08 Juli 2023
12:37 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
JAKARTA - Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyampaikan bahwa sampai dengan 7 Juli 2023, telah tercatat 45 Perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dengan dana dihimpun Rp44,6 triliun.
Pada waktu yang sama, terdapat pula 46 perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI.
"Sampai dengan 7 Juli 2023 telah tercatat 45 Perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dengan dana dihimpun Rp44,6 triliun. Hingga saat ini, terdapat 46 perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI," kata Nyoman kepada wartawan, Sabtu (8/7).
Lebih lanjut, Nyoman membeberkan bahwa klasifikasi aset perusahaan yang saat ini berada dalam pipeline merujuk pada POJK Nomor 53/POJK.04/2017. Diantaranya, enam perusahaan aset skala kecil atau aset di bawah Rp50 miliar, 27 perusahaan aset skala menengah atau aset antara Rp50 miliar s.d. Rp250 miliar, dan 13 perusahaan aset skala besar atau aset di atas Rp250 miliar.
Baca Juga: Bursa Sepekan Menguat 0,82%, IHSG Balik ke Level Psikologis
Adapun, dominasi sektor pipeline pencatatan saham BEI berasal dari Consumer Cyclicals. Kemudian, disusul sektor Consumer Non-Cyclicals dan Energy.
Untuk rincian sektornya antara lain empat perusahaan dari sektor Basic Materials; 10 perusahaan dari sektor Consumer Cyclicals; delapan perusahaan dari sektor Consumer Non-Cyclicals.
Kemudian, lanjut dia, lima perusahaan dari sektor Energy; satu perusahaan dari sektor Financials; dua perusahaan dari sektor Healthcare.
Selanjutnya, empat perusahaan dari sektor Industrials; dua perusahaan dari sektor Infrastructures; empat perusahaan dari sektor Properties & Real Estate.
Lalu, tiga perusahaan dari sektor Technology; serta tiga perusahaan dari sektor Transportation & Logistic.
Pipeline Obligasi
Sedangkan hingga saat ini, sambung Nyoman, telah diterbitkan 53 emisi dari 41 penerbit EBUS dengan dana yang dihimpun sebesar Rp62,8 triliun.
Sampai dengan 7 Juli 2023, terdapat 18 emisi dari 16 penerbit EBUS yang sedang berada dalam pipeline.
Dominasi sektor pipeline obligasi adalah Financials sebanyak delapan perusahaan atau 50%, Industrials sebanyak empat perusahaan atau 25%, Energy sebanyak dua perusahaan atau 12,5%, dan Infrastructures sebanyak dua perusahaan atau 12,5%.
Rincian klasifikasi sektor, yaitu dua perusahaan dari sektor Energy; delapan perusahaan dari sektor Financials; empat perusahaan dari sektor Industrials.
Setelah itu, dua perusahaan dari sektor Infrastructures; satu perusahaan dari sektor Technology; satu perusahaan dari sektor Transportation & Logistic; serta satu perusahaan dari sektor Belum Ada.
Pipeline Right Issue
Nyoman menambahkan, untuk Right Issue, per tanggal 7 Juli 2023 telah terdapat 18 perusahaan tercatat yang telah menerbitkan right issue dengan total nilai Rp 31,6 triliun.
Dominasi sektor pipeline right issue BEI berasal dari Consumer Cyclicals sebanyak delapan perusahaan atau 42,11%, Financials sebanyak enam perusahaan atau 31,58%, dan Energy sebanyak lima perusahaan atau 26,32%.
Selain itu, masih terdapat 26 perusahaan tercatat dalam pipeline right issue BEI dengan rincian sektor satu perusahaan dari sektor Basic Materials; delapan perusahaan dari sektor Consumer Cyclicals; empat perusahaan dari sektor Consumer Non-Cyclicals.
Kemudian, lima perusahaan dari sektor Energy; enam perusahaan dari sektor Financials; satu perusahaan dari sektor Infrastructures; serta satu perusahaan dari sektor Transportation & Logistic.
Pasar Sepekan
Capital Market Analyst salah satu Bank terkemuka di Indonesia, Lanjar Nafi menyampaikan, pasar saham dan obligasi merosot di akhir pekan mengiringi pelemahan mayoritas pasar secara global.
"IHSG ditutup turun 0,60% ke level 6.716,46 dan LQ45 turun 0,91% ke level 947,73 dengan saham-saham di sektor keuangan dan energi turun menjadi kontributor utama hingga akhir sesi," ujar Lanjar Nafi kepada Validnews, Jumat (7/7).
Imbal hasil obligasi acuan tenor 10 tahun naik 4,8 bps ke level 6,250%, mengindikasi adanya penurunan harga pada mayoritas obligasi di Indonesia.
Ia melanjutkan, nilai tukar Rupiah terhadap USD terdepresiasi 0,60% ke level Rp15.135 yang merupakan nilai depresiasi terbesar secara harian sejak bulan April 2023.
Selama sepekan, lanjut dia, pasar saham Indonesia catatkan kinerja yang positif, dimana IHSG naik 0,82% dan LQ45 naik 0,21% dengan saham-saham sektor material dasar dan energi bergerak sangat optimis masing-masing sebesar 3,32% dan 4,58% secara indeks sektoral.
Sentimen positif dari Tiongkok berhasil memicu optimisme pasar dan persepsi permintaan akan impor Tiongkok yang meningkat kepada kedua sektor tersebut menjadi faktor utama.
Baca Juga: Apa Itu IHSG? Yuk Simak Sejarah dan Fungsinya
Bank sentral Tiongkok, yakni PBoC dikabarkan terus berupaya untuk melakukan pelongaran kebijakan lanjutan guna merespon adanya penurunan sektor manufaktur dan pemulihan yang tidak merata pada ekonomi mereka.
Sedangkan, pasar obligasi bergerak cenderung terkonsolidasi menguat selama sepekan. Imbal hasil obligasi acuan tenor 10 tahun Indonesia turun tipis 1 bps karena sentimen bervariasi dari internal dan eksternal.
Sentimen internal dinilai positif karena data inflasi Indonesia yang turun lebih dari apa yang diperkirakan, sehingga membuka peluang Bank Indonesia melakukan pemangkasan suku bunga lebih cepat.
Sentimen eksternal dinilai negatif karena hasil pembacaan risalah FOMC menyatakan bahwa sebagian besar pejabat the Fed menginginkan kenaikan suku bunga lanjutan.
The Fed melihat ancaman terhadap masa depan inflasi di Amerika dari data pekerja yang masih cukup kuat, PCE yang tetap tinggi dan potensi kenaikan harga komoditas energi.
Rupiah terdepresiasi cukup signifikan selama sepekan sebesar 0,95%. Catatan tersebut merupakan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD mingguan terbesar sejak tujuh pekan terakhir.
"Peluang kenaikan suku bunga Amerika di FOMC bulan ini bergeser menjadi lebih besar membuat permintaan akan USD meningkat. Bahkan hingga akhir pekan pertama bulan Juli 2023, persepsi pasar akan peluang kenaikan suku bunga Amerika nyaris 90%," tutup Lanjar Nafi.