastro, mengorder 40 kg pasta Shibiru.

Senang, tentu saja. Meski Fatah sempat bingung untuk menentukan harga dan memperkirakan waktu yang diperlukan untuk produksi dalam jumlah besar sekaligus.

“Tapi, akhirnya bisa dipenuhi dengan harga Rp60.000 per kg. Jadi itu baru bisa jual, dan itu baru ke satu orang. Tapi, hingga saat itu belum bisa memakai,” katanya.

Sejak saat itu, getok tular membuat order berdatangan. Produksi yang berkualitas membuat permintaan menderas. Pengguna, menurut Fatah, mengakui campuran Shibiru tak banyak sehingga pasta Shibiru lebih lembut dan tak keras atau kering.

Saat digunakan pun hanya diperlukan 4-5 kali pencelupan, pigmen biru sudah menempel kuat di kain atau benang yang ingin diwarnai.

Dari getok tular itu, permintaan Shibiru melonjak hingga 400-500 kg. Tak hanya dari dalam negeri, keunggulan pewarna indigo yang ramah lingkungan memikat pembeli dari luar negeri, terutama dari Jepang dan Malaysia. Para pembeli ini melejitkan produksi menjadi 750 kg–1 ton per bulan.

Fatah tak sendiri menikmati keuntungan dari Strobilanthes cusia. Pertengahan 2016, dia mulai mengajak petani kopi dan jambu dari berbagai daerah di Temanggung dan sekitarnya untuk ikut menanam Strobilanthes cusia dengan sistem tumpang sari.

Dari uji coba yang ia lakukan bersama petani, lokasi paling cocok adalah lereng Gunung Prau, dengan ketinggian berkisar 1.000-1.300 mdpl dan suhu 21-23 derajat celsius.

Karakteristik tanaman yang mudah ditanam, kuat dan tak rewel meminta perawatan rumit, menjadi daya tarik yang “dijual” Fatah saat mengajak petani untuk ikut menanam Strobilanthes cusia. 

Penjualan daun Strobilanthes cusia juga bisa menjadi sumber penghasilan saat tak panen kopi dan jambu. Strobilanthes cusia bisa dipanen tiap 3-4 bulan.

“Awalnya tidak mudah. Karena petani untuk menanam sesuatu yang asing kan ragu. Jangan-jangan disuruh tanam, tapi ndak dibeli. Jadi untuk meyakinkan cukup sulit,” katanya.

Meski sederet keunggulan dipaparkan, semula hanya 2-3 petani yang mau ikut menanam tanaman ini. Namun, saat para petani itu menikmati hasilnya, petani lain menjadi tertarik untuk ikut menanam. Hingga kini, ada 179 petani yang ikut menanam Strobilanthes cusia di sela tanaman kopi atau jambu biji miliknya.

“Luas lahannya sekitar 65 hektare, dengan cara tumpang sari,” katanya. Shibiru menjadi offtaker dan memprosesnya menjadi pasta dan powder.

Fatah pun mendirikan Koperasi Produsen Shidobiru Sakatani Makmur untuk mewadahi para petani ini.

Membandingkan dengan usaha gagang sekop, ia menyebut omzet dari Shibiru tergolong receh. Namun, perputaran uang ada terus dan menghasilkan kesejahteraan lebih dibandingkan usaha gagang sekop.

Teradang Pandemi
Saat Shibiru mulai melangkah tegak, pandemi covid-19 merebak dan mengadang. Segala aktivitas ekonomi teredam, termasuk usaha tekstil dan produk tekstil. Shibiru pun tak imun. Permintaan pasta indigo merosot tajam.

Pada saat kritis itu, Fatah tetap membeli Strobilanthes cusia yang dihasilkan petani. Dana hasil penjualan aset usaha gagang sekop, juga penjualan pasta sebelumnya, dia gunakan untuk membayar daun yang diproduksi petani.

Sayangnya, pandemi cukup panjang. Bahan baku menumpuk hingga 10 ton, uang pun habis. Di tengah kebingungan itu, para petani menyatakan kesanggupan dibayar belakangan. 

Pasalnya, petani tak harus mengeluarkan biaya untuk merawat tanaman indigo. Petani juga sayang jika tanaman harus dicabut.

“Petani bilang dipanen aja, nanti itung-itungan kalau sudah normal. Tapi, karena petani sudah banyak yang menanam, utang menumpuk banyak sekali,” katanya.

Fatah lantas memutar otak untuk menjaga kelangsungan usaha. Dia pun mulai jasa pencelupan kain dan benang sebagai sekoci penyelamat bisnis utama.

Upaya ini cukup berhasil mengurangi tumpukan simpanan pasta indigo dan menghasilkan pemasukan. Permintaan jasa pencelupan pun mulai datang dari Bali, Surabaya, Pekalongan, Bandung, hingga Malaysia.

Aktivitas jasa mewarnai itu diunggah Fatah di akun media sosial milik Shibiru. Kecantikan kain biru yang dihasilkan kemudian menarik minat ibu-ibu untuk mencoba mewarnai kain sendiri. Mereka pun berminat membeli 1-2 kg pasta Shibiru.

Shibiru lantas menggelar pelatihan secara cuma-cuma cara membuat larutan indigo dan mewarnai kain dengan teknik jumputan sederhana. Dari pelatihan inilah, lahir Cusia by Shibiru.

Fatah berupaya mencari-cari formula agar konsumen rumahan maupun UMKM lebih mudah menggunakan produk Shibiru. “Ada formula yang saya temukan, dan kini sudah saya patenkan,” katanya.

Pada saat membuat pasta pewarna, daun Strobilanthes cusia difermentasi dan diairasi dengan cara ditambah kapur. Pada proses inilah pigmen pewarna biru ditangkap.

“Jadi pasta pewarna itu kapur yang mengendap bersama pigmen,” jelasnya.

Lalu, saat digunakan untuk mewarnai, pigmen harus dilepaskan dari kapur. Cara yang umum digunakan adalah dengan penambahan gula merah atau gula kelapa, madu maupun molase.

Nah, dari berbagai uji coba, Fatah menemukan campuran gula yang paling bagus untuk melepaskan kapur dari pigmen, yakni gula singkong. “Saya singkat jadi gulakong. Ini yang saya patenkan,” imbuhnya.

Meski gratis, dia mengaku membatasi peserta pelatihan. Pasalnya, dia ingin mengajari orang-orang yang serius saja. 

Dengan berbagai upaya ini, pelan-pelan Shibiru mulai pulih. Penjualan terus meningkat. “Omzet kini 60% dari sebelum pandemi,” katanya.

Kandidat Penerima Kalpataru
Fatah menuturkan, dia berupaya tak menyisakan limbah dari berbagai proses bisnisnya. Dari pasta pewarna misalnya, limbah yang dihasilkan dijadikan pupuk organik.

Begitu pula pada produk-produk Cusia by Shibiru. Sebisa mungkin proses produksi tak menghasilkan sampah. Contohnya, perca yang dihasilkan dari produksi baju dijadikan dompet kecil atau tempat jarum pentul.

Bisnis ramah lingkungan dan pemberdayaan sekitar yang dilakukan Fatah pun dilirik. Tahun 2020, Shibiru mengikuti ajang Krenova yang diadakan pemda dan berhasil masuk lima besar. Di tahap berikutnya, yakni tingkat Provinsi Jawa Tengah, Shibiru masuk 10 besar dari total 900an peserta.

Fatah pun ditunjuk pemda untuk mengikuti seleksi penerima Kalpataru mewakili Jawa Tengah. Dalam proses penyaringan, dari 247 orang di tingkat nasional, Fatah masuk dalam enam besar Nominasi Penghargaan Kalpataru 2023 Kategori Perintis Lingkungan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar